Xenoglosofilia: Kenapa Harus Nginggris?

Xenoglosofilia: Kenapa Harus Nginggris?

sumber: goodreads

Buku Xenoglosofilia: Kenapa Harus Nginggris? ini merupakan kumpulan tulisan Ivan Lanin, seorang Wikipediawan, tentang bahasa Indonesia yang digunakan sehari-hari. Tulisan ini menyadarkan kita, pengguna bahasa, bahwa selama ini telah abai berbahasa dengan baik, dan lebih senang berbahasa asing, khususnya Inggris.

Tak sedikit pengguna bahasa, misalnya wartawan yang setiap hari bergumul dengan kata, salah menggunakan kata lajur dan jalur. Malah ada juga yang tidak bisa membedakan antara di sebagai kata depan dan di- sebagai awalan. Belum lagi jika menyangkut istilah yang merupakan padanan dari bahasa asing. Real estate, link atau hyperlink, dan blogger, umpamanya, buat mereka lebih menarik daripada lahan yasan, pranala, dan narablog.

Buku tentang bahasa mencoba menjawab ketidaktahuan atau kekurangpedulian pengguna bahasa mengenai hal-hal seperti itu. Menariknya, penulis adalah seorang yang bukan berlatar belakang ilmu bahasa. Ivan adalah sarjana teknik kimia dari ITB dan master di Jurusan Teknologi Informasi UI. Cara bertutur yang renyah dan ringan menyebabkan tulisan dalam buku ini juga mudah dicerna.

______________________________________________________

Hestia Istiviani 

Tahu tentang buku ini dari Twitter. Dibilang cukup baru mengenal sosok Ivan Lanin memang benar adanya. Itu pun karena tidak sengaja melihat konten cuitannya yang berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Sebuah fenomena yang cukup jarang kita lihat belakangan ini. Apalagi dengan mewabahnya bahasa Inggris di kalangan orang-orang profesional (entah untuk bermaksud pamer atau memang belum menemukan padanan katanya dalam bahasa Indonesia). Bahkan, menurut pengalaman pribadi, banyak orang-orang kantor juga yang suka menggabungkan imbuhan, awalan, kata depan bahasa Indonesia dengan kata dalam bahasa Inggris (seperti: dishare, fixsasikan) yang tentu membuat komunikasi menjadi kurang efektif.

Kehadiran Ivan Lanin di ranah dunia Twitter menjadi sebuah angin segar. Memang, di lingkunganku sendiri, tidak banyak yang tahu siapa Ivan Lanin (karena mereka tidak bermain Twitter, melainkan Instagram saja) sehingga ketika mengusulkan buku ini untuk dibaca, mereka mengernyitkan dahi. Siapa memang Ivan Lanin itu?

Ketika awal membaca buku ini, sempat ada ekspektasi bahwa tulisannya akan cukup berat membedah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Atau yang selama ini salah kaprah (meski Ivan Lanin bukanlah cendekiawan yang berlatar belakang Sastra dan Bahasa Indonesia). Nyatanya, buku Xenoglosofilia sudah cukup baik. Ivan Lanin langsung membahas topik yang sekaligus menjadi judulnya itu.

Buku ini dibagi menjadi tiga bagian. Dari tentang asal mula bahasa tertentu, beberapa tanya jawab yang berhasil ditangkap oleh Ivan Lanin (dan sering ditanyakan melalui Twitter) hingga kata apa yang benar penulisannya.

Ivan Lanin mampu menuliskan dan menjabarkan secara sedarhana permasalahan dalam bahasa Indonesia yang kerap kita temui. Tidak berbelit-belit, dan mengacu pada tata aturan yang berlaku di Indonesia. Kelihatan sekali bahwa Ivan Lanin belajar untuk mendalami bahasa Indonesia namun juga tidak merasa bahwa dirinya berada di atas para pengikut Twitternya itu.

Disamping bahasa penyampaian yang enak dibaca, buku Xenoglosifilia juga dibawakan dengan tata letak (layout) yang menarik. Dicetak dengan tinta berwarna membuat membaca buku ini tidak membosankan.

Secara keseluruhan, Xenoglosifilia tidak membuat pembaca bingung, apalagi pusing. Ivan Lanin mengerti betul bahwa pembacanya adalah mereka yang mengenal sosok Ivan Lanin di jagad dunia Twitter. Bagi mereka yang sebelumnya rajin membaca Kolom Bahasa milik harian Kompas ataupun tulisan-tulisan Jaya Suprana dalam Ensiklopedi Kelirumologi, Xenoglosifilia bisa menjadi sebuah pelengkap dalam pengetahuan kebahasaan Indonesia kita.

Hanya saja, foto Ivan Lanin yang ada di pembatas buku, di sampul belakang, dan di bagian sosok penulis, aku rasa terlalu berlebihan. Cukup pasang satu foto saja dan aku rasa, pembaca juga langsung tahu seperti apa wajah Ivan Lanin.

_________________________________________________________

melmarian 

Sebuah buku yang bukan kamus, tapi menurut saya tak kalah pentingnya dengan kamus.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa orang Indonesia masa kini cenderung lebih suka menggunakan bahasa asing daripada bahasa Indonesia, dengan berbagai alasan (saya pun begitu). Beruntunglah kita, ada orang-orang seperti Ivan Lanin yang tak kunjung lelah menyemangati para pengikutnya untuk mencintai dan menggunakan bahasa Indonesia (dengan baik dan benar).

Buku ini terbagi menjadi 3 bagian:

Bagian pertama, Xenoglosofilia, membahas banyak istilah ‘asing’ dan salah kaprah yang seringkali dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Kita semua paham apa itu real estate, tapi apa padanan katanya dalam bahasa Indonesia? Bagaimana dengan hyperlink, blogger, bookmark, hashtag, crowdsourcing, peer review, startup, DIY, dan lain-lain?

