
Identitas Buku
- Judul Buku: Recehan Bahasa
- Penulis: Ivan Lanin
- ISBN: 978-602-402-179-5
- Cetakan: I, Juli 2020
- Penerbit: Qanita, PT Mizan Pustaka
- Berat: 220gr
- Jumlah Halaman: 152 Halaman
- Jenis Sampul: Soft Cover
Kepintaran tenggelam tanpa keterampilan bahasa.
Kedunguan gemerlap berkat kepiawaian bahasa.
Bahasa tidak muncul dari ketiadaan. Kata muncul dari interaksi sehari-hari antarmanusia yang membentuk sebuah sistem komunikasi yang disepakati bersama yang disebut bahasa.
Tak jarang, istilah-istilah receh yang kita sepelekan menjadi salah satu tonggak perkembangan bahasa. Misalnya kata segede gaban, alay, dan ambyar yang memunculkan semua citra yang melambangkan sebuah generasi