Darwis Khudori
Orang Kotagede, penulis buku ”Orang-orang Kotagede”, kini dosen di Prancis.
JAUH sebelum gempa menghantam Kotagede, kerusakan kebudayaan, ekonomi, sosial, dan lingkungan sudah berlangsung di sana.
Dari segi kebudayaan, Kotagede mengalami pemiskinan, baik dalam hal pandangan hi-dup maupun ungkapan. Tumbangnya PKI, diharuskannya semua orang menganut agama yang diakui negara, stigmatisasi terhadap keyakinan yang tidak berdasar agama, telah menyebabkan lenyapnya kaum abangan dan para penganut aliran kepercayaan di sana.
Berbagai ungkapan kebudayaan rakyat yang disangganya, seperti karawitan, kethoprak, wa-yang, jathilan, srandul, dan macapatan, pelan-pelan ter-gerus. Sejak 1965, Kotagede hanya mengenal kebudayaan kaum santri, itu pun terbatas pada Muhammadiyah yang berambisi memurnikan Islam.
Pada dasawarsa terakhir, generasi muda Muhammadiyah mencoba menghidupkan kembali cabang-cabang kesenian rakyat (yang hingga 1965 dikembangkan oleh PKI) melalui Festival Kotagede, yang diadakan secara tahunan. Tetapi ke-giatan ini terasa jauh dari cukup, sebab akar-akar permasalahannya belum dicabut, yakni kebebasan meng-anut keyakinan yang berbeda.
Dari segi ekonomi, kemerosotannya sudah mulai sejak tahun 50-an. Zaman keemasan Kotagede terletak di antara dua perang dunia (Nakamura). Pada tahun 30-an, penghasilan seorang buruh terampil di Kotagede setara de-ngan 30 kg be-ras per hari, sedangkan penghasilan se-orang buruh kasar 7 kg beras per hari. Pada tahun 70-an, nilai penghasilan mereka merosot menjadi 5 kg dan 1,5 kg beras per hari.
Mulai tahun 70-an, seiring dengan industriali-sasi dan modernisasi, orang menyaksikan tumbangnya industri tradisional di Kotagede. Perhatian PKI pada kaum buruh digantikan oleh kaum Muhammadiyah yang, sayangnya, lebih banyak berfungsi seba-gai juragan ketimbang pembela pekerja. Be-tul Muhammadiyah banyak berkiprah di bidang so-sial—mendirikan rumah sakit, panti asuhan, sekolah. Tapi semua itu dibangun dalam perspektif ”karitatif”, b-ukan ”struktural”.
Dari segi lingkungan, kemerosotan kualitas lingkungan di Kotagede erat berkaitan dengan perubah-an pandangan hidup dan kemerosotan perekonomian penduduknya. Perubahan pandangan hidup, dari ”kejawen” ke ”Islam”, dari ”kepercayaan tradisio-nal” ke ”pemikiran modern”, dari ”nalar simbolik” ke ”logika fungsional”, membuat rumah-rumah dan lingkungan tradisional di Kotagede kehilangan makna simbolik.
Tata ruang dan bentuknya tidak sesuai lagi de-ngan kepercayaan dan cara hidup penduduk. Orang tidak takut lagi menjebol senthong, menyekat gandhok, membongkar pendapa. Kemerosotan ekonomi tidak memungkinkan penghuninya memelihara rumah m-e-reka: tiang pendapa yang miring tidak diluruskan, gebyok pringgitan yang keropos tidak diganti, tembok-tembok gandhok yang retak tidak direkatkan.
Kerusakan ini diperparah oleh pertambahan penduduk. Pendapa-pendapa ditutup dan disekat-sekat untuk menampung keluarga baru atau disewakan k-epada kaum pendatang.
Pembangunan kembali Kotagede bisa dilakukan dalam tiga bidang: Bina Manusia, Bina Usaha, Bina Lingkungan—meminjam konsep Orde Baru, namun isinya perlu disesuaikan lagi.
Bina Manusia perlu diarahkan untuk mengembalikan kebhinekaan budaya yang hilang. Orang-orang Kotagede di masa depan harus menjadi ”pluralis” dan terbuka kepada kebudayaan global, tanpa takut kehilangan kepribadiannya.
Dalam hal Bina Usaha, pereko-no-mian Kotagede tidak bisa hidup de-ngan menggabungkan kapitalis-me dan sosialisme. Di Kotagede, sistem ”tradition-based” perlu diubah menjadi ”knowledge-based” se-hingga penduduk mampu ber-saing secara lebih luas. Unsur sosialismenya bisa diwujudkan dalam bentuk sistem perlin-dungan sosial bagi kaum b-uruhnya.
Untuk Bina Lingkungan, mari ki-ta kutip Whitehead: ”Hari ini kita membentuk lingkungan, besok lingkungan membentuk kita.” Kerusakan lingkungan yang ada merupa-kan ke-sempatan tepat untuk membangun lingkungan baru.
Harus diakui bahwa Kotagede sudah tidak memiliki lagi ahli bangunan yang mampu merancang dan mewujudkan bangunan seperti pada zaman kejayaan Kotagede sejak akhir abad XIX hingga Perang Dunia Kedua. Kebanyakan penduduk Kotagede sendiri sudah tidak memiliki cita rasa yang halus dan laras di bidang bangunan—tergerus iklan real estate kodian.
Karena itu, masukan dari kalangan arsitek dan tata kota yang menggumuli persoalan pelestarian lingkungan diperlukan. Para arsitek dan penata kota ini perlu duduk bersama dengan masyarakat Kotagede.
Untuk itu, diperlukan aktor-aktor pembangunan: generasi muda Kotagede, dengan cakrawala yang melampaui batas ideologi dan agama, yang pluralistik dan terbuka pada gelombang kebudayaan dunia.
