Ananda Sukarlan Berdamai dengan Sindrom Asperger

sumber: https://majalahelipsis.com/ananda-sukarlan-berdamai-dengan-sindrom-asperger/

Pianis dan komponis bereputasi internasional Ananda Sukarlan berdamai dengan Sindrom Asperger yang merupakan bagian dari spektrum autisme. Ia mengidap sindrom itu sejak kecil. Tapi siapa sangka, sindrom tersebut turut mengasah bakat seninya, khususnya di bidang musik.

PENGANTAR REDAKSI:
Jika merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V, bakat memang sesuatu yang dibawa sejak lahir. Pernyataan Ananda Sukarlan tersebut menjadi masuk akal sekaligus membuat penasaran. Ananda Sukarlan memang bukan orang asing lagi di jagat musik Tanah Air. Opini-opininya bersama sang sahabat, Riri Satria, mengenai kecerdasan buatan (AI) di dunia seni dan sastra serta profilnya pernah dikupas di majalah elipsis edisi 021, Februari—Maret 2023 lalu. Kali ini, majalah elipsis kembali mendapatkan kesempatan untuk berbincang langsung mengenai sisi lain seorang Ananda Sukarlan, maestro musik klasik kaliber dunia di acara Payakumbuh Poetry Festival (PPF) 2023, di Kafe Agamjua Kota Payakumbuh, Sumatra Barat (Kamis, 5/10/2023). Ananda Sukarlan lulusan Koninklijk Conservatorium (Royal Conservatory) of Music dengan predikat Summa CumLaude di Den Haag, adalah penerima anugerah gelar Kesatriaan Tertinggi “Cavaliere Ordine della Stella d’Italia” dari Presiden Sergio Mattarella, dan anugerah gelar Sri Raja Pujangga Nusantara dari Sripaduka Baginda Maharaja Kutai Mulawarman. Berikut wawancara Pemimpin Redaksi Majalah elipsis Ayu K. Ardi dengan Ananda Sukarlan.


Bisa ceritakan tentang kebiasaan-kebiasan unik Anda?

Kebiasaan unik saya tidak di rumah, tetapi karena banyak juga yang bertanya, jadi saya jawab di sini saja. Tentang kebiasaan saya memakai sepatu yang berbeda, kanan dan kiri. Itu karena sikap saya terhadap toleransi perbedaan. Jadi, saya menganggap, kenapa sepatu itu harus seragam. Keseragaman adalah keberagaman. Itu menurut saya. Jadi, ketika banyak orang yang bertanya, ini bukan karena salah memilih sepatu? Tentu tidak.

Bagaimana hubungan Anda dalam keluarga dan pandangan keluarga terhadap diri Anda?

Saya sudah berkeluarga, istri saya orang Spanyol, jadi anak saya ya, Indo. Anak saya satu orang, perempuan. Dia kuliah di Madrid. Jadi, saat ini saya bolak-balik Spanyol—Madrid—Jakarta. Di keluarga, saya memang satu-satunya seniman. Saya adalah bungsu dari tujuh bersaudara. Saya mengidap sindrom asperger, dan itu yang membuat otak saya memiliki bagian yang sangat aktif dan juga ada bagian yang tidak aktif sama sekali. Misalnya, saya tidak bisa mengkoordinasikan gerak motorik saya. Jadi, saya tidak bisa menyetir, tidak bisa mengikat tali sepatu, tidak bisa membuat simpul. Saya bisa berenang, tapi saya tidak bisa berenang yang canggih, seperti gaya kupu-kupu dan segala macam. Di bagian lain otak saya, musiknya sangat aktif. Itu ketika didiagnosa dikatakan bukan bakat. Karena kalau bakat itu akan didapatkan turun-temurun, dan itu tidak ada dalam sejarah keluarga saya yang bermusik. Anak saya juga tidak memiliki bakat musik. Anak saya sangat teknik, ia sukanya Matematika dan sekarang ia belajar di Fakultas Digital Marketing di Madrid. Jadi, orang tua saya dan kakak-kakak saya sudah maklum.

Tentang sindrom asperger sejak kapan terdiagnosanya dan bisa diceritakan sedikit mengenai hal yang biasa dialami?

