Sajak-sajak Miranda Risang Ayu

Australia, 2002

Sore ini
aku telah duduk kembali di sebuah kursi depan taman kota
tempat burung-burung bercengkerama dengan daun-daun dan manusia
dua puluh meter dari bangunan yang akan menyaksikan kematian, mungkin juga kelahiranku

kembali
dari rahim buku-buku
sebelas bulan mendatang.

Entah hasil persetubuhan siapa ini ;
mungkin sore musim gugur yang kesepian
telah terlalu lama merapat dengan lembabnya udara tropika
Atau kecemasan sebuah benua di ujung dunia
yang ternyata cuma bisa ditawarkan

oleh genggaman jemari perempuan berkulit coklat
yang semula akan ia perkosa.
Australia dan Indonesia ;
maafkan aku sebentar tidak ingin perduli
Apa kalian ini sejoli

sedang menikmati cinta atau
saling berdusta
Dua tahun lalu
pertama kali kuinjakkan kakiku di tanah coklat tua ini
Jembatan terpanjang sebenua
biru langit yang bersih

dan semua mimpi tentang
kemajuan yang dapat tersentuh langsung oleh jariku
sudah cukup untuk membuatku
menyiksa diri

dengan peluh, sakit dan keluh-kesah
hanya untuk kembali
kepada sebuah kota
yang betapa indahnya.
Kota

Yang ternyata bukan sumber cahaya
Kulihat ada orang-orang tua mengomel di sudut jalan
ada perempuan malang yang kesepian di halte kosong
dan ada seorang pemabuk yang bergelimang bau busuk
tertidur di emperan

Ada beberapa serpih kertas tertinggal mobil penyapu jalan
ada abu-abu di langit biru menjelang malam
dan ada sisa kepedihan
ini jauh di dalam

Tetapi, kudengar langkah kakiku berkeletak
seperti langkah kaki
orang-orang berkulit pucat itu juga

Maka kulihat
selembar daun jatuh
menyentuh
permukaan
kolam
tanah ini
ternyata begitu biasa
tetapi aku
mengenalnya.

Sydney City, 22/1/2002

Di Keriuhan Air
Sebentar aku tetirah di
keriuhan air yang mengalir
dari lubuknya.
Sebentar aku berbincang dengan
deru sungai yang semula kukira
hanya kesenyapan
setelah kupaksa dia
untuk menggambarkan
impianku tentang diri.

Sebentar kusentuh dinginnya tenaga yang
mendorong sungai ini untuk selalu
gelisah ingin mencium muara
dengan keluguan dan mungkin juga
kedunguannya ;
karena dikiranya bahwa deru ombak itu
hangat adanya
dan dikiranya bahwa kedalaman laut itu
landai dasarnya.

Beri aku waktu sebentar untuk
menghirup kehangatan

yang ternyata hanya
sepasang bibir yang bisu
di sebuah cekungan yang tidak terbaca di peta
yang berlumut dan menghitam
entah oleh lupa atau pengingkaran.

Tetapi tetes-tetes air ini
bersatu
dengan batu-batu.
Kehangatan itu ternyata memang
tidak ada

Tetapi kerontang baru saja menemukan
kesejukannya
hanya dengan memandang
sepuluh menit saja
atau mungkin
empat menit saja

Ketiadaan
yang mengungkapkan semuanya.

8/2/2002

Cobark Hills

Tuhan
aku di sini
berhenti bertanya
berhenti bercerita
berhenti juga
mendengarkan
suara-suara yang bergema
di kedalaman

Tuhan aku di sini
jerih dengan gema yang kukira
Kata-kata
jerih dengan kata-kata yang kukira
Tanda-tanda
Mu

Sejenak saja aku ingin
Istirah dari makna-makna
Air
Batu dan
Biru langit

Ini
Detik ini
Biar menjadi
kata-kata
Mu

9/2/2002
Miranda Risang Ayu lahir di Bandung pada 10 Agustus 1968. Kini mengajar di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Lulus S-1 dari Fakultas Hukum Unpad dan lulus S-2 di Faculty of Law, University of Technology, Sydney (UTS). Pernah menulis kolom di Majalah Ummat, Suara Hidayatullah, Panji Masyarakat, dll. Pernah menulis kolom reguler di HU Bandung Pos, Pikiran Rakyat, dan Hikmah. Sejak tahun 2001 sampai sekarang masih menulis kolom Resonansi secara reguler di HU Republika. Buku kumpulan kolom saya baru sedikit Cahaya Rumah Kita, Permata Rumah Kita, dan akan terbit: Purnama Hati.***

Leave a comment