Sebuah Kota di Tubir Jurang

sumber: https://majalah.tempo.co/read/selingan/121018/sebuah-kota-di-tubir-jurang

TAK terdengar lagi suara dentam palu beradu logam di lorong-lorong sempit Kotagede hari-ha-ri ini. Para perajin perak yang kerap mende-nyut-kan kehidupan kota tua itu seperti hilang di-telan bumi. Jika tak ada suara motor yang se-sekali melintas, atau gumam pelahan para peja-lan- kaki, rasanya kita seperti tengah menapaki se-bu-ah kota yang dicekam duka mendalam—sepi dan nge-la-ngut-.

Para pande perak itu tak pergi. Kaum ahli wa-ris keterampilan para empu itu masih tetap nyuwita (meng-abdi) di sana. Hanya, setelah gempa Mei lalu, mereka menjalani laku prihatin akibat kehilangan tempat berteduh. Lindu di Yogyakarta dan Jawa Tengah itu benar-benar menghumbalang semuanya, juga Kotagede—tempat ratusan bangunan kuno wa-risan Kerajaan Mataram Islam tersimpan.

Jangan lagi bermimpi dapat menikmati lorong-lorong Kotagede yang khas dan mistis. Sebelum bencana datang, menapaki labirin lorong Kotagede mirip melakoni ziarah ke masa silam: gang tua selebar semeter yang diapit bangunan kuno besar-besar. Suara kelonengan logam perajin perak. Barang-barang kerajinan yang terpajang di halaman. Gapura kawak yang memutus jalur lorong di beberapa tempat. Pemandangan purba yang pernah dilukis Gubernur Van Mook pada awal abad ini.

Tetapi warisan kejayaan masa silam itu kini terancam musnah. Lorong-lorong Kotagede yang kehilang-an roh akibat reruntuhan bangunan di kiri-kanannya. Hampir tak ada lagi bangunan tua di sana yang selamat 100 persen ketika bumi horeg oleh benturan lempeng benua. Tembok-tembok tua retak, roboh. Bagian belakang bangunan utama reot. Dan tak sedikit pendapa ambruk. Semakin dalam memasuki Kotagede, kian terasa ini kota yang suwung.

Di Gang Tumenggungan, misalnya, ada tiga rumah joglo rusak parah. Salah satunya milik RNg Soediyo Prasetyo, yang biasa dipanggil Pak Gembong. Bagian pendapa rumah yang dibangun kekek buyutnya tahun 1770 itu amblek. Delapan tiang penyangga terlepas. Pendapa yang seluruhnya terbuat dari kayu jati pilih-an itu roboh. ”Untung, setelah diperbiki, ruang utama masih bisa ditempati,” ujar pengusaha konstruksi itu lirih.

Rumah joglo milik Gembong sangat unik. Atap j-og-lo-nya berbentuk gantung dan tidak langsung me-nempel pada tiang penyangga. Sekat yang memisahkan atap dan tianglah yang menimbulkan kesan menggantung itu. Kakek buyut gembong, RNg Bahoewinangoen, yang membangun rumah itu, berse-lera tinggi. ”Saya mendapat wasiat dari ayah untuk menjaga rumah ini,” kata Gembong.

Melanjutkan perjalanan ke arah Kampung Kudu-san, akan terlihat rumah joglo milik Edi Priya-nto yang sudah kehilangan wujud pendapanya. Yang ter-sisa adalah atap limasan yang hinggap di tanah se-telah 20 tiang penyangganya patah. Bangunan ber-usia 131 tahun tegolek laksana daun layu.

Yang juga mengenaskan adalah joglo milik keluar-ga Tutiek di Kampung Karangduren. Rumah yang di-bangun pada 1825, awal Perang Diponegoro, tak ha-nya kehilangan pendapanya seluas 9×9 meter, tapi juga ruang utama dan ruang keluarga.

Kotagede berada di tubir sejarah. Rumah joglo dan rumah kalang yang sudah menjadi identitas kawa-san ini tinggal sedikit yang bertahan. Ratusan joglo a-mbruk serta rusak berat dan ringan.

Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi DI Yogyakar-ta Djoko Budhi Sulistyo, yang ditemui Tempo, meng-akui pemerintah tidak bisa menomorsatukan Kotagede. ”Pemerintah jelas lebih mengutamakan hal yang mendesak, yaitu menangani masalah makan dan tem-pat tinggal warga,” katanya. Apalagi Kotagede bukan satu-satunya situs kuno yang luka karena gempa. Be-berapa candi dan lokasi pemakaman para raja di Imogiri juga rusak berat.l l l

Kotagede terletak 12 kilometer arah tenggara dari pusat Kota Yogyakarta. Kota tua ini sudah berusia empat abad lebih—dibangun Panembahan Senopati pada 1587 (lihat Bermula dari Alas Mentaok). Usia yang renta tak membawa perubahan banyak bagi Kotagede. Sebagian warganya masih melakoni ber-bagai tradisi lama sebagai abdi dalem. Lanskap kota-nya pun masih didominasi bangunan-bangunan kuno yang menyimpan sejarah panjang. Pada 24 November 1995, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta menetapkan Kotagede sebagai cagar budaya.