Bagian kedua, Tanja, memuat pertanyaan-pertanyaan yang sering diajukan. Tanja di sini adalah padanan kata dari FAQ (Frequently Asked Questions). Bagaimana cara menulis rupiah? Mengapa jika dan maka tidak boleh digunakan sekaligus dalam satu kalimat? Apa perbedaan antara singkatan dan akronim?

Bagian ketiga dan terakhir, adalah Mana Bentuk yang Tepat? Sesuai judul babnya, bagian ini menjawab manakah yang tepat, pencinta atau pecinta? Sumatera atau Sumatra? Analisis atau analisa? Lemari atau almari? Jalur atau lajur? Dan sebagainya.

Buku ini sungguh-sungguh penyemangat untuk kembali menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Jika ada Volume 2 nanti saya pasti akan membelinya juga.

__________________________________________________________

Dion Yulianto

Kalau sudah terlebih dulu membaca buku kumpulan artikel bahasa sejenis, buku ini termasuk ringan. Bandingkan dengan buku Bus Bis Bas karya Ajib Rosidi, Bahasa! Kumpulan artikel bahasa di majalah Tempo, atau Inul Itu Diva dan Kompas Bahasa yang cenderung serius, buku ini pembahasannya lebih awam karena mungkin memang ditujukan untuk awam. Penulisannya pun tidak sekaku kumpulan artikel bahasa lain yang biasanya memang ditulis dengan standar koran. Setelah saya baca lagi, kumpulan tulisan ini sebagian (besar) memang diambil dari blog Ivan Lanin. Bisa dimaklumi kalau bahasanya singkat dan populer, khas tulisan blogger atau narablog.

Meskipun ringan, bukan berarti isinya dapat dientengkan. Ivan Lanin menyentil kita sebagai pengguna bahasa Indonesia terkait kesalahan atau ketidaktepatan kita dalam berbahasa. Salah satunya keliru mengeja praktik sebagai praktek. Ternyata kesalahan kaprah ini ada sejarahnya. Ini ilmu tipis tapi baru bagi pembaca, eh saya dink. Kekeliruan lain seperti di mana (belum ada dimana), penulisan kata majemuk yg dipisah (kecuali 52 kata majemuk yg ditulis serangkai seperti olahraga, acapkali, syahbandar, dan sukarela–ini kudu dihafalkan duh), penulisan kata sapaan, serta bagaimana membaca singkatan dan akronim dibahas sederhana namun mengena.

Paling khas dari Uda Ivan Lanin ini adalah upaya beliau yg tak kenal lelah untuk memperkenalkan padanan dari bahasa Nusantara untuk sebuah kata asing. Beberapa usul beliau telah terbukti digunakan sekarang ini seperti gawai, tagar, dan tetikus. Tetapi ada juga usul yang meleset, seperti online dan offline yang kini dipadankan dengan daring dan luring, bukannya terhubung dan terputus. Saya senang sekali dengan pengetahuan beliau yg luas tentang kosakata Nusantara yg harusnya kita pertahankan seperti pranala (untuk link) dan gerip. Ada juga istilah tanja untuk mengartikan FAQ alias pertanyaan yg sering ditanyakan. Menarik kalau mengingat tanja ini bisa diplesetkan jadi tinja sebagaimana FAQ yg dilafalkan mirip fuck.

Banyak hal menarik lain seputar bahasa di buku ini. Misalnya saja padanan YALIYAD (YANG ANDA.LIHAT YANG ANDA DAPAT) sebagai padanan what you see is what you get. Paling menarik bagi saya adalah sejarah asal usul sebuah kata. Beliau bahkan melacak asal muasal kenapa olahraga ditulis serangkai padahal sepak bola, buku tangkis, dan bola voli ditulis terpisah. Juga ada alasan menarik di balik kata indehoi.

Sungguh buku ini ringan tapi sarat manfaat. Cocok untuk dibaca khalayak (eh atau khayalak ya?) umum, tapi mungkin kurang mendalam bagi pemerhati bahasa. Poin plus ada pada cara penyampaiannya yang lugas, ringkas, dan kekinian. Kekurangannya mungkin bab-bab jadi terlalu pendek. Kekurangan lain adalah mungkin tidak adanya daftar pustaka. Ivan Lanin mengutip banyak sekali kamus dan buku serta pendapat ahli bahasa, tetapi saya tidak (atau belum) menemukan sumber kutipannya di daftar pustaka atau catatan kaki. Contohnya kamus loan words in Indonesia and Malay Language, saya tidak menemukan info siapa pengarang, penerbit, dan cetakannya di buku ini.

Dalam beberapa artikel, penulis bahkan mengutip dengan teknik dalam kurung, nama penulis, tahun, dan halaman, tapi tidak ada rujukan judul bukunya di daftar pustaka dan catatan kaki. Misalnya saja di hlm. 133, 140, dan 122. Uda kadang hanya menulis judul buku dan penulisnya. Tentu sangat disayangkan mengingat ini buku tentang berbahasa Indonesia yang benar. Alasannya mungkin karena hanya disebut sekilas dan tidak digunakan sebagai bahan penulisan. Tetapi ini pun bisa diakali dengan meletakkan rujukan buku asli di catatan kaki. Lepas dari yang agak mengganjal ini, buku ini luar biasa manfaatnya. Bahkan yg sudah membaca banyak referensi tentang berbahasa Indonesia yg baik dan benar pun akan tetap mendapatkan banyak hal dari buku ini. Bagi saya, salah satunya, mengetahui kalau IMF dibaca /i em ef/ dan bukan /ai em ef/, sementara UNESCO dibaca sesuai aslinya, yakni /yunesko/.

Leave a comment