Relokasi PKL Malioboro dalam Bayang-bayang Garis Imajiner Jogja

oleh Yosef Kelik

Berbagai proyek revitalisasi di Jogja tampaknya mengikuti panduan legenda garis imajiner.

MOJOK.CO – Sejumlah proyek revitalisasi di Jogja yang dimodali Dana Keistimewaan tampaknya dipengaruhi legenda garis imajiner. Termasuk pemindahan PKL Malioboro baru-baru ini.

Mulai Februari 2022 ini, ratusan pedagang kaki lima (PKL) Jalan Malioboro Yogyakarta bertemu babak akhirnya. Oleh Pemprov Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Pemerintah Kota Yogyakarta, mereka diberi waktu sepanjang minggu pertama Februari untuk pindah ke tempat berdagang yang baru. Ada dua lokasi yang disediakan sebagai tempat relokasi. Pihak pemerintah menjenamainya Teras Malioboro 1 dan Teras Malioboro 2. 

Teras Malioboro 1, bertahun-tahun sebelum dirombak menjadi bangunan moderen penampung PKL Malioboro, pernah lama menjadi bioskop. Bahkan dicatat pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) DIY sebagai bioskop pertama di Yogyakarta, beroperasi sejak 1916. Pada masa kolonial, bioskop tadi memakai nama Al Hambra dan Mascot. Begitu masuk era Indonesia Merdeka, berganti jenama menjadi Indra. Sementara Teras Malioboro 2 tadinya pernah menjadi kantor Dinas Pariwisata DIY.

Proses relokasi PKL Malioboro ini tak cuma berisikan cerita ibu-bapak serta mas dan mbak PKL yang bercucuran keringat dan air mata. Proses perombakan besar bangunan eks Bioskop Indra menjadi Teras Malioboro 1 diwarnai sengketa antara Pemprov DIY dan ahli waris. Prosesnya sampai melewati PTUN, banding, kasasi, hingga bersambung ke peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Jelang tenggat waktu relokasi, para PKL juga masih menggelar aksi untuk menunda waktu.

Secara pribadi, relokasi PKL Malioboro ini membuat saya teringat serangkaian kejadian yang terjadi di Jogja dalam dua dekade terakhir. Kejadian-kejadian itu tampaknya berporos pada legenda garis imajiner Jogja.

Garis imajiner utara-selatan

Lima belas tahun silam, ada kejadian yang mirip dan bisa dibandingkan dengan relokasi PKL Malioboro pada 2022 ini. Pada 2007 itu, Pasar Klithikan Pakuncen resmi beroperasi. Para pedagang yang mengisinya adalah para PKL klithikan atau barang loak itu sebelumnya berdagang di sepanjang ruas Jalan Margo Utomo (Tugu Jogja sampai Stasiun Tugu).

Jalan ini terletak di garis imajiner legendaris yang masih banyak dipercaya saat ini, bahwa ada garis lurus dari Gunung Merapi yang bisa ditarik ke Keraton, lalu ditarik ke arah Pantai Parangtritis. Karena itu, garis imajiner ini juga melalui jalan Malioboro. Saya berharap kisah eksisnya Pasar Klithikan Pakuncen dalam 15 tahun terakhir menular kepada Teras Malioboro 1 dan Teras Malioboro 2.

Menurut legenda, garis imajiner itu berasal dari masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana I. Pada 1755, Sang Sultan memutuskan bahwa daerah sekitar Alas Beringan dan Pesanggrahan Garjitawati, yang diapit aliran Sungai Code dan Sungai Winongo, sebagai tapak lokasi ibu kota serta istana Kasultanan Yogyakarta. Sang pendiri Kasultanan Yogyakarta itu memilih menata ibu kota berikut istananya dalam suatu pola sumbu atau poros garis imajiner lurus membujur dari utara ke selatan. 

Konon, tujuannya guna mengoptimalkan pengaruh positif dari alam semesta terhadap kerajaan yang tengah dirintisnya. Keraton boleh dipandang menempati bagian tengah dari garis imajiner, sumbu utara ke selatan tadi. 

Dipandang dari utara, di belakang Keraton ada Alun-alun Kidul alias Alun-alun Selatan. Mulai dari situ, jika ditarik lurus ke arah selatan, pertama-tama akan bertemu dengan bangunan Panggung Krapyak. Bangunan ini merupakan perwujudan konsep yoni, pasangan bagi lingga yang diwakili Tugu Pal Putih (Tugu Jogja). Bentuk Panggung Krapyak berupa bangunan tembok semacam bastion dengan bagian atas datar dan berpagar, yang dulunya digunakan untuk mengamati binatang buruan dan membidiknya. 

