Gatal Menawar | Kembangmanggis

Book Cover

Yanti Nura (goodreads)

Gatal Menawar oleh Kembangmanggis
Jumlah halaman 258

Kritik sosial bernuansa fiksi, bisa dibilang begitu. Buku ini adalah sebuah kumpulan cerita dari seorang penulis bernama Baby Ahnan, dengan nama pena Kembangmanggis, penulis era 80-an yang sudah melahirkan banyak karya. Saya tertarik membacanya karena covernya yang berilustrasi unik dengan kesan simpel dan polos. Ditulis dalam bahasa yang ringan, penulis menceritakan berbagai peristiwa yang lekat dengan keseharian. Awalnya saya kira ini adalah kumpulan cerita yang renyah dan mungkin bisa sangat membosankan ketika membaca halaman awal, bab pertama yaitu ‘Bubur Tikus’. Namun, menginjak pada cerita-cerita selanjutnya, saya disuguhi berbagai cerita yang mulai serius. Meskipun perbendaharaan kata dan ide ceritanya sangat ringan, terdapat banyak nilai moral yang diselipkan ke setiap masing-masing cerita.

Dalam buku ini banyak sekali kritik sosial. Penulis menyinggung soal kebiasaan-kebiasaan negatif masyarakat kita. Contohnya pada cerita ‘Malas,’ yang memaparkan betapa sebuah kemalasan itu adalah hal yang normal dan pasti ada di dalam diri setiap orang. Namun yang perlu dihindari jangan sampai kita tidak mencari cara untuk keluar dari kemalasan tersebut.

“Malas itu normal,” kata saya lagi. “Kenalilah dirimu sendiri. Kapan kemalasan itu muncul? Bagaimana mengatasinya? Carilah kiat-kiatnya agar kita bisa melampauinya.” (halaman 57)

Pada cerita berjudul ‘Gatal Menawar’ penulis juga mengkritik perihal kebiasaan menawar harga di pasar dengan harga yang murah sekali. Itu hal yang tidak masuk akal karena tentu saja dapat merugikan penjualnya. Penulis menyinggung soal beberapa orang (contohnya ibu-ibu dan seorang pemuda kaya yang mengendarai mobil mewah) menawar dagangan penjual di pasar dengan harga yang tidak masuk akalnya sangat murah. Mereka bukannya menawar, tetapi lebih seperti ‘memaksa’ penjual untuk mengikuti kemauan pembeli. Hal tersebut memberikan citra bahwa penjual di pasar terkesan lemah. Menawar harga adalah hal yang seringkali kita jumpai, akan tetapi tidak terlalu kita perhatikan. Bahkan, kita sendiri terkadang menjadi ‘si penawar harga’ tersebut. Saya pikir penulis ingin sekali menyampaikan sesuatu dari situ, supaya kita jangan terlalu serakah dalam memperoleh sesuatu.

Menurut saya penulis buku ini selain pandai mengulas perihal kehidupan dan menuangkannya ke dalam kisah-kisah ringan, beliau juga pintar memberikan referensi. Penulis banyak mengutip pendapat dan pemikiran tokoh-tokoh besar seperti Erns Cassirer, Schopenhauer, Socrates, dan lain-lain.

Pada cerita berjudul ‘Harapan’, beliau menuliskan, “Frankl membuktikan di laboratorium Auschwitz bahwa angka bunuh diri meningkat tinggi saat tawanan terjebak pada harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Perbandingannya 28:1.” Hal-hal lain juga diulas oleh penulis, seperti halnya Renaissance, lagu-lagu Melayu, Minang, Sunda, sampai sedikit pemahaman soal agama. Pemakaian bahasa Sunda dalam beberapa dialog juga membuat kesan cerita-cerita dalam buku ini sangat nyata. Sketsa-sketsanya, meskipun sederhana tetapi dapat merepresentasikan cerita.

Buku ini ternyata juga merupakan buku berseri. Saya merasa perlu membaca seri lainnya. Buku-buku berjudul, “Anak-anak Tukang”, “Secangkir Coklat Panas”, dan “Jangan Sisakan Nasi dalam Piring” sepertinya akan lezat jika dibaca semuanya. Namun yang menarik perhatian saya adalah buku Jangan Sisakan Nasi dalam Piring karena berlatarkan di Ubud, Bali.

Saya membaca buku ini sekali duduk, karena hampir mati kebosanan di dalam perpustakaan kota.

Leave a comment