Ya, sindrom asperger itu bagian dari spektrum autisme, antara lain saya itu tahu-tahu suka bergerak sendiri, mata saya suka berkedip-kedip dan segala macam. Jadi, syarafnya itu ada yang nempel di batang otak. Saya didiagnosa sindrom asperger ini ketika umur 28 tahun di Bulgaria. Sebenarnya sudah dari kecil, bahkan dari lahir, tapi kalau di Indonesia saat itu sindrom ini belum dikenal, ya. Dan orang dengan sindrom asperger ini biasanya hanya memiliki satu keahlian saja, tapi sangat fokus. Ya, paling banyak dua. Sindrom ini belum diketahui penyebabnya. Saya juga tidak bisa baca peta, tapi syukurnya dengan teknologi saat ini sudah ada solusinya. Sekarang sudah ada aplikasi peta yang memberi instruksi lewat suara.

Sejak kapan Anda bermusik dan siapa yang memperkenalkan Anda dengan musik?

Sebetulnya sejak kecil, karena ada piano bekas di rumah, peninggalan teman keluarga asal Belanda. Jadi, kakak saya dileskan oleh orang tua. Keluarga saya bukan keluarga kaya, nanti kakak saya itu yang mengajari adik-adiknya. Biar irit uang lesnya. Waktu itu saya belum diajari karena saya masih terlalu kecil. Tapi kemudian saya memain-mainkan piano, bikin ribut segala macam, lalu orang tua saya berkata supaya saya yang paling kecil ini ikut diajari juga. Lalu, malah saya yang paling cepat belajar permainan piano. Nah, itu sudah sindrom asperger sebetulnya, karena bagian situnya sangat aktif.

Bagaimana mulanya Anda tertarik dengan musik klasik hingga menjadi maestro komponis dan pianis kelas dunia seperti sekarang?

Teman keluarga yang sudah kembali ke negaranya, Belanda, meninggalkan beberapa piringan hitam. Itu semuanya musik barok/klasik. Saya mendengarkan lagu-lagu itu sejak pulang sekolah sampai malam, hingga lupa makan, mandi, dan belajar. Efek dari sindrom asperger juga, bahwa saya bisa mengingat semua simfoni seperti Rachmaninoff dan Prokovief yang panjangnya bisa sampai 40 menit. Kakak-kakak saya malah tidak ada yang tahan mendengarkan lagu-lagu itu. Tapi, kakak-kakak saya punya kaset The Beatles, Queen, Elton John, dll. Hanya yang tiga itu yang menjadi favorit saya dan menjadi salah satu acuan saya juga dalam membuat musik, ditambah dengan Michael Jackson, Pet Shop Boys, dan Lady Gaga kalau sekarang.

Apa yang mendorong Anda membuat musik dari puisi?

Gara-gara sindrom asperger ini juga membuat sel-sel otak saya tercampur antara visual dan aural. Jadi, saya bisa mendengar warna. Yang tadinya waktu saya kecil, saya pikir semua orang bisa mendengarnya juga. Ini dinamakan sinestesia. Saya juga mengetahui istilah ini di Bulgaria. Jadi, kalau saya lihat warna hijau, misalnya dan bentuk itu bisa langsung jadi bunyi. Karena itulah saya banyak bikin musik dari puisi, dari lukisan. Sebenarnya lebih dari lukisan. Karena buat saya puisi itu melukiskan sesuatu dan itu menjadi bunyi. Terus saya pikir, ya tulis saja (partiturnya). Tapi ya itu, bunyi kemudian dimodifikasi untuk jadi musik. Kadang-kadang kalau hanya bunyi saja, sekarang ini semua benda di sini berbunyi buat saya. Tapi, ‘kan itu belum tentu musik dan kadang-kadang bukan bunyi yang bagus yang bisa diperdengarkan untuk orang. Misalnya, warna meja ini bunyinya tidak bagus, tapi bunyi.

Mengenai sinestesia Anda yang dapat mendengar warna, bisa dideskripsikan?

Yang saya dengar dari warna dan benda-benda yang saya lihat itu bukan musik tapi akor (bunyi). Dari bunyi itu kita mesti tahu kalau dituliskan not-notnya apa saja. Kemudian, itu belum jadi musik, baru bunyi, harus dimodifikasi sehingga jadi musik. Kalau saya seperti itu. Melihat warna atau bentuk jadi bunyi, pokoknya dari visual jadi aural. Ada yang terbalik, ada orang yang punya sinestesia ketika mendengar musik, dia tahu itu warnanya apa.

Apakah Anda merasa terganggu dengan sindrom asperger dan sinestesia Anda?

