Kemiri

Sang To Manngolo merapal doa tolak bala. Mataku tak bisa lepas dari sesaji di atas tikar. Dupa. Nasi ketan. Kelapa. Telur. Gula Merah. Pisang. Jika saja pisang itu bukan sesaji, sudah kusambar barang satu dua. Aku gemar makan pisang masak. Nenek biasa membelikan aku pisang masak. Dan biasanya dia tergelak, sebab belum tanak makan siang, setengah sisir pisang telah lenyap dari meja makan. Aku pernah bertanya, kenapa setiap kali aku menghabiskan pisang, Nenek hanya tertawa dan tidak memarahiku. Nenek menjawab, “Makanan bukanlah sumber kemarahan. Tak pantas orang marah karena makanan. Makanan pada akhirnya hanya akan menjadi kotoran.” Kadang-kadang aku mengerti jawabannya, namun lebih banyak aku mengernyit.

Sang To Manngolo menuntaskan doa. Kulihat Nenek menyapukan kedua tangan ke wajahnya, demikian orang-orang yang hadir. Aku mengenali semuanya. Mereka adalah petani kemiri, kawan-kawan Nenek. Nenek bilang, upacara mappanngolo baik untuk kebun. Orang-orang datang mendoakan tanah garapan Nenek agar diberkati Tuhan

Nenek bercakap-cakap dengan orang-orang desa yang hadir. Mereka membicarakan tentang sewa buruh dan hama.
Percakapan terus berlanjut, kemenyan masih tetap menyala. Baunya mulai membuatku pusing. Aku mundur, lalu keluar melalui pintu belakang. Kemudian menuruni tangga. Duduk di anak tangga ketujuh. Aku merundukkan kepala, menengok Bolong, anjing penjaga kebun Nenek. Anjing itu tengah duduk di kolong rumah. Bias lampu petromaks dari atas rumah jatuh ke kolong, membuat kedua mata Bolong bercahaya kebiruan. Di dalam rumah, kudengar Nenek berkata, “Semoga tanah garapan kita diberkahi.

KEESOKAN PAGINYA, ketika pagi masih dingin, Nenek sudah menarik selimutku, lalu ia memekik, “Anak Timpuseng jangan malas. Ayo, bangun. Sebentar lagi kita akan upacara mappamula.” Aku menggosok kedua mataku. Lalu menggeser tirai jendela. Di luar masih pekat, bahkan anjing kami, Bolong, barangkali belum bangun. Aku benar-benar kesal lantaran terlalu banyak upacara menjelang musim tanam kemiri.
Kami lalu pergi ke kebun. Sambil berjalan kaki, aku terkantuk-kantuk, sekali kakiku terantuk batu. Tiba di tanah garapan mataku sudah melek. Satu dua orang sudah menunggu. Beberapa saat kemudian To Manngolo membaca doa. Doa mengalun dalam kegelapan subuh. Perasaanku gelisah. Aku tidak menyimak doa To Manngolo. Pikiranku tertuju pada luing. Aku membayangkan kaki-kaki luing yang menggelikan, dan semprotan kencingnya bisa membuat kulit melepuh, teman sekelasku yang bilang begitu.

Aku heran, kenapa upacara ini tidak dimulai saja pada pagi hari, agar aku bisa melihat luing, kalau-kalau binatang menjijikkan itu mendekati kakiku. Sementara aku memikirkan luing, To Manngolo sudah selesai berdoa. Ia kemudian pamit pulang bersama orang-orang. Nenek menahan mereka untuk makan pagi, tetapi mereka semua adalah petani, yang senantiasa sibuk di pagi hari.

Kini tinggallah aku dan Nenek. Kami duduk di bawah pohon sengon. Nenek mengeluarkan termos air panasnya yang berisi teh. Ia membuka rantang dan mengeluarkan kue putu. Aku kemudian bertanya pada Nenek, kenapa upacara mappamula tidak dilakukan saat jam sembilan pagi, tengah hari, atau sore hari saja.                     “Aku masih mengantuk tadi,” keluhku.
Nenek kemudian berkata, “Leluhur orang Bugis percaya bahwa menginjak bayangan itu pamali. Menginjak bayangan sendiri, sama saja menginjak-injak apa yang kita tanam. Jadi mappamula hanya bisa dilakukan subuh-subuh, sebelum matahari dan bayangan muncul.”

“Memangnya kenapa? Apa hubungan kemiri dan bayang-bayang?” Aku sulit memahami perkataan Nenek. Sesulit aku memahami kenapa Bolong sering kali menempelkan pantatnya di pantat anjing Ambo Gising. Pernah kutanyakan kenapa Bolong berlaku begitu, Nenek tidak menjawab, melainkan hanya tergelak. Aku rasa pertanyaanku sulit, sehingga Nenek tak punya jawaban.  

