AGUNG HARTADI – KOMPAS, 8 April 2009
Yen wis kliwat separo abad, jwa kongsi binabad.
Jika sudah lebih separuh abad, janganlah dihancurkan.
(Ronggowarsito)
Setiap kota tentu punya kisah. Setiap kota pasti punya sejarah. Yogyakarta, kota yang kaya identitas ini pun demikian. Kita bisa membaca Yogya dari bangunan bersejarah di segenap penjuru kota. Gedung Agung, Keraton Yogya, Tamansari, Kompleks Makam Raja-Raja Mataram Kotagede, Gedung Senisono, dan Benteng Vredeburg adalah segelintir contoh ‘buku terbuka’ yang mengungkap sedikit banyak jati diri Yogya. Bangunan-bangunan tersebut masih berdiri kokoh memperkaya Yogya. Namun, keberadaan bangunan-bangunan itu ternyata tak jarang penuh dinamika.
Sebut saja Benteng Vredeburg. Bangunan yang dibangun tahun 1765 ini dulu bernama Rustenburg, berarti Benteng Peristirahatan. Karena gempa bumi dahsyat melanda Yogya tahun 1867, benteng ini dibangun kembali dan berganti nama menjadi Vredeburg. Nama terakhir ini mempunyai makna politis, yakni Benteng Perdamaian. Ya, nama yang sungguh bertolak belakang dengan fungsi sebenarnya. Sebab, Benteng Vredeburg dibangun dalam jarak tembak meriam ke arah Keraton Yogyakarta. Dan lagi, di dalam Benteng Vredeburg inilah pejuang-pejuang kita disiksa dan dipenjara. Kini, selain masih terpelihara dengan baik, Benteng Vredeburg telah bermanfaat secara sosial buat masyarakat. Berbagai macam event seni budaya, sosial, dan pariwisata telah berlangsung di sana.
Nasib berbeda agaknya dialami saudara kandung Benteng Vredeburg di Solo, yakni Benteng Vastenburg. Dilihat dari fungsi, bentuk, denah bangunan, serta letak benteng, ada semacam kesamaan tipologi arsitektur antara Benteng Vastenburg dan Benteng Vredeburg. Keduanya sama-sama dibangun di depan keraton. Keduanya sama-sama menjadi penanda pahit: kita pernah dinistakan bangsa lain di negeri sendiri.
Sayang, nasib Benteng Vastenburg tak seberuntung Benteng Vredeburg. Benteng di ujung Jl Jenderal Sudirman Solo ini sebagian besar fasad bangunan telah rusak parah. Yang lebih mengenaskan, Benteng Vastenburg kini telah ‘dijual’ ke pihak swasta. Konon, di sana bakal dibangun hotel berbintang dan pusat perbelanjaan. Jika petaka cagar budaya ini benar-benar terjadi, bukan mustahil hal serupa akan merembet ke cagar budaya lain.
Ada pelajaran berharga yang bisa dipetik dari pengalaman pahit di negara Barat sekitar tahun 1970 an. Waktu itu ada tren melakukan penggusuran bangunan-bangunan tua untuk memberikan ruang bagi bangunan-bangunan baru. Belakangan, tindakan gegabah itu diratapi banyak orang dari berbagai kalangan. Mereka menyebutnya bunuh diri arsitektural. Disebut begitu karena justru pemerintah merekalah yang menghancurkan arsitektur-arsitektur tua dan bersejarah yang seharusnya dilindungi.
Menghancurkan bangunan kuno bersejarah sama halnya dengan menghapuskan cermin jati diri. Dengan hilangnya bangunan kuno, lenyap pula bagian sejarah.. Kita mesti berkarib dengan sejarah. Sepahit apapun sejarah kita Dan agaknya, petuah bijak pujangga Ronggowarsito di atas perlu terus didengungkan di negeri ini.