Kini kawasan Kotagede secara administratif terbelah dua: Kelurahan Pur-bayan dan Kelurahan- Preng-gan masuk Kecama-tan Kotagede, Kota Ma-dya- Yogyakarta. Lalu Ke-lu-rahan Jagalan berada di Kecamatan Bangunta-pan-, Kabupaten Bantul. Dua wilayah ini terpisah oleh Jalan Mandurakan yang membujur dari timur ke barat.

Tetapi, sebagai entitas budaya, ketiga desa itu te-tap di-sebut Kotagede. Kenyataannya warga di sana memili-ki budaya, adat-istiadat, dan cara hidup yang sama. A-pa-lagi di ketiga desa itulah warisan Mataram masih- a-wet terjaga, hingga lindu melabrak pada akhir- Mei si-lam.

Yayasan Kantil, sebuah lembaga yang bergarak di bidang pelestarian cagar budaya Kotagede, mencatat hingga tahun 2005 masih ada sekitar 151 ba-ngunan j-oglo. Setelah gempa, tercatat hanya 107 bangunan yang tersisa. ”Itu pun 90 persen rusak parah dan 88 ru-mah joglo harus direstorasi,” kata Muhamad N-atsir, Ketua Yayasan Kantil.

Natsir dan rekan-rekannya berusaha gesit berge-rak- a-gar kerusakan Kotagede tak semakin parah. Be-be-ra-pa- hari setelah gempa, dia membuka pos darurat khu-sus- menangani kerusakan bangunan kuno. N-atsir tak sen-dirian. Dia menjalin kerja sama dengan ber-bagai p-ihak, antara lain Jogja Haritage Society, Fakultas Teknik Sipil UGM, Teknik Sipil Universitas Islam I-n-do-nesia, Teknik Sipil Atmajaya, dan Teknik Arsitek-tur- UGM. ”Kami mempelajari berbagai kemungkinan meres-to-rasi kerusakan Kotagede,” kata-nya.

Dari identifikasi lapangan, akhirnya mereka me-netapkan tiga jenis kerusakan. Pertama, rusak berat jika bangunan roboh total. Ini termasuk untuk atap limasan yang terlepas dari tiang. Kedua, rusak sedang, untuk bangunan yang miring hingga 45 derajat. Termasuk dalam kategori ini adalah jika ada beberapa bagian bangunan terlepas dari tempat asalnya. Kategori terakhir rusak ringan, jika kemiringan kurang dari 15 derajat dan atap limasan terlepas namun masih bertengger pada tiang-tiangnya.

Menurut Laretna T. Adishakti, Direktur Jogja He-ritage Sosiety, kerusakan terparah berada di wilayah Jagalan. Setiap joglo rata-rata menderita kerusakan mirip: penutup atap (limasan) anjlok, rangka atap keropos, tumpangsari lepas, saka guru meleset, din-ding muka lepas atau ambruk, sambungan dinding lolos, tumpuan atap labil, konsol kayu retak/keropos, pilar tembok putus, dan kisplang profil rapuh. ”Solusinya, kayu yang rapuh diganti, ompak harus masuk, tembok harus diperkuat dengan kolom beton bertulang,” kata Laretna.

Laretna memperhitungkan biaya yang diperlu-kan untuk merestorasi 88 joglo tak kurang dari Rp 18 miliar. Biaya membangun rumah j-oglo diperkirakan Rp 450 juta.

Biaya itu tampaknya bakal terus membengkak, karena pendataan belum tuntas. Ditambah lagi jika restorasi diperluas dan tak hanya meliputi rumah joglo, tapi juga makam, gardu, dan tempat bersejarah lain di kawasan ini. Budaya lokal yang khas pun perlu dipertahankan. Laretna belum bisa memperkirakan dana total yang dibutuhkan. ”Tapi diperlukan waktu minimal lima tahun untuk restorasi keseluruhan,” ujar dosen Fakultas Arsitektur UGM ini.