Pada masa awal berdirinya kota dan Keraton Kasultanan Yogyakarta, area sekeliling Panggung Krapyak memang masih lahan perburuan bagi raja. Jika ditarik garis imajiner lurus ke selatan dari Panggung Krapyak, akan menghasilkan pertemuan dengan Samudera Hindia atau Laut Selatan. Dalam mitologi Jawa, Laut Selatan dipercaya sebagai lokasi kerajaan dari Gusti Kanjeng Ratu Kidul.

Di depan Keraton ada Alun-alun Lor alias Alun-alun Utara. Lurus dari Alun-alun Lor tadi hingga sejauh hampir tiga kilometer ke arah utara, dihadirkan empat penggal jalan lurus. Dua penggal pertama masing-masing dinamai Jalan Pangurakan dan Jalan Margo Mulyo. Dua ruas jalan selanjutnya masing-masing dinamai Jalan Malioboro dan Jalan Margo Utomo.

Nah di ujung utara Jalan Margo Utomo dibangun suatu tugu tinggi sebagai perwujudan konsep lingga yang dikenal orang Jawa sedari zaman kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha. Dahulu, antara masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana I hingga masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana VI, tugu tersebut memiliki tinggi 25 meter. Tubuhnya silindris dengan pucuknya dihiasi bulatan dan disebut Tugu Golong Giling. 

Sayangnya, tugu tersebut roboh saat gempa hebat mengguncang Yogyakarta pada 1867. Memang kemudian dibangun kembali pada 1889, tapi dengan bentuk berbeda, yakni bersisi persegi, berpucuk meruncing, juga cuma setinggi sekitar 15 meter. Nama yang disandangnya pun menjadi Tugu Pal Putih. Dari tugu di utara Jalan Margo Utomo tadi jika ditarik lurus terus ke utara akan dapat bertemu Gunung Merapi.

Kembali ke penamaan dari Sultan Hamengkubuwana I

Penamaan empat serangkai penggal jalan (Pangurakan, Margo Mulyo, Malioboro, Margo Utomo) yang mewarnai garis imajiner Yogyakarta sendiri baru resmi digunakan pada 2013. Ini artinya kembali mengikuti penamaan yang dahulu diberikan Sultan Hamengkubuwanan I.

Selama berpuluh tahun sebelumnya, Jalan Pangurakan pernah menyandang nama Jalan Trikora. Penamaan tersebut karena Alun-alun Utara Kraton Yogyakarta pernah “dipinjam” Presiden Sukarno pada 19 Desember 1961 ketika mencanangkan Trikora alias Tri Komando Rakyat dalam upaya Indonesia merebut Irian Barat atau kini Papua dari kekuasaan Belanda.

Lalu, Jalan Margo Mulyo pernah pula lama menyandang nama Jalan Ahmad Yani. Ini agaknya selain untuk menghormati Jenderal Anumerta Ahmad Yani yang gugur saat ontran-ontran Peristiwa G30S tahun 1945, juga karena ruas jalan ini melewati depan Benteng Vredeburg. Benteng peninggalan Belanda itu selama beberapa dekade di awal Indonesia Merdeka pernah menjadi markas militer Garnisun Yogyakarta.

Untuk Jalan Margo Utomo, selama berpuluh tahun, pernah menyandang toponim Jalan Pangeran Mangkubumi. Ini tentu penamaan jalan yang dimaksudkan menghormati Sultan Hamengkubuwana I, pendiri Kasultanan Yogyakarta (Mangkubumi adalah gelarnya sebelum naik takhta). Setelah ruas jalan di selatan Tugu Pal Putih/Tugu Yogyakarta dikembalikan ke penamaan yang diberikan Sultan Hamengkubuwana I (Jalan Margo Utomo), nama Jalan Pangeran Mangkubumi disematkan pada ruas jalan di sisi utara Tugu.

Dari empat serangkai nama jalan tadi, hanya Malioboro yang bisa dibilang tidak pernah dinamai nama baru berbau penghormatan Pahlawan Nasional maupun glorifikasi nasionalisme Indonesia. “Modifikasi” hanya pada penulisan nama jalan yang sedikit berbeda dari versi aslinya. 