Setelah kami menghabiskan empat potong kue putuNenek mengambil arit. Ia mengarit semak. Kadang-kadang ia memaras dengan parang untuk rumput yang keras. “Kenapa Nenek tidak menyewa buruh saja?” tanyaku.
“Nanti buruh yang mengerjakan sisanya. Pemilik kebunlah yang memulai membabat alas, jika kau ingin menjadi petani kemiri kelak, kau harus tahu semua ritual ini,”  Nenek menjelaskan padaku.

Aku kasihan melihat Nenek membungkuk mengarit lalu memaras, tapi Nenek justru merasa sakit badannya jika ia tidak bekerja di kebun. Aku membantu seadanya. Menjelang tengah hari, Nenek dan aku istirahat. Kami makan nasi dan daging bebek berlumur tumisan cabai rawit. Enak sekali. Kelar makan siang, Nenek kembali lagi membabat alas.  

Tak terasa matahari sudah menggelingsir ke barat, Nenek kemudian memasukkan sabit, parangnya, termos air panas dan rantang ke dalam keranjang. Kami berjalan pulang. Di tengah perjalanan, Nenek berkata, “Jika nanti kemiri-kemiri kita sudah berbuah dan kita telah memanennya, Nenek akan membelikanmu bola sepak.” Aku sungguh senang mendengarnya.

SUDAH ENAM BULAN aku tinggal bersama Nenek. Sebelumnya aku tinggal bersama Ayah di Makassar. Aku tidak pernah melihat wajah ibuku. Ayah bilang, ibuku terbang ke langit setelah aku keluar dari perutnya. Tapi, aku tahu ibuku meninggal karena kesakitan melahirkan, aku pernah melihat itu di sebuah film. Jadi sebenarnya, aku tak perlu dibohongi dengan cerita putri-putri begitu.

Lalu, setelah Ayah menikah lagi, Nenek datang ke rumah kami, berbicara dengan Ayah. Nenek memintaku tinggal bersamanya di Timpuseng. Mulanya aku tidak mau. Aku berkata padanya, di Timpuseng tak ada sekolah sepak bola dan Time Zone. Nenek bertanya, apa itu Time Zone. “Itu pusat permainan di mal, Nek,” kataku.

Nenek lalu berkata, di Timpuseng juga ada pusat permainan. Anak-anak bermain gasing, main logo dan main maggale di sana. Aku tidak paham dengan permainan yang disebutkan Nenek. Ayah membelikan aku iPad dan aku bermain christiano ronaldo footy dan angry bird di iPad. Nenek memintaku meninggalkan iPad itu. Ia bilang, anak-anak di desa tak memiliki benda ribut semacam itu. “Tinggalkan saja barang ribut itu, jangan membawa mainan yang tidak dipunyai anak desa,” perintah Nenek. Nenek menyebut iPad dengan ‘barang ribut’. Aku tidak rela ia menyebutnya demikian, aku lalu menunjukkan permainan angry bird dan kelihaianku mengarahkan ketapel ke arah burung. Niatku supaya Nenek mengagumi iPad milikku.
“Di Timpuseng juga ada permainan dengan burung-burung,” kata Nenek.
“Memang ada?”
“Ada. Bedanya, anak-anak di Timpuseng tidak menembak burung dengan ketapel, melainkan membuat sarang di pohon sengon untuk tempat burung-burung menyimpan anaknya. Kalau kau ke sana, mereka akan mengajarimu memanjat pohon dan menaruh sarang burung.”
Aku mulai tertarik dengan bujukan Nenek.
Menjelang hari keberangkatan, aku agak malas pergi ke desa karena tidak membawa iPad. Nenek kemudian membujukku lagi dengan cerita lain. Ia menceritakan  anjing peliharaannya yang pintar. Anjing berbulu hitam, yang ia  namakan Bolong. “Bolong tidak suka barang-barang ribut, ia akan menggonggong melihat pret.”
Aipet, Nek, bukan pret,” ujarku sambil meralat cara membaca iPad dengan jengkel.
Pada akhirnya, aku mau juga tinggal dengan Nenek karena aku penasaran bermain dengan Bolong.
Setelah tiba di desa, barulah aku tahu, pusat permainan yang dimaksud Nenek adalah lapangan buruk yang ditumbuhi rumput teki. Tidak ada mesin-mesin permainan di sana. Hanya ada sekumpulan anak-anak sepantaranku, bertelanjang dada, yang tengah menjepit tempurung kelapa dengan kedua tumitnya. Di perjalanan kemudian, aku melihat seorang anak laki-laki mengusir ibis putih dari batang-batang padi, pemandangan yang ini agak membuatku terhibur.

Tiba di rumah Nenek, aku makin merasa dikhianati. Semula aku membayangkan rumah Nenek seperti rumah kami di Makassar. Ada kolam ikan koi di pekarangannya. Nyatanya pekarangan Nenek hanya ditumbuhi bunga tahi ayam dan lengkuas yang tumpang tindih—belum lagi bebek-bebeknya yang terkejut ketika mobil Ayah masuk ke halaman. Dan, anjing yang ia sebut-sebut bernama Bolong itu, hanyalah anjing penjaga kebun yang tua dan bulukan. Aku ingin kembali bersama Ayah, tetapi melihat Nenek membungkuk, menggayung air gumbang di bawah tangga, lalu mencuci tahi-tahi ayam yang ada hampir di semua papan tumpuan tangga, membuatku gagal merajuk. Aku mendadak kasihan padanya, karena ia mengurus rumah panggungnya yang besar seorang diri.

