Badrul Mustafa : Bersabda dan Berpuisi

sumber: http://remedial.id/2019/02/19/badrul-mustafa-bersabda-dan-berpuisi/

Andaikata tuan dan puan pernah mendengar seorang bernama Badrul Mustafa percayalah ia penuh dengan petuah-petuah di langgam puisi. Pun tuan dan puan akan percaya, asal-muasal pepatah yang tuan dan puan kenal barangkali akan berbeda dari mulut Badrul Mustafa. Tengoklah kitab puisi Badrul Mustafa Badrul Mustafa Badrul Mustafa (Nuansa Cendikia, 2017) gubahan Heru Joni Putra. Buku puisi ini ibarat memoar Badrul Mustafa. Pelbagai pepatah, sabda dan kisah balad-balad termaktub di kitab puisi 80 halaman berhias sketsa pelukis Hanafi. Puisi-puisi diberikan keterangan pernah mengadar di pelbagai koran-koran 10 tahun terakhir (2006-2016). Buku mustajab 10 besar buku puisi Kusala Sastra Khatutulistiwa 2017.

Kita acap menemui puisi-puisi bereferensi tokoh. Tokoh menjelma pemetik cerita dari dongeng, sejarah, mitos, agama, fabel menjadi gubahan naratif-puitik. Kita mengingat kumpulan sajak Don Quixote gubahan Goenawan Mohamad. Atau puisi bereferensi tokoh sejarah Indonesia Kematian Kecil Kartosoewirjo anggitan Triyanto Triwikromo. Keduanya bereferensi tokoh besar yang masuk ke dalam ensiklopedi ataupun buku pelajaran sejarah. Puisi bereferensi tokoh menawarkan peristiwa dalam bait-bait narasi berwujud puitik. Narasi berlanggam puisi ini terbilang mempunyai gema yang bernas. Puisi bereferensi tokoh menjadi petikan kisah bernuansa sastra mengenai sejarah, agama, politik, cinta, kekuasaan. Barangkali jalan naratif-puitik lebih mempunyai gema yang dapat menerangkan peristiwa besar maupun peristiwa keseharian ketimbang buku-buku sejarah babon bercap pemerintah.

Heru Joni tak bermaksud menjadikan Badrul Mustafa sebagai tokoh besar yang mesti masuk ke buku sejarah. Badrul Mustafa cukup diingat dan tercatat di kitab puisi. Meski sabda Badrul Mustafa serupa nabi yang mesti dikenang dan didengungkan di ingatan kitab suci. Di kuping buku Heru Joni menerangkan, Badrul Mustafa berkelana dari satu karakter ke lain karakter, melewati peristiwa demi peristiwa, dan tak selalu di zaman yang sama, mencari sesuatu yang mungkin entah atau sesuatu yang lain yang barangkali berantah. Kitab puisi ini menjadikan Badrul Mustafa musafir waktu dari peristiwa ke peristiwa lain.

Badrul Mustafa seperti hidup di seribu zaman. Meski hidup di seribu zaman Badrul Mustafa enggan mempunyai riuh massa pemuja tepuk tangan. Pernah suatu ketika Badrul Mustafa diharapkan serupa kuda. Syahdan Badrul Mustafa hanya ingin menjadi seekor rusa. Kalaupun Badrul Mustafa harus merunduk serupa babi, ia hanya ingin mendongak seperti sapi.

Puisi-puisi termaktub mempunyai penggambaran pepatah yang akrab di telinga. Heru Joni tak bermaksud berlagak dengan mengejek pepatah, peribahasa yang muncul dari mulut Badrul Mustafa. Pepatah ataupun peribahasa itu penting. Meskipun kita sadar peribahasa yang diwarisi dari masa kecil saat sekolah akan terbanding terbalik dengan apa yang ditulis Heru Joni melalui tokoh Badrul Mustafa. Simak penggalan puisi berjudul Ada Garam Ada Semut Heru Joni berkisah Badrul Mustafa mengenai pepatah ini. Badrul Mustafa menafsir, //Gula telah habis, kata Badrul, dan sepah semut//Dibuang ke laut: pepatah yang sempit ini.

Tengok puisi Gajah di Seberang Lautan dan Semut di Seberang Lautan. Badrul Mustafa berdialog dengan gajah dan semut. Sang gajah menggunjing sang semut yang tak nampak di kelopak mata Badrul Mustafa. Sang gajah melihat persis apa yang dilakukan sang semut. Gajah itu meyakinkan Badrul Mustafa, //aku melihatnya membawa sebutir gula,//Lalu menyeberang dari satu lautan//ke lautan lain. Gajah dan semut saling membenarkan diri masing-masing. Bagi sang semut yang dilihat gajah itu adalah bukannya melainkan gajah yang lain.

