Purnama Hati | Miranda Risang Ayu

kutipan:

Suatu hari, seorang perempuan menemukan bahwa dibalik hubungannya yang baik dengan suaminya selama lebih dari 10 tahun, ia harus menemui kenyataan bahwa ia memiliki berbagai kelemahan, dan karenanya ia harus berbagi dengan perempuan lain. Saudara perempuannya itu tentu saja juga seorang perempuan yang taat beragama dan memiliki kelebihan yang tidak dimilikinya. Secara logika, perempuan itu bisa menerima. Terlebih lagi, ada nilai2 poligamis yg dibenarkan agamanya. Tetapi kalau ia mau jujur, ada yang hilang didadanya.

Kepada seorang saleh perempuan itu bertanya, apakah belahan jiwa itu ada.? Orang saleh itu pun menjawab, hakikatnya tidak ada. Dalam perjalanan spiritual, hanya boleh ada kesendirian, dengan ditemani ingatan kepada-Nya. Hanya ketunggalan yang bisa memahami Mahatunggal. Perempuan ini jadi pusing karena ia pun tahu, ada ketentuan bahwa perceraian adalah hal yang halal tapi dibenci oleh Tuhan. Inikah yang harus dibayar dari perjalanan cintanya selama ini menuju Tuhan; hanya untuk menemui kebencian-Nya?

Tetapi Tuhan selalu datang sesuai prasangka hamba-Nya, dan dia pun Maha Pengampun. Perjalanan spiritual konon adalah perjalanan menembus waktu subjektif tanpa kawan, tanpa bekal, tanpa lentera, kecuali keimanan. Dan kesabaran adalah pencapaiannya. Dalam ikatan poligami, ia dapat mencapai kesabaran dengan berusaha berbagi. Tetapi jika ia keluar dari ikatan itu, ia pun dapat mencapai kesabaran dengan berusaha mandiri.

Sementara itu, anak-anaknya sekolah, berlibur dan bermain seperti biasa. Wajah-wajah meraka indah,tingkah laku mereka mandiri, dan kepandaian mereka membuat iri. Anak anak ini telah mengenal nilai-nilai diatas awan. Lalu, akankah mereka juga harus tahu bahwa kenyataan didunia ini sesungguhnya bukan hanya itu ? ada perang , perselisihan, bahkan perceraian ? Mereka masih rentan. Sementara , pembelajaran itu kini mendesak masuk bahkan melalui orangtuanya sendiri.

Akhirnya, dalam konflik batinnya perempuan itu menulis sepucuk surat bagi anak-anaknya. Ia berharap, suatu saat, mereka akan membacanya. “anakku sayang, aku sungguh tidak tahu apakah bagimu aku atau ayahm sekarang. Semoga , kau masih ingat, saat kau dan aku bergandengan tangan menembus malam dan menertawakan ketakutan kita kepada hantu. Juga, saat kau dan aku bergandengan makan direstoran, hanya berduaan. Atau saat kau marah hingga tertidur dalam pelukan.

Aku sendiri ingat, suatu saat kau demam, tetapi kau berlari keluar seperti setiap pagi selalu kau lakukan, dan aku marah, tetapi langsung meleleh karena ternyata kau Cuma memungutkan sekuntum bunga untukku. Semoga kalian juga masih ingat ketika kita rebutan becak bersama-sama, aku bercanda dengan ayahmu. Kini pun, kau akan melihat bahwa canda itu masih ada. Tetapi sesuatu telah berubah: kenyataan hidup yang tidak mengenakkan. Mungkin kau akan mengatakan bahwa aku dan ayahmu ternyata tidak sekuat dugaanmu. Kau boleh marah. Tetapi setelah itu bertanyalah tulus kepada Tuhan, yang adalah sumber dari segala kekuatan, apakah aku dan ayahmu sebetulnya menyayangimu.

Bagiku sendiri, yang selalu takut menghadapi hidup sama seperti takutku meghadapi mati, masih amat sangat ingin aku menggandeng tanganmu, untuk bersama menemukan keberanian menghadapi kerasnya kehidupan; untuk menerima kelebihan dan kekuranganya, mungkin menertawakannya, dan lantas dengan tulus menemukan bahwa, akhirnya , kita selalu butuh bimbingan-Nya.

Purnama Hati, Miranda Risang Ayu

Leave a comment