Dunia Bal-Balan Umar Kayam

penulis: Bulky Rangga Permana, tirto.id – 16 Mar 2018

Kisah menguncup.
Seribu kunang-kunang
nyalakan hidup.

Dunia priayi begitu melekat pada diri Umar Kayam. Ini bukan saja karena ia lahir dari kalangan tersebut, tapi juga lantaran salah satu fokus tulisan-tulisannya adalah kehidupan priayi beserta segala persoalannya, termasuk hubungannya dengan lapisan sosial wong cilik.

Itu diperlihatkan dengan kuat dalam Para Priyayi dan sekuelnya, Jalan Menikung—dua novelnya yang termasyhur. Pengetahuan tentang dunia priayi yang kuat ia tunjukkan pula dalam kolom-kolomnya di harian lokal Yogyakarta Kedaulatan Rakyat. Kumpulan kolom tersebut kemudian dibukukan menjadi empat jilid: Mangan Ora Mangan Kumpul (1995), Sugih Tanpa Banda (1994), Madhep Ngalor Sugih, Madhep Ngidul Sugih (1997), Satrio Piningit ing Kampung Pingit (2000).

Mengetengahkan beragam persoalan yang dibahas dengan ringan dan senda gurau, Kayam melebarkan ulasannya tentang dunia priayi. Kolom-kolom yang ditulis dalam rentang waktu penerbitan novela Sri Sumarah dan Bawuk (1975) dan Para Priyayi (1992) ini pun terbilang unik karena Kayam menggunakan unsur-unsur dramatik seperti penokohan, setting, plot, dan dialog dalam narasinya.

Tapi, pilihan itu bukanlah kepura-puraan ataupun kegenitan.

“Satu hal jelas,” tulis Goenawan Mohamad dalam kata pengantar Mangan Ora Mangan Kumpul, “Umar Kayam tidak pernah berpura-pura ‘populer’. Ia tidak pernah mengambil pose seorang pintar yang merendah-rendah secara palsu seperti juru penerang yang punya siasat agar bisa dijangkau orang banyak. Setiap tulisan dalam Mangan Ora Mangan Kumpul ini adalah cerminan suatu pendekatan ramah yang otentik, tanpa siasat ini dan itu.”

Otentik karena Umar Kayam “tidak mengambil jarak (lebih tinggi atau lebih rendah) dengan pembacanya,” lanjut Goenawan Mohamad. Sayangnya, ketiadaan jarak ini pula yang mungkin membuat pembaca di luar penutur bahasa Jawa mengalami kesulitan. Karena kolom-kolom ini dipenuhi oleh kata dan frasa bahasa Jawa.

Begitu pula dengan kalangan wong cilik, lumayan sulit pula menangkap secara penuh kolom-kolom ini karena Umar Kayam spontan memuntahkan istilah-istilah asing.

“Tentunya jika wong cilik masa kini diartikan sebagai lapisan masyarakat yang oleh bangsa Inggris disebut uncultured atau unlettered, yang tidak mampu menghayati kebudayaan adiluhung,” tulis Sapardi Djoko Damono dalam pengantar Sugih Tanpa Banda.

Persoalan-persoalan yang dibahas Kayam dalam kolom-kolomnya sangat beragam mulai dari makanan, gaya hidup, politik, ekonomi, kebudayaan, termasuk sepakbola.

Membicarakan Sepakbola

Saya tak tahu adakah Umar Kayam dalam hidupnya menggemari sepakbola. Yang saya tahu, alter ego Kayam, Pak Ageng, tokoh sekaligus narator kolom-kolomnya, sering menyempatkan diri menonton bola. Bahkan ketika waktu siaran bola dini hari. Tak hanya itu, Pak Ageng pun sering terlibat percakapan mengenai bola bersama batur-nya, Mister Rigen, yang juga gila bola.

Menurut pengakuannya sendiri, Pak Ageng semasa sekolah dasar di Solo pernah menjadi anggota dua klub bal-balan. Di sekolah ikut perkumpulan O(nze) V(oetbal) C(lub) dan di kampung menjadi anggota B(romantakan) V(oetbal) C(lub). Kendati ia hanya menjadi pemain “cadangan abadi” dan bertugas sebagai “tukang kepruk es prongkol” untuk dibagikan pada pemain saat turun minum.