Menurut sejarawan Peter Carey sang penulis buku Kuasa Ramalan, biografi komplet Pangeran Diponegoro, penulisan asli Malioboro adalah Malyabara. Masih menurut Carey, Malyabara bermakna ‘jalan yang berhiaskan bunga-bunga’. Konon pada masa Sultan Hamengkubuwana I dan Sultan Hamengkubuwana II, Malyabara alias Malioboro digunakan untuk rute defile atau parade tentara Keraton.  

Kembali menjadi Versailles Jawa?

Jika kita runut, penamaan kembali empat serangkai penggal jalan yang membujur di garis imajiner terjadi setahun setelah penetapan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta (UU 13/2012). Setahun sebelum penetapan UU Keistimewaan, hubungan antara masyarakat Yogyakarta dan Keraton-nya di satu pihak dan Pemerintah Pusat di pihak lain sempat agak memanas. Kala itu, mereka yang berada di Yogyakarta bersilang pendapat dengan beberapa pendapat pejabat tinggi di Jakarta.

Setelah penetapan UU Keistimewaan Yogyakarta pada 2012, DIY lantas menerima kucuran banyak Dana Keistimewaan dari Pemerintah Pusat. Ini memungkinkan Yogyakarta mempercantik kota dan keratonnya. 

Relokasi PKL Malioboro hanyalah perkembangan paling akhir sejauh ini. Sebelumnya, area Kilometer Nol, area Tugu Yogyakarta, sepanjang Malioboro, kawasan Jalan Pasar Kembang, juga beberapa situs pesanggrahan telah pula mendapat proyek revitalisasi. Termasuk dalam ini adalah Alun-alun Utara yang kini dilingkari pagar besi pengaman.

Tak ketinggalan pula ada revitalisasi perbentengan Keraton Yogyakarta. Termasuk dalam hal ini adalah rekonstruksi pada 2019-2020 terhadap Pojok Beteng Lor Wetan alias Pojok Beteng Tanjung Anom. Bastion Timur Laut Kompleks Kraton Yogyakarta tersebut kembali tampil gagah seperti sebelum mengalami kehancuran pada 1812 gegara peristiwa Geger Sepehi

Menilik perkembangan Yogyakarta pada 2007 hingga 2022 ini, saya jadi terbayang-bayang bagaimana Peter Carey dalam jilid I Kuasa Ramalan mendeskripsikan kecantikan Kota Yogyakarta pada medio 1700-an hingga awal 1800-an. Dalam hal ini, Carey meminjam catatan testimoni dua pejabat Belanda.

“Masa itu Yogya makmur, kaya, dan indah. Negeri subur dan mujur. Ibu kota cantik dan asri, penuh gedung-gedung bagus, taman-taman tertata rapi, dan pesanggrahan-pesanggrahan yang bagus. Di mana-mana makanan dan air berlimpah kala itu, niaga, kerajinan, dan produksi berkembang. Orang Jawa merasa bangga dengan tempat kelahiran mereka.” Kata-kata ini berasal dari catatan Residen Belanda untuk Yogyakarta antara 1848-1851, Albert Hendrik Wendelin Baron de Kock.

Sekitar 20 tahun sebelumnya, seorang pejabat tinggi Koloni Hindia Belanda bernama Willem van Hogendorp memuji Yogyakarta pada masa Sultan Hamengkubuwana I dan Sultan Hamengkubuwana II dengan kata-kata, “Djocja dalam masa kemuliaannya pastilah merupakan Versailles Jawa.”

Apakah yang terjadi di Yogyakarta pada 2007-2022 merupakan upaya mewujudkan kota ini sebagai Versailles-nya Jawa?

Versailles asli yang ada di Prancis terletak 19 kilometer sebelah barat Paris. Versailles tersohor karena memiliki suatu istana yang luar biasa besar lagi teramat mewah, peninggalan Dinasti Bourbon Prancis. Pada masa pemerintahan Raja Louis XIV hingga Louis XVI, Versailles menjadi ibu kota de facto Kerajaan Prancis. 

Namun, sejak terjadinya Revolusi Prancis yang mendemokratisasi Prancis, Versailles lebih banyak berfungsi sebagai museum, tempat jutaan turis saban tahun menengok langsung kehidupan mewah Ratu Marie Antoinette.  

Leave a comment