Ketulusan | Miranda Risang Ayu

Miranda Risang Ayu
Resonansi, Republika, Senin, 22 April 2002

Ketulusan sering diibaratkan sebagai kertas putih. Kirana Nina pernah mengungkapkan mengalirnya ketulusan sebagai sesuatu yang hadir begitu saja, tanpa pretensi atau kepentingan apa pun untuk melakukan sesuatu. Ia seperti mata air yang mengalir dari kedalaman hati dengan sendirinya. Ia bening adanya.

Bening berarti tidak bewarna. Dari sudut pandang tradisi spiritual, ia bebas dari merah, jingga, kuning, dan bahkan putih; warna-warna yang menyimbolkan nafsu amarah, nafsu kepemilikan, nafsu kepada lawan jenis, sampai nafsu yang sebetulnya paling ilahiah, yakni nafsu untuk mengumpulkan sebanyak mungkin nilai kebenaran. Bening dapat diwarnai oleh apa saja, tetapi ia juga menghadirkan semua warna seperti adanya.

Seperti halnya air bening yang selalu menjadi tujuan dahaga yang telak, ketulusan juga menjadi dambaan jiwa yang kering. Ketulusan, siapa sangka, adalah harta yang esensial. Mungkin seseorang akan bahagia dengan memiliki uang, pangkat, atau jabatan. Tetapi, bahagia karena uang, pangkat, atau kedudukan itu baru kemungkinan. Bahagia karena ketulusan adalah kepastian.

Hadirnya ketulusan dalam hati, mengisyaratkan kondisi hati yang sederhana. Sederhana dari pretensi, kepentingan, atau hasil apa pun selain nikmatnya merasakan ketulusan itu saja, yang mengalir begitu saja. Nikmat itu membuat orang yang sedang tulus menjadi trans, hilang ingatan, lupa bahwa di ujung amal perbuatannya yang tulus, ada hasil lain yang layak ditagih olehnya selain sejuknya ketulusan itu sendiri.

Uniknya, di sinilah agaknya keadilan Tuhan hadir dengan feminin; tidak dengan berwibawa dan bermuatan ancaman atau hukuman, tetapi dengan bersahaja, bertaburkan keindahan dan keharuan. Kehadiran keadilan Tuhan seperti ini membuat sesuatu yang sederhana menjadi tidak sederhana: menjadi bermakna, dan abadi dalam ingatan.

Seorang teman saya, baru beberapa hari lalu, berdiri menunggu bus di halte, seperti biasa. Kepalanya dipenuhi oleh agenda program pekerjaan dan pemikiran yang harus diselesaikannya, seperti biasa. Yang tidak biasa adalah ketika seorang perempuan tua, yang mungkin lupa banyaknya uang yang telah disimpan di dompetnya, kehabisan uang dan mengulurkan tangan kepadanya: meminta. Teman saya itu sebetulnya orang yang paling berhati-hati untuk menyambut “peminta-minta”. Tetapi, ketulusan tiba-tiba memabukkannya sehingga ia sodorkan sepuluh ribu rupiah dari dompetnya, begitu saja. Lalu, karena sedang trans, tentu saja ia lupa. Esoknya, ia baru sadar sesuatu yang abadi baru saja menyapanya dengan begitu nyata ketika di trotoar, selembar uang sepuluh ribu tak bertuan tersangkut di sepatunya, menjadi miliknya.

Seorang teman saya yang lain, juga baru beberapa hari yang lalu, mengikhlaskan shalatnya di sebuah tempat yang, bagi budaya ritual yang kita kenal, menyedihkan: di dekat halte bus, di atas rerumputan hijau yang agak lengang, dekat dok pelabuhan. Tetapi, ia tampaknya tidak melihat bahwa orang-orang di sekitarnya bekerja, bermain, hingga berpesta. Uniknya, tidak dilihatnya juga keseronokan natural yang lain, ketika puluhan camar tiba-tiba hinggap diam-diam di tanah, mengitarinya, bersamaan dengan dahinya yang bertemu dengan bumi. Mungkin, camar-camar itu, ya, begitu itu tabiatnya. Tetapi, kebetulan itu menjadi begitu bernilai bagi orang yang melihatnya. Dan teman saya itu baru sadar, ketika disadarkan.

Sungguh mengherankan bahwa ketulusan itu sebetulnya sudah mengalir deras, tidak ada habisnya, dari balik tanah, bebatuan, dan hati Anda. Betulkah?

http://pojok-kanayakan.net

Leave a comment