Umumnya, tulisan kolom dibuka lewat deskripsi atau obrolan mengenai sepakbola luar negeri, baik liga-liga Eropa, Piala Eropa, maupun Piala Dunia. Setelah itu barulah suara-suara kritik terhadap kondisi sepakbola Indonesia merembes dari percakapan antara tuan dan pembantunya itu.

Dalam kolom berjudul “Musim Bal-Balan” dan “PSV Eindhoven, Nacional de Montevideo, Perkesa Mataram”, Umar Kayam mengkritik PSSI yang tak pernah meraih prestasi dan kaitannya dengan fenomena perjudian berbentuk lotere (Porkas, yang kemudian berganti menjadi KSOB). Pada 1980-an, judi macam itu tumbuh subur. Pemerintah yang meluncurkan program ini menyebutnya sumbangan berhadiah yang keuntungannya akan disalurkan untuk bidang sosial dan olahraga.

“Begini lho, Pak. Saya itu ngungun kok bal-balan … kita itu kayaknya tidak maju-maju,” ujar Mister Rigen. “Wong tiap tarikan porkas saya ya selalu ikut nyumbang, lho. Gek uang yang sak petutuk banyaknya itu apa ya masih kurang saja untuk menaikkan mutu mereka, Pak?”

Peran Mister Rigen memang agak mirip Sancho Panza, pembantu Don Quixote yang setia dalam novel karya Miguel de Cervantes. Lewat keluguannya, Mister Rigen selalu menjadi tokoh yang paling vokal mempertanyakan masalah-masalah dalam hal sepakbola. Namun, melalui keluguannya pula, Mister Rigen, seorang wong cilik, menjadi korban perjudian berbentuk lotere itu sebagaimana sering diberitakan pada akhir 1980-an.

“Jadi KSOB itu baik ya, Gen, buat rakyat kecil?”

“Jelas to, Pak. Kita itu kalau tidak ada dolanan seperti itu harus main apa to, Pak? Wong gaji ya kecil tidak turah.”

“Tapi buat totohan KSOB turah?”

“Yaa, diturah-turahkan, Paak.”

Infografik Mozaik Umar kayam

Dalam “Tentang Main Sabun”, duet Pak Ageng dan Mister Rigen membahas soal insiden sepakbola gajah dalam pertandingan antara Persebaya versus Persipura di akhir-akhir babak penyisihan kompetisi perserikatan musim 1987/1988. Saat itu Persebaya mengalah 0-12 karena ingin menyingkirkan PSIS Semarang. Padahal saat itu Persebaya diisi pemain-pemain bintang dan bermain di kandang sendiri.

Ada pula ulasan tentang keberingasan suporter bonek dalam “Mister Rigen dan Nasi Bungkus Persebaya,” juga pemain AC Milan yang “bermain kampungan buang-buang bola dan ngenyek lawannya” setelah menang lawan Steaua Bucharest 4-0 di final Piala Champions (sekarang Liga Champions) dalam “Nonton Bal-Balan Tengah Malam.”

Lain lagi dalam “Bal-Balan Eropah dan Betik-Belik Pracimantara” saat laga final Piala Eropa antara Jerman versus Belanda. Mister Rigen mempertanyakan alasan pemerintah mengeluarkan uang banyak untuk membeli hak siar bola luar negeri yang mahal. Padahal menurutnya ongkos itu bisa dibuat untuk membangun belik-belik untuk menampung mata air di daerah Praci.

Begitulah, lewat tokoh-tokoh yang menghuni kolomnya, Umar Kayam ikut memberi perhatian pada persoalan sepakbola dalam hubungannya dalam beberapa permasalahan lain yang dihadapi Indonesia.

Dikenal sebagai individu yang serba bisa, lelaki yang sering dipanggil Uka ini memang menjalani karir yang beragam. Atributnya tak hanya sebagai seorang sastrawan, tapi juga budayawan, ilmuwan, birokrat, bahkan aktor.

Tepat hari ini 16 tahun lalu, pada pukul 07.45 tanggal 16 Maret 2002, Umar Kayam tutup usia di Rumah Sakit MMC, Jakarta. Dua pekan sebelumnya, ia terjatuh dan mengalami patah pangkal tulang paha. Umar Kayam dimakamkan di TPU Karet siang hari itu juga.

 

Leave a comment