Riwayatmu Nyai

*tulisan tahun 2011

Tatapanku terpaku pada selembar koran bekas yang terhampar di meja dapur..

 

Apa hubungan antara Nyai dan Kaum Indo?  Dalam salah satu kesempatan Professor Pamela Pattynama, guru besar luar biasa Universiteit van Amsterdam mengutip kalimat dari penulis buku ini, Reggie Baay. ”Nyai adalah nenek moyang kaum Indo Eropa.” (kompas, 8 september 2010)

Menarik sekali tulisan ini, review tentang buku karya Reggie Baay yang berjudul : Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Ditulis oleh seorang Pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya UI, Bapak Achmad Sunjayadi. Yang setelah aku googling ternyata beliau memiliki blog yang menarik sekali untuk disimak .

Tentu saja aku takkan menulis ulang semua review tersebut, silahkan baca saja di blog beliau. Aku hanya mencatat beberapa poin yang menarik perhatian.

1. Sebutan Nyai pada masa kolonial ditujukan pada perempuan simpanan orang asing, khususnya orang Eropa. Sebutan ini menurut anggapan orang Eropa pada masa itu setara dengan concubine, bijwijf atau selir yang meniru kebiasaan para raja di Nusantara yang memang memiliki banyak selir. Apabila kita menyebutkan kata  ’nyai’ pada masa kolonial, kemungkinan reaksi orang akan beragam. Ada yang tersenyum kecut, memasang wajah sinis atau meremehkan dan mungkin saja mengangkat bahu. Enggan membicarakannya lebih lanjut.

2. Oya, Reggie Baay ternyata seorang lelaki dan beliau adalah cucu seorang Nyai (Moeinah). Penulis roman De Ogen van Solo (2006) ini menelusuri akar per-nyai-an dengan menggunakan titik awal sejarah keluarganya. Tidak hanya menelusuri akar keluarganya tetapi juga mewancarai anak-anak dan cucu-cucu dari para nyai yang lain serta mengumpulkan foto-foto mereka. Seperti kata pepatah ‘sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui’, Baay tidak hanya mendapatkan informasi tentang asal-usulnya, ia juga mendapat informasi bagaimana nasib beberapa nyai tersebut sekaligus meramunya dengan sumber-sumber sejarah serta karya sastra sejaman dan modern.

3. Pergeseran makna. Seperti halnya dengan panggilan Bung yang semula digunakan sebagai panggilan pengobar semangat, lalu dalam satu episode sejarah ia berubah menjadi panggilan yang digunakan dalam pertukaran kalimat yang tidak lagi hangat cenderung kasar, sehingga lama kelamaan panggilan tersebut ditinggalkan. Begitu juga yang terjadi dengan Nyai, dulunya merupakan panggilan kehormatan untuk wanita yang dianggap lebih tua serta kaya dalam ilmu dan pengalaman hidup, mungkin seperti panggilan yang dilekatkan pada Nyi Ageng Serang kali ya..? namun lagi² dalam perjalanan sejarah ia berubah menjadi panggilan yang memberikan aura berbeda.

Waduh, bagaimana ini? semua yang tadinya baik, lalu dibelokkan maknanya jadi bengkok. Sehingga tidak terpakai lagi, truuuss hanya tinggal sejarah saja 😥

Leave a comment