Kenangan Pahit Sejarah Pasar Cihapit

oleh: Aris Abdulsalam

LENGKONG, AYOBANDUNG.COM — Di Pasar Cihapit, orang-orang datang dan pergi sesuai kebutuhannya. Hiruk pikuk perniagaan berputar sepenuh hari. 

Tidak terbayangkan, jika di tempat yang ramai itu, kenangan pahit warga Bandung tertancap dengan jelas. Sejarah Pasar Cihapit yang jauh dari kesan suka cita.

Bersumber pada penjelasan Alex Ari, wakil dari Komunitas Aleut, dari awal, area Cihapit sebenarnya berupa pemukiman untuk para pegawai Belanda. Tetapi, bukan untuk mereka yang kelas atas, melainkan golongan lebih rendah.

“Kawasan Cihapit, sebagai perumahan untuk pegawai menengah rendah, tahun 1921 sudah dibangun sekitar 127 rumah dilengkapi dengan 12 bangunan toko,” ungkap Ari, saat mengisi acara live Instagram bersama akun @kulturlokal.id dengan tema “Sejarah Pasar Cihapit Bandung“.

Dipaparkan Ari, bangunan awal itulah yang kemudian jadi bagian depan Pasar Cihapit saat ini. 

Selain itu, eksistensi Pasar Cihapit juga tidak bisa dilepaskan dari rencana pemerintah kolonial Belanda“>Hindia Belanda, yang ingin memindahkan ibu kota dari Batavia ke Bandung.

Pasar Cihapit ga bisa dilepaskan dari perkembangkan wilayah tersebut. Wilayah tersebut (kawasan Cihapit) dibangun sebagai bagian perpindahan ibu kota Belanda“>Hindia Belanda, dari Batavia ke Bandung,” lanjut Ari.

Bagaimanapun, rencana besar Belanda“>Hindia Belanda itu terkendala oleh resesi besar dunia, yang dikenal dengan Malaise. Rencana pembangunan pusat pemerintahan pun tertunda. Buktinya, meurut Ari, bangunan-bangunan yang telah direncakanan sebelumnya tidak terealisasi sepenuhnya.

Sementara itu, para pegawai kelas menengah ke bawah pun kesulitan membayar harga sewa rumah di area Cihapit. Mereka mulanya mesti membayar sekitar 10 gulden, tetapi sebab pembayaran mayoritas tidak lancar, harga disesuaikan kembali.

Kesulitan pembayaran itu menunjukkan kondisi ekonomi rerata warga Cihapit, pada masa Belanda“>Hindia Belanda, tidak dapat dikatakan sejahtera. Selain ditindas kolonialisme, mereka pun tergilas oleh roda ekonomi.

Aktivitas warga di Pasar Tradisional Cihapit, Jalan Cihapit, Kota Bandung, pada Jumat, 23 April 2021. Dahulu, area Cihapit berfungsi sebagai pemukiman untuk para pegawai Belanda kelas menengah ke bawah. Lalu pada masa pendudukan Jepang, kawasan ini jadi kamp Interniran terbesar di Bandung, untuk menawan orang Eropa dan perempuan Pribumi. Setelah Perang Dunia berakhir, kamp interniran dihilangkan, pemukiman warga dan pasar tradisional berkembang lagi. ( Ayobandung.com/Kavin Faza)

Derita sejarah Pasar Cihapit tidak berhenti sampai di situ. Kawasan ini kemudian diubah oleh pemerintah Jepang menjadi kamp Interniran terbesar di bandung, untuk menawan perempuan dan lainnya.

“Kawasan Cihapit pernah memiliki masa-masa kelam, tepatnya ketika kawasan tersebut difungsikan sebagai salah satu lokasi Interniran terbesar di Bandung,” tulis M. Ryzki Wiryawan, di situs resmi Komunitas Aleut.

“Dikenal juga sebagai kamp Bunsho II, Kamp Tjiapit ditujukan untuk menampung tawanan wanita, orang-orang tua, dan anak-anak Belanda. Pada saat dibuka pada 17 November 1942 penghuninya sekitar 14.000 orang, dan ketika ditutup pada Desember 1944 penghuninya sekitar 10.000 orang dipindahkan ke berbagai kamp di Jakarta, Bogor dan Jawa tengah,” ungkap Ryzki.

Tercatat, sekitar 243 korban pernah meninggal di Kamp Tjiapit. Pada zaman pendudukan Jepang, kawasan Cihapit dibatasi dengan kawat berduri dan bilik bambu. Jauh berbeda dengan kondisinya saat ini.

Akan tetapi, tanpa diduga oleh para penghuninya, penderitaan itu akhirnya berakhir jua. Seiring kekalahan Jepang pada Perang Dunia II.

“Jadi ketika perang dunia berakhir, dengan menyerahnya Jepang, si batas-batas itu menghilang, kemudian kembali lagi menjadi kawasan pemukiman,” pungkas Ari.

Leave a comment