Narasi puisi berwajah pepatah juga muncul di puisi Udang di Depan Batu. Heru Joni kembali bermain pepatah melalui tokoh Badrul Mustafa mengenai udang yang tak lagi bersembunyi dibalik batu. Justru udanglah yang menyembunyikan batu. Badrul Mustafa berprasangka, //Entah batu apa//Yang disembunyikan udang//Di balik tubuhnya//Badrul Mustafa mengira//Mungkin itu cuma batu yang biasa//Diperbincangkan orang,//Batu yang cuma ada dalam pepatah//yang sempit itu.//. Prasangka pepatah sempit dimaknai sekaligus ditulis ulang melalui narasi puisi Badrul Mustafa.

Agama bagi Badrul Mustafa tak membuatnya lupa akan makna religiusitas. Tuan dan puan akan mengenali sosok Badrul Mustafa yang sufi. Di puisi Belajar Mengaji Ke Kandang Sapi, Badrul Mustafa mendayung religiusitas manusia yang retak. Badrul Mustafa tak bermaksud meragukan petuah Engku Haji sang guru ngaji. Hanya saja Badrul Mustafa tetap yakin setiap diri manusia bersemayam harimau. Badrul Mustafa tak ingin petuah-petuah janji surga dari lantunan ayat-ayat suci hanya membuat harimau di diri manusia mengaum. Badrul Mustafa berkisah, //Kami terus mengaji, menggali tak henti-henti,//Tapi yang kami temukan tetap harimau//Yang mengintai sapi dari dalam diri Engku Haji//Kami terus mengaji, menelusuri tak henti-henti,//tapi yang kami temukan masih harimau//yang selalu mengaum tak ingin kami dekati//. Menapaki jalan sapi merupakan pilihan orang-orang seperti Engku Haji yang sering disebutkan dalam kitab suci. Harimau menghantui Badrul Mustafa yang enggan mengaji. Ia malah memilih berlari dan bersabda.

Surga bagi Badrul Mustafa tak melulu diraih dengan tangga religiusitas orang-orang ramai. Badrul Mustafa meyakini tak ada tangga menuju surga. Untung seribu untung Haji Agus Salim dengan jenggotnya yang menjuntai dari surga menjadi pijakan Badrul Mustafa meraih surga. Pun Badrul Mustafa bukanlah orang yang parokial menikmati surga sendirian. Badrul Mustafa mengajak handai taulan, sanak saudara untuk menaiki jenggot Agus Salim menuju surga. “Masuk surga dahulu, ke Mekah kemudian,” begitu ajaran Badrul Mustafa. Tuan dan puan berhak memilih mengikuti jalan Badrul Mustafa ini ataupun hanya berdiam diri di ruang renung puisi.

Rianto (remedial.id)

_____________________________________________________________

Ikhtisar

Buku ini menghimpun sepilihan puisi yang saya tulis dalam 10 tahun terakhir (2006-2016). Sebagian pernah dimuat di Padang Ekspres, Koran Tempo, dan Kompas. Beberapa di antaranya mengalami perubahan dengan kadar yang berbeda satu sama lain. Ramai sekali orang-orang yang berjasa dalam proses kreatif saya menulis selama ini. Mendekatlah segala yang baik kepada Ibu dan Ayah (alm) di kampung yang telah mengajarkan saya membaca dan menulis, serta selalu membelikan saya buku-buku tak terduga setiap awal bulan.

Pendahuluan / Prolog

Pembuka Kata
Buku ini menghimpun sepilihan puisi yang saya tulis dalam 10 tahun terakhir (2006-2016). Sebagian pernah dimuat di Padang Ekspres, Koran Tempo, dan Kompas. Beberapa di antaranya mengalami perubahan dengan kadar yang berbeda satu sama lain.

Ramai sekali orang-orang yang berjasa dalam proses kreatif saya menulis selama ini. Mendekatlah segala yang baik kepada Ibu dan Ayah (alm) di kampung yang telah mengajarkan saya membaca dan menulis, serta selalu membelikan saya buku-buku tak terduga setiap awal bulan. Untuk saudara saya, Beri Veria Artra dan Trinanda Joni Putra, terimakasih atas semangatnya untuk terus berjuang. Selanjutnya, saya mengucapkan terimakasih untuk Feni Efendi, Gus tf, Iyut Fitra, Novita Yulia, Pinto Anugrah, Esha Tegar Putra, Fariq Alfaruqi, Alpha Hambaly, S Metron M, dan Koko Sudarmoko, yang telah menemani saya selama ini berdiskusi perihal berbagai percobaan-penciptaan puisi yang saya lakukan.

Untuk Rusdy Zamzami dan Hamzah Muhammad yang telah memberikan beberapa saran untuk kumpulan pertama ini. Termasuk juga untuk kawan-karib sedari sekolah, Ade Suhendra, Rovindo Maisya, Ari Berli Kuswara dan Izzatu Hayati, yang tak pernah bosan melontarkan berbagai macam pertanyaan mengenai karya-karya yang saya tulis.