Tidak, sih. Karena saya sudah lahir dengan kondisi ini jadi saya tidak merasa terganggu. Bahkan sejak kecil saya menganggap bahwa apa yang saya alami ini (mendengar bunyi dari warna dan benda-benda) itu wajar, semua orang juga sama dengan saya. Tetapi tiap kali saya bilang kalau misalnya warna/benda ini suaranya bagus, ya. Orang tua saya selalu berkata, “Itu tidak bunyi, sayang. Warna itu dilihat, tidak ada suaranya.”

Apakah Anda pernah mendapatkan perundungan karena kondisi Anda tersebut?

Oh, banget. Saya juga banyak bicara soal bully. Barusan saya juga di-interview oleh salah satu media di Jakarta, karena sekarang sedang ramai kasus bully sampai ada anak bunuh diri dan saya diminta speak up soal itu.

Apa itu puisi menurut Anda?

Puisi itu melukis hal-hal yang tidak bisa dilukis. Misalnya:

/langit yang memejamkan mata/ atau
/memungut detik demi detik merangkainya seperti bunga/

Itu sajak-sajaknya Sapardi Djoko Damono, kan begitu. Itu, kan melukis. Tetapi pelukis kalau disuruh melukis memungut detik demi detik dan merangkainya seperti bunga, itu seperti apa. Saya bisa melukisnya di dalam musik, tapi tentu saja kalau dalam visual, pelukis juga tidak bisa menggambarkannya. Jadi, buat saya itu sangat natural bahwa saya membuat musik dari puisi dan dari lukisan.

Kapan Anda mulai tertarik membuat musik dari puisi?

Sebetulnya sudah lama. Tapi saya mengertinya itu waktu kuliah. Saya kuliah musik di Belanda, dan di situ diajarkan soal sastra, soal puisi, dan bagaimana relasinya. Tapi, kemudian saya punya konsep tersendiri. Karena saya kuliah di Belanda, jadi saya membuatnya dari bahasa-bahasa Jerman, bahasa Inggris. Waktu itu saya di Eropa, ya sampai sekarang juga, tapi waktu itu, ‘kan belum ada internet. Nah, setelah ada internet saya baru kenal dengan puisi-puisi Indonesia. Jadi, saya itu kuliah di luar negeri tanpa tahu puisi-puisi Indonesia. Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, dll. Lalu saya membaca di internet, puisi-puisi Indonesia buat saya adalah hal yang baru pada saat itu. Apalagi bahasa Indonesia itu mixed, campuran dari bahasa Melayu, Belanda, Portugis, begitu, jadi bagi saya ritmenya itu tidak jelas. Jadi, saya butuh belajar untuk itu. Tapi, akhirnya saya malah mendalami dan jadi mengerti sebenarnya bagaimana. Bisa dikatakan sejak ada internet itulah saya baru membuat musik dari puisi-puisi Indonesia. Dari sekitar tahun 2002—2003, begitu.

Puisi pertama yang menginspirasi Anda untuk membuat musiknya, sampai saat ini sudah berapa musik yang Anda gubah dari puisi?

Emily dickinson (Amerika), Shakespeare (Inggris), dan banyak lainnya.

Mengapa Anda memilih puisi bukan lukisan yang lebih mengandung banyak warna sebagai inspirasi dalam membuat musik?

Sebenarnya saya lebih banyak membuat musik dari lukisan juga. Tetapi lukisan-lukisan di Eropa, ya. Jadi. Saya demen banget ke galeri lukisan, lalu saya nongkrong di situ nulis saja. Menggubah musik.

Anda mendokumentasikan karya Anda tersebut ke dalam bentuk apa?

Partitur. Jadi, partitur, not balok karena ini, ‘kan musik klasik, ya. Jadi, penyanyi-penyanyi bisa langsung membaca dan menyanyikan. Biasanya penyanyi dan satu iringan, misalnya piano atau harpa, atau beberapa instrumen. Yang diorkestrakan juga sudah banyak.

Apakah ada kebiasaan unik atau ritual khusus sebelum Anda mulai bekerja menggubah musik?

Tidak ada, karena saya menulis setiap hari. Jadi, ya menulis saja. Dan buat saya, inspirasi ada di mana-mana. Termasuk tadi saya bilang, ini meja sudah jadi inspirasi.

Menurut Anda, bagaimana perkembangan dunia sastra terutama puisi di Indonesia saat ini?

