sumber: https://www.trubus-online.co.id/kesambi-penyumbang-gurih/
Daun kedaeng kunci citarasa lezat beragam masakan.
Potongan daging rusa Cervus timorensis menyembul dari kuah santan yang mengepul. Saat Trubus mencicip, lezatnya menu khas Pulau Bira itu tercecap di lidah: daging lembut, gurih, dan tanpa rasa amis. Andi Marthen Patunru, bangsawan Bira keturunan Kesultanan Gowa, menyajikan menu itu saat makan malam. Kuliner buatan Fitria Farah Sakti, istri Andi, itu kian istimewa karena 15 lembar daun terselip di antara potongan daging.
Daun muda yang terselip di potongan daging itu berperan vital membentuk rasa. Itulah daun asal pohon kedaeng Schleichera oleosa. “Tanpa daun kedaeng, rasa daging bakal hambar dan cenderung datar,” kata Andi, yang juga kolektor tanaman buah di Bogor, Jawa Barat. Fitria memasukkan pucuk daun muda kedaeng—yang kemerahan seperti daun jambu mete muda—dalam adukan bumbu, daging, dan kuah santan. Sepotong paha rusa utuh berbobot 2—3 kg yang hendak digulai butuh 100—150 lembar daun kedaeng muda.
Menurut Andi, daun kedaeng menjadi bekal wajib pemburu dan nelayan etnis Bugis, Sulawesi Selatan. Maklum, hampir sepanjang hari pemburu menjelajah hutan sehingga terkadang harus memasak hasil buruan di alam terbuka. Para nelayan memakai daun kedaeng untuk bumbu ikan besar seperti cakalang dan tuna. Sementara ibu rumah tangga mengeringkan pucuk kedaeng lalu menyimpan di dapur sebagai persediaan bumbu. “Kalau tidak begitu, bisa-bisa ketika perlu hanya mendapat daun tua yang tidak bisa dipakai sebagai penyedap,” kata Andi.
Perahu
Menurut kepala Seksi Pengelolaan Air Bidang Pengolahan Lahan dan Air, Dinas Pertanian dan Kehutanan, Kabupaten Selayar, Syamsul Pano SP, dulu kedaeng lazim dijumpai di bagian selatan Pulau Sulawesi, Pulau Selayar, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Sayangnya, populasi kedaeng di Selayar kian langka karena sering ditebang saat pembukaan lahan pemukiman atau ladang. Masyarakat Selayar menyebut buah kedaeng sebagai ba’do’. Buah kuning kecokelatan membulat dengan rasa masam manis.
Kedaeng tumbuh di dataran rendah dekat pantai seperti di Tanjung Bira. “Ia banyak ditemukan di hutan yang berjarak hanya 50—200 m dari bibir pantai,” kata Andi. Nelayan Bugis menggunakan batang kayu kedaeng yang lurus, liat, dan keras untuk rangka perahu dan jangkar. Sementara ranting dan cabang menjadi kayu bakar terbaik. Asap kayu bakar kedaeng menambah citarasa nikmat ketika digunakan untuk memanggang daging rusa atau ikan.
Menurut ahli kuliner di Kotamadya Depok, Jawa Barat, Hes Hidayat, daun kedaeng menjadi andalan etnis Bugis untuk membuat tampilan daging panggang tetap terlihat kemerahan tak ubahnya daging segar. Mereka “menyelimuti” daging dengan puluhan daun kedaeng muda sebelum memanggang dengan kayu kedaeng. Penduduk Nusa Tenggara Timur ternyata juga mengenal pemanfaatan kayu dan daun kedaeng dengan cara nyaris serupa. Mereka menyebut daging asap—babi, rusa, atau sapi—yang dibakar dengan teknik itu sei. Misal, sei babi, sei rusa, atau sei sapi.
Kesambi
Menurut ahli taksonomi di Bogor, Jawa Barat, Gregorius Garnadi Hambali, masyarakat Jawa mengenal kedaeng sebagai kesambi atau kosambi. “Jika benar dipakai untuk bumbu itu kabar baik. Di Jawa kesambi hanya sekadar pohon pengisi hutan,” kata pakar botani alumnus Jurusan Biologi Universitas Birmingham Inggris itu. Ia banyak tumbuh di sela-sela kebun jati di Jawa bagian timur yang panas. Pucuk mudanya kerap dijadikan lalap seperti pucuk jambu mete. Rasanya pun mirip: kesat.
Menurut S Iwasa dalam Plant Resources of South-East Asia, masyarakat Sulawesi Selatan menggunakan biji kesambi untuk bumbu kuliner. Wikipedia, situs terpercaya di dunia maya menyebutkan suku Bugis memanggang lalu menempa biji kesambi untuk memperoleh minyak berjuluk minyak makassar. Minyak itu menjadi bumbu dan rempah yang lebih tahan simpan. Kandungan asam oleat, asam arakidat, asam stearat, dan asam gadoleat di dalamnya membangkitkan sensasi gurih dalam olahan.
Kulit kayu kesambi juga populer untuk menyamak kulit. Periset di Balai Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan Makassar, Ir Yandi Bachli, menyebutkan kesambi mengandung 6,1—14,3% zat tanin yang bersifat menggelapkan warna serta melembutkan kulit dan daging. Zat tanin juga terkandung di daun sehingga daging yang dimasak dengan daun kerabat rambutan itu terasa lebih lembut. “Mirip peran daun papaya untuk melembutkan daging,” kata Hes.
Sayang, fakta kedaeng tak seindah kata. Menurut Adolf, kolektor tanaman di Batam, Provinsi Kepulauan Riau, kedaeng alias kesambi kian asing bagi generasi belakangan. Akibatnya kerabat rambutan itu terancam masuk jurang kepunahan. Adolf pun rela merogoh Rp1,75-juta demi sepot kedaeng ukuran 50 cm dari sebuah nurseri di Bogor. “Saya mengoleksi tanaman yang mulai langka agar tidak punah,” katanya.