Tanpa berbagai dukungan dari keluarga besar Studiohanafi, buku ini tak akan pernah terbit tahun ini. Khususnya kepada Pelukis Hanafi, saya ucapkan terimakasih yang tak terhingga atas banyak dukungannya kepada saya. Beliau telah membiarkan saya memilih beberapa karya di antara 150-an serial #Indecisive untuk dipakai sebagai bagian dari buku ini. Beberapa perubahan yang terjadi semenjak rancangawal penyusunan buku ini tak terlepas dari saransaran mengejutkan darinya. Dan kepada Ibu Adinda Luthvianti, di antara nasihat-nasihatnya yang sangat berguna, beliau pun tak pernah bosan mengingatkan saya untuk menyelesaikan manuskrip buku ini. Segala yang baik pun semoga senantiasa mendekat kepada orang tua kedua saya ini.

Selanjutnya, terimakasih untuk Kang Taufan Hidayat dan Mas Mathori A Elwa dari Penerbit Nuansa Cendekia, Bandung. Terakhir, terimakasih untuk banyak orang lainnya yang di lembar ini tak tersebutkan namanya, tapi sesungguhnya dalam pikiran dan perasaan saya, segala peristiwa, amal baik, nasihat, ilmu yang bermanfaat, dan segala dukungan, tak akan pernah lapuk oleh hujan dan tak sekalipun lekang oleh panas. Tutup

Daftar Isi

Sampul
Pembuka Kata
Daftar Isi
     Ada Garam Ada Semut
     Katak di Atas Tempurung
     Gajah di Seberang Lautan
     Udang di Depan Batu
     Membunuh Pujangga Istana
     Jalan Pulang Orang Suluk
     Belajar Mengaji ke Kandang Sapi
     Jenggot Haji Agus Salim
     Juru Cerita Tanpa Tepuk Tangan
     Balada Singa Ompong
     Balada Rusa Patah Kaki
     Balada Orang Gila Naik Mimbar
     Balada Lelaki Pengagum Jibril
     Balada Tunggul Kayu
     Balada Beruk Mendapat Permainan
     Balada Beruk Mendapat Permainan
     Balada Kain Buruk Bersulam Emas
     Sudah Padam Suluh di Tangan
     Balada Sandal Putus
     Beri Saja Judul Puisi Ini Meditasi
     Berjoged di Atas Titian Lapuk
     Di Hari Eksekusi Itu
     Badrul Mustafa
     Tak Akan Pernah Mati
     Bersampan dengan Pecahan Kapal
     Rubaiyat Kopiah Anak Dagang
     Menunggu Pendekar
     Masuk Gelanggang
     Tukang Sorak Kaum Paderi
     Kuda Badrul Mustafa
     Pada Sebuah Lepau
     Badan yang Tak Tahu Diri
     Rendang Tinggal Dedak
     Badrul Mustafa Jatuh Cinta Lagi
     Tak Ada Rimba, Kota pun Jadi
     Semisal Badrul Mustafa
     Duri dalam Daging
     Pukau Harimau
     Lagu Petani Tak Bersawah
     Lagu Pengasah Pedang
     Di Makam Seorang Paderi
     Menumbangkan Pohon Beringin
     Ada Garam Ada Semut
     Katak di Atas Tempurung
     Gajah di Seberang Lautan
     Udang di Depan Batu
     Membunuh Pujangga Istana
     Jalan Pulang Orang Suluk
     Belajar Mengaji ke Kandang Sapi
     Jenggot Haji Agus Salim
     Juru Cerita Tanpa Tepuk Tangan
     Balada Singa Ompong
     Balada Rusa Patah Kaki
     Balada Orang Gila Naik Mimbar
     Balada Lelaki Pengagum Jibril
     Balada Tunggul Kayu
     Balada Beruk Mendapat Permainan
     Balada Beruk Mendapat Permainan
     Balada Kain Buruk Bersulam Emas
     Sudah Padam Suluh di Tangan
     Balada Sandal Putus
     Beri Saja Judul Puisi Ini Meditasi
     Berjoged di Atas Titian Lapuk
     Di Hari Eksekusi Itu
     Badrul Mustafa
     Tak Akan Pernah Mati
     Bersampan dengan Pecahan Kapal
     Rubaiyat Kopiah Anak Dagang
     Menunggu Pendekar
     Masuk Gelanggang
     Tukang Sorak Kaum Paderi
     Kuda Badrul Mustafa
     Pada Sebuah Lepau
     Badan yang Tak Tahu Diri
     Rendang Tinggal Dedak
     Badrul Mustafa Jatuh Cinta Lagi
     Tak Ada Rimba, Kota pun Jadi
     Semisal Badrul Mustafa
     Duri dalam Daging
     Pukau Harimau
     Lagu Petani Tak Bersawah
     Lagu Pengasah Pedang
     Di Makam Seorang Paderi
     Menumbangkan Pohon Beringin

Leave a comment