Menurut saya, di Indonesia perkembangannya bagus, karena ada peran media sosial juga. Kebetulan tahun 2021 itu saya terkena Covid, cukup parah. Jadi, beberapa bulan itu lemas saja, malas bergerak, dan jadi gendut. Dan karena itu, jadi saya sehari-hari, ya banyak browsing lihat-lihat puisi dan lihat banyak puisi yang belum pernah saya baca. Antara lain itu puisi-puisi dari Sumatra Barat: Riri Satria, Muhammad Subhan, Heru Joni Putra, Wayan Jengki Sunarta. Kalau Chairil Anwar saya sudah lama membacanya. Lalu ya, itu saya bikin musik. Ada juga Kiki Sulistyo, yang hadir juga di acara ini. Jadi, saat bertemu di PPF ini saya baru bilang kalau saya bikin musik dari puisinya dia. Waktu bikin tidak minta izin dulu, tapi belum dimainkan, sih. Ke Heru juga saya izinnya baru beberapa bulan yang lalu. Jadi, itu Covid membawa berkah, sih. Saya jadi banyak bikin musik, karena di tempat tidur jadi, ya nulis saja. Membaca puisi lalu muncul dorongan untuk membuat musiknya, yang tadinya puisi-puisi itu belum pernah saya dengar sama sekali.

Bagaimana kesan Anda terhadap konsep acara Payakumbuh Poetry Festival (PPF) ini?

Saya pertama kali ke acara ini dan ini keren banget, karena saya sudah beberapa kali ke festival sastra lainnya. Di sini keren banget karena ini lintas bidang, ya. Jadi, dari puisi ke musik, ke film, teater, segala macam. Menurut saya, itu yang dibutuhkan di Indonesia. Karena di Indonesia biasanya dari satu bidang, ya, sudah yang berkumpul orang-orang di satu bidang itu saja, tidak ke luar dari situ. Jadi, kalau ada klub sastra, yang datang ya orang-orang klub sastra. Klub musik yang datang orang-orang musik. Padahal, sebenarnya justru yang kita butuhkan itu penonton dari pihak luar, kan. Jadi, menurut saya yang seperti inilah yang dibutuhkan di Indonesia untuk sastra bahwa ini bisa berhubungan dengan bidang-bidang lain. Dan saya juga ingin sekali menunjukkan bahwa dunia sastra, dunia puisi bukan hanya milik para sastrawan. Oleh karena itu, di sini saya juga berkerja sama dengan pihak ISI Padang Panjang. Saya menunjukkan karya saya, supaya mereka bisa menyanyikannya. Itu sebenarnya konsepnya saya belajar dari Spanyol, dari Ratu Sofia yang dulu membuat konsep seperti itu juga. Jadi, saya dulu yang pertama kali membawa Tari Kecak ke Spanyol. Tari kecak yang seharusnya melibatkan puluhan orang, saya membawa beberapa orang saja dari Bali karena Sang Ratu minta budgetnya tidak terlalu besar. Lalu, penari Kecak dari Bali itu tinggal selama satu minggu dan mengajarkan Tari Kecak kepada 70-80 orang Spanyol dan kemudian dipergelarkan. Itu justru yang membuat lintas budaya dua negara, dua budaya bisa saling berkomunikasi, dan itu yang membuat perbedaan menjadi indah.

Pesan Anda bagi para penulis pemula/penulis remaja di Indonesia?

Banyak membaca dan banyak latihan menulis, dan banyak belajar. Karena yang penting itu karya seni apa pun, itu adalah jati diri kita. Jadi, bagi pemula boleh melalui tahap meniru terlebih dahulu, tapi meniru dari banyak orang, jangan meniru dari satu orang saja untuk bisa menemukan jati dirinya. Karena misalnya, jika meniru puisi Sapardi, pasti tidak akan sebagus SDD dan sudah ada yang bikin puisinya, yaitu SDD.

Bagaimana hubungan musik dengan puisi dalam hidup Anda?

Buat saya itu dua hal yang sama. Musik itu puitis dan puisi itu musical. Puisi adalah melukis hal-hal yang tidak dapat dilukis. Musik itu mengekspresikan hal-hal yang tidak dapat diekspresikan dengan kata-kata.

Kembali ke sindrom asperger dan sinestesia tadi, apakah saat ini sudah ada mesin yang dapat menerjemahkan warna menjadi musik atau musik menjadi warna?

Belum, sih. Tapi sekarang dengan Elon Musk yang membuat teknologi neuralink, mungkin akan ada bagian itu di sana.

Sebagai seorang penyintas sindrom asperger ini, apa harapan Anda?

Saya terbuka dan ingin berbagi tentang sindrom ini, karena sudah banyak juga di Indonesia orang tua yang anak-anaknya menderita sindrom ini dan masih sangat kurang informasi.


Leave a comment