oleh: Dian Nugraheni
Setelah cukup lama aku hidup di Amrik, aku paham, bahwa orang Amrik adalah orang-orang yang menghargai duit dari jumlah cent, sen, sebagai mata uang terkecil di Amrik. Tidak ada barang yang bisa terbeli dengan harga satu cent, tapi koin kecil berwarna tembaga itu, tetap beredar, alias, kita bisa menggunakannya sebagai pembayar, misalnya $2.03, dua dollars tiga cents, akan dibayar dengan 2 lembaran 1 dollaran, plus 3 keping koin cent. Begitu pula kalau kembalian, misal kita punya kembalian 1 cent, maka penjual atau toko akan tetap memberikan satu keping koin tembaga tersebut.
Sebagai informasi, satu dollar adalah 100 cents.
Sampai segitunya orang Amrik menghargai uang, sebab mereka memang diajarkan sejak kecil, nothing for free, alias semua ada harganya.
Dengan demikian, maka orang-orang Amrik pada umumnya juga akan sangat memperhitungkan pengeluaran uang. Ini, artinya bukan pelit, tapi kayak, kalau kita keluarin duit, harus dapet sesuatu yang sepadan dengan jumlah yang kita keluarkan. Alias, orang ga mau bayar overpriced.
Juga mereka adalah orang-orang yang jeli terhadap suatu kesempatan, misalnya kalau ada diskonan, ya hayuuk aja..cepet kale orang-orang nyambernya…
Ini, nyata, setidaknya dari apa yang selama ini kulihat dalam keseharian ketika aku kerja di kedai sandwich. Ada waktu-waktu tertentu kami turunkan harga sandwich, dan setelah harga turun, maka orang bondong-bondong beli, padahal pas harga normal, hanya beberapa yang beli.
Orang-orang di Amrik, akhirnya juga menganut prinsip, perlu nggak perlu. Kaitannya dengan uang, kalau perlu ya beli, kalau ga perlu ya ga beli. Juga mungkin karena sebagian banyak orang tinggal di apartemen yang rata-rata ga terlalu luas, maka mereka harus mikir bila pengen beli apa-apa, karena itu artinya, nambah barang baru, akan diikuti dengan keluarin barang lama, kalau nggak mau semua barang numpuk dalam apartemen.
Buang barang, juga kagak gratis. Di apartemenku, kalau mau buang kasur, sofa, atau lemari, harus call perusahaan pembuang barang, lalu mereka akan hitung dimensi, lalu tentukan harga. Kepikiran ga, sofa dapet dikasih gratis, ketika mau buang, harus keluar duit 250 dollar..? Sakitnya tuh di sini, beeb…! (Sambil nunjleb dada pakai telunjuk dengan muka ekspresi periih..!)
Udah ya, maka kebanyakan orang hidup di Amrik, punya karakter-karakter di atas sehubungan dengan uang dan bagaimana mereka membelanjakannya.
Nah, sekarang crita soal pulang kampung, for good. Artinya, banyak di antara perantau ini yang akhirnya, tetep pengen pulang kampung selamanya, dan ga balik merantau lagi.
Ini bisa dimengerti. Untuk banyak orang yang aku kenal, selama apa pun mereka tinggal di perantauan yang enak, indah, dan jauh lebih nyaman ketimbang di negeri sendiri, tapi dalam hati kecilnya tetap ada sebuah dambaan untuk tinggal kembali di kampung halaman. Bahkan bila itu aku, pulkam for good merupakan sebuah panggilan. Kalau levelnya sudah sebagai panggilan, you taulah itu, berat sangganya dalam batin, alias, ya pokoknya tetep pengen balik kampung, paling tidak di masa menjelang pensiun.
Ini cukup jadi persoalan, bila, si perantau yang mau pulang kampung for good ini, selama ini, dia nggak terlalu punya banyak saudara di indonesia, ga punya anak, bahkan kemungkinan juga, kayak aku, ga punya rumah di Indonesia. Maka ketika mau pulkam, dia harus mikir, mau ngontrak rumah, mau ngekos, atau beli rumah.
Bagi aku pribadi, seperti sudah selalu kukatakan, bahwa bila pun aku beli sebidang tanah dan kudirikan rumah di indonesia, aku akan benar-benar melakukannya sebagai penganut aliran minimalis. Harga tanah dengan bujet sekian, lalu kubikin rumah studio, titik. Aku, tidak perlu kemewahan apa pun, sebab rumah hanyalah sebagai “jujugan” atau tempat tujuan tinggal ketika balik kampung.
Tapi, jangankan aku yang duitku jumlahnya sangat terbatas, bahkan beberapa kenalan yang kutau, beberapa tante sepuh, mereka ini sudah berpuluh-puluh tahun tinggal di Amrik, bahkan sudah warga negara Amrik, ketika pulkam, mereka tetep, ga mau waste duit mereka.
Mereka, punya duit banyak. Biasanya, mereka sebelomnya, di Amrik punya rumah, lalu pas mau pulkam, dia jual. Maka dia punya duit ratusan juta rupiah. Plus, mereka punya pensiun dari hasil kerja selama di Amrik yang akan diterima setiap bulannya.
Dan mereka, para tante sepuh itu, ketika pulang for good, mereka tidak mau melepaskan duitnya yang banyak itu untuk beli rumah di Indonesia. Ya, karakter sebagai orang Amrik sehubungan dengan manajemen keuangan, sudah secara instingtif mengingatkan mereka, buat apa beli rumah, mahal, ntar juga kalau mati, akan jatuh ke siapa warisan rumah itu, dan seterusnya. Kebetulan yang kuceritakan ini, mereka tidak pernah menikah dan tentu saja nggak punya anak.
Lalu, demikianlah, mereka pulkam dan lebih memilih tinggal bersama saudara, atau kerabat. Mungkin dengan sistem sewa kamar, atau membangun satu kamar menempel di rumah saudara, atau bagaimanalah…
So, dari kisah panjang ini, yang ingin aku sampaikan adalah, bahwa bila sudah lama tinggal dan bergelut hidup di negara seperti Amrik, maka kau akan lebih hati-hati, perhitungan, terhadap duitmu. Pembelanjaan berdasarkan perlu atau tak perlu, dan seterusnya.
Kesannya pelit ya..?
Iya, memang. Setuju. Tapi, aku percaya, bahwa gaya hidup “pelit” begini ini adalah yang selama ini bikin para perantau, termasuk kami, aku dan anak-anak bisa survive sampai hari ini, karena toh perantau biasanya hidup sendirian, jauh dari sanak saudara, kagak ada yang akan nolong kalau ada jatuh-jatuhnya hidup. Maka, akhirnya, itulah yang menjadi pegangan sebagian besar dari para perantau: TERTIB DIRI dalam segala hal, terutama soal keuangan…
Ketika ngobrol, seorang teman bertanya padaku, “Lalu, kalau mbak Dian punya uang lebih, akan digunakan untuk apa..?”
Jawabku, “Yang jelas, bukan buat foya-foya, sebab aku masih punya cita-cita berkarya membantu membuka cakrawala kehidupan saudara-saudaraku di Indonesia..”
Sambil kutatap tajam temanku yang bertanya padaku, kutekankan, “Concernku adalah anak-anak, juga anak-anak yang putus sekolah, agar mereka bisa mandiri…”
❤️
