Kemelekatan

source: Instagram@latihati

Kali ini mau cerita soal kemelekatan. selain banyak teman yang akhirnya menyadari bahwa kesulitan yang dihadapi atau kehidupan yang dimaknai sebagai berat, ternyata disebabkan oleh kemelekatan emosi terhadap peristiwa yang sudah lewat.

Pertanyaannya, apa yang membuat kemelekatan terjadi?

Seperti kita tahu, anak-anak hidup pakai rumus sini kini. mereka tak punya kepedulian terhadap hal yang sudah berlalu dan tak pernah memerhatikan hal yang belum ada. jadi apa yang membuat kita lalu jadi terbiasa melekatkan emosi pada hal-hal yang berkesan, dalam perjalanan hidup kita kemudian.

Seperti juga kita sudah tahu bahwa yang biasanya melekat adalah sensasi emosi yang kita maknai sebagai tidak enak. sementara, sensasi emosi yang enak biasanya segera akan pergi ketika peristiwanya sudah berlalu, apalagi kalau ada peristiwa menyenangkan lainnya, setelah itu.

Hal utama yang perlu disadar pahami adalah bahwa semua itu berangkat dari perlakuan sosok pengasuh di masa awal kehidupan kita. secara turun temurun, bahkan juga sampai sekarang, dengan tujuan mengamankan & menyamankan, mereka telanjur terbiasa membuat kita, saat kanak-kanak, jadi tak leluasa merasakan perasaan-perasaan yang hadir di benak kita.

Semua perasaan telanjur terbiasa dilarang hadir. akibatnya kita jadi telanjur terbiasa menolak, menyangkal, membuang perasaan yang hadir di benak kita. lebih parah, kita akhirnya juga belajar berusaha menghilangkan hal-hal yang berisiko memicu kehadiran perasaan-perasaan.

Untung rasa gembira masih boleh kita rasakan, meskipun dalam batasan ketat juga. itu kenapa emosi negatif (karena membuat kita tak nyaman) yang lebih banyak melekat dalam benak dan terus terbawa dalam perjalanan hidup selanjutnya.. karena tradisi melarang merasa membuat kita juga tak punya tradisi belajar kecewa.

Padahal emosi itu energi. jadi kekal. tak bisa dimusnahkan. cuma bisa diubah ujudnya atau dipindahkan tempatnya. jadi seperti air sungai. selama mata air masih tersedia dan tak ada hambatan dalam perjalanannya, maka air akan selalu mengalir mengikuti leluk liku sungainya. untuk itu yang kita perlukan sebetulnya adalah sistem irigasi. bukan bendung atau sumbat aliran emosinya.

Kalau kita sanggup kecewa, sehingga kehadiran emosi bisa kita terima, akui, dan tunaikan sampai selesai, maka kita tak akan lagi melekatkan emosi pada hal-hal yang berkait atau serupa dengan peristiwa asalnya. karena tak ada endapan emosi yang cocok dengan hal-hal yang terjadi di peristiwa baru itu. contoh: jika ada peristiwa yang membuat kita saat itu merasa dihina, maka perlu disadar pahami bahwa berarti saat itu kita punya endapan emosi berupa rasa terhina. jika saat itu kita belum belajar, maka secara refleks kita kembali menampilkan upaya buat menolak/menyangkal/membuang rasa itu.

Sebaliknya, kalau saat ini kita cenderung berusaha pelihara rasa nyaman yang pernah kita alami, itu juga akibat telanjur terbiasa menolak/menyangkal/membuang rasa tak nyaman yang hadir. harapannya, rasa nyaman yang kita pelihara itu bisa bantu kita terhindar/terbebas dari rasa tak nyamannya. tapi, nyatanya, usaha itu selalu gagal karena perasaan tak nyaman masih terus hadir meski kita pelihara rasa nyaman sebanyak apapun.

Jadi, ayo belajar bahwa rasa itu alami. karenanya, rasa itu baik adanya. ayo belajar bahwa kita selalu aman berada bersama semua rasa yang kita kenal dan pernah hadir di hidup kita. ayo belajar bahwa merasa itu urusannya sama diri sendiri. bukan sama orang lain. maka dari itu kita cuma perlu menyediakan energi buat merasakan rasanya sampai selesai. di sinilah seninya dan alasan yang membuat kita perlu belajar kecewa. selama kita masih perlu berinteraksi bersama manusia lain, maka pasti akan ada saatnya kita tak bisa leluasa merasakan setiap rasa yang hadir, tanpa jeda.

Ada kalanya kita perlu meminta rasa yang hadir buat menunggu giliran. ada kalanya kita perlu memilih buat tidak ekspresif karena hal itu justru bisa memicu masalah.

Leave a comment