Begitulah perasaanku waktu pertama kali datang, namun kini sudah berubah. Aku malahan lebih senang tinggal bersama Nenek. Hanya sesekali aku merindukan Ayah. Kudengar kini aku punya adik bayi. Aku tidak merindukan adik bayi itu.

KEBUN NENEK telah selesai dibereskan buruh upahan. Kini memasuki musim kemarau, Nenek bilang waktu membakar tanah garapan telah tiba. Nenek mengikutkan aku di kebun bersama seorang wanita yang diupahnya, wanita itu memakai bedak kunyit di wajahnya.
Nenek bilang, pembakaran hanya dilakukan pada pagi hari hingga siang, di saat-saat itu angin belum bertiup kencang. Di bawah pohon sengon, aku mengamati mereka membakar lahan. Nenek dan wanita itu menjaga nyala api agar tidak merembet ke mana-mana. Pembakaran selesai ketika langit berwarna kuning kemerahan.  
Keesokan harinya, kami pergi mencari bibit kemiri. Nenek memilh bibit kemiri jantan dan betina. Nenek bilang kemiri juga seperti manusia, harus ditanam berpasang-pasangan.
“Pilihlah yang pipih bijinya. Omong-omong apa kau sudah tahu, kalau pelleng berarti kemiri?” tanya Nenek. Aku terkejut. Kini barulah aku tahu, namaku Pelleng, karena Nenek terlampau mencintai kemiri. Benar-benar nenekku itu! Pantas saja, waktu pertama kali aku mengenalkan diri di hadapan siswa-siswa SD Neg.2 Timpuseng, setelah upacara bendera, mereka semua tertawa.
Nenek mencondongkan tubuhnya padaku, “Jadi kau malu bernama Pelleng?”
“Tidak juga, hanya saja nama kemiri tidak cocok untuk manusia.”
Ha… ha… ha…, siapa yang bilang?”
Nenek mengelus kepalaku, lalu kami pulang membawa sekantong bibit kemiri.

MUSIM PANAS berangsur menjadi musim gerah—udara terasa kering tanpa diikuti musim hujan, dan hanya dalam hitungan hari, hujan panas terjadi di Timpuseng. Meski begitu tanah-tanah telah digemburkan. Penanaman dimulai pada suatu bulan basah yang datang terlambat dan menetap sebentar. Kini pohon-pohon kemiri Nenek telah bertumbuh. Di sela-sela pepohonan kemiri itu, Nenek menanam ubi kayu dan jagung. Tiap enam belas hari, kami menengoknya. Nenek bilang, kemiri bukan tanaman manja yang mesti diperhatikan. “Kau juga harus seperti kemiri, belajar mandiri,” katanya. Aku sudah paham perkataan-perkataan Nenek karena aku sudah kelas 6 SD.

Kini sesekali saja kami datang ke kebun Nenek, membersihkan gulma dan tungau. Kemiri-kemiri Nenek  makin menjulang, bahkan sudah melebihi tinggiku. Bunga-bunga putihnya sangat indah pada sore hari ketika terkena cahaya matahari redup. Tak terasa Nenek sudah merawat pohon-pohon kemirinya itu selama hampir dua tahun.

INI MALAM, 569 hari menjelang hari panen kemiri, Nenek tengah memasak ikan gabus. Aku sedang mengerjakan tugas pelajaran agama. Sementara Bolong sibuk mengawasi seekor lipas kudung yang terbang berpindah-pindah, dari pegangan kursi  ke semprong lampu hingga ke kaki kursi. Tiba-tiba angin bertiup kencang. Nyala lampu minyak meliuk-liuk. Langit bergemuruh. Nenek terlonjak. “Ya, Allah!” serunya. Mata petir menggelegar. Hujan turun deras, suaranya seperti buah rumput berjatuhan di atap rumah. Aku berhenti mengerjakan PR. Nenek menyudahi memasak. Ia menutup jendela dapur sambil merapal mantra.
Bolong kemudian menggonggong. Nenek mengeraskan suara mantranya. Sayup-sayup kami mendengar suara-suara orang panik. “Badai hujan…!” seseorang berteriak di luar sana.
 “Kemiri-kemiri Nenek!” seruku.
“Petani telah sukar memahami cuaca. Tapi, petani yang mulia adalah petani yang bisa menerima cobaan alam,” Nenek seperti berceracau. Kami belum makan malam. (f)
 ***

Oleh: Erni Aladjai
Cek koleksi fiksi femina lainnya di:
http://www.femina.co.id/fiction/

Leave a comment