Tetapi, pagi-pagi, kesulitan sudah menghadang. Apalagi kalau bukan soal sumber pendanaan. Menggantungkan pada pemerintah hampir tak mungkin, karena restorasi Kotagede bukan prioritas. ”Meng-urusi korban gempa yang masih hidup tetap menjadi urusan utama,” kata Djoko Budhi Sulistyo, Kepala Dinas Kebudayaan Yogyakarta. Lagipula, kata dia, banyak situs dan peninggalan sejarah lain yang juga rusak parah. ”Sehingga kami harus memperhatikan sama pada semuanya.”

Situs lain yang juga rusak akibat gempa adalah Keraton Yogyakarta (Balai Trajumas), pemandian Tamansari, kompleks makam Imogiri, Candi Prambanan, Candi Boko, Candi Sewu, dan sebagainya. Untuk merestorasi semua itu setidaknya dibu-tuhkan dana Rp 9 triliun. ”Dana sebesar itu tak bisa di-sedia-kan pemerintah,” kata Djoko.

Cara lain yang dilakukan pemerintah adalah me-layang-kan sejumlah proposal ke beberapa negara dan lem-baga asing. Hasilnya: UNESCO bersedia mem-bantu- restorasi Candi Prambanan. Adapun pemerintah Por-tu-gal menyatakan tertarik merestorasi Ke-raton Yog-yakarta. Tetapi di luar keduanya belum ada res-pons menggembirakan—termasuk untuk res-tora-si Kota-gede.

Djoko mengisyaratkan, pemerintah baru bisa me-nangani Kotagede pada 2007. Yang bisa mereka lakukan saat ini adalah melakukan pencatatan ber-sama Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3), ar-keolog, arsitektur, serta kalangan LSM seperti Jogja Heritage Society. Sejumlah tindakan darurat juga sudah dilakukan, seperti menyelamatkan reruntuh-an yang berharga agar tak diambil tangan jail. Me-reka juga menyangga bangunan yang miring dengan bambu agar tak roboh.

Laretna dan kawan-kawan punya ide untuk me-nembus kebuntuan dana itu. Mereka berusaha mencari bapak angkat yang bersedia membantu restora-si. Kelak, jika restorasi sudah selesai, joglo bisa difungsikan sebagai homestay bagi wisatawan. Tentu saja keuntungan ekonomisnya dibagi dua antara pemilik dan bapak angkat. ”Jadi, bapak angkat ini sekaligus investor di Kotagede,” kata Laretna. Model seperti itu pernah dilakukan di Pahang, Malaysia.l l l

Tak tehindarkan, upaya resorasi itu kini berpacu dengan waktu. Jika bangunan yang sudah terluka itu dibiarkan saja, kerusakan bakal meluas. Biaya pembangunan juga akan membengkak.

Tak hanya itu. Para pemilik bangunan kuno itu ju-ga terus disatroni para makelar barang antik. Natsir menyebut para broker itu gamati—makelar waton bati alias asal untung. ”Seminggu setelah gempa, makelar-makelar gamati sudah keluar-masuk permukiman,” kata dia.

Ini memang saat yang tepat bagi para makelar untuk beraksi. Para pemilik bangunan kuno itu rata-rata sudah berusia lanjut dan tak produktif. Djojo Soewarno, 98 tahun, misalnya, kini hanya mengandalkan rezekinya dari sang anak, Sumardi, yang bekerja sebagai perajin perak. Gempa telah merusak bagian pendapa rumahnya yang terletak di Kampung Citran, Jagalan.

Bagi orang seperti Djojo dan anaknya, prioritas u-ta-ma saat ini adalah bertahan hidup. ”Jangankan ber-pikir- untuk memperbaiki rumah yang butuh ba-nyak- da-na, untuk mencari makan pun sulit,” kata Djojo.

Menurut Natsir, hal semacam itulah yang menyebabkan pemilik joglo rentan terhadap godaan ma-ke-lar.- Tambah celaka karena para makelar menekan har-ga serendah mungkin. Harga rumah Joglo dalam ke-adaan sempurna mencapai Rp 250 juta. ”Kini untuk reruntuh-annya mereka menawarkan Rp 1,5 juta,” ujar Natsir.

Gembong, pemilik Joglo di Gang Tumanggungan, bercerita bahwa beberapa hari setelah lindu, petugas Dinas Kebudayaan Yogyakarta mendatanginya. Pak petugas meminta Gembong melestarikan rumah joglonya dan membangun lagi seperti semula. Tapi Pak Petugas tak memberi solusi dana. ”Uangnya dari mana?” katanya sedih.

Di Kotagede, lorong-lorong suwung bertambah suwung. Kota tua itu tergolek di tubir jurang.

Tulus Wijanarko, Syaiful Amien, Heru Cn., Idayanie (Kotagede)

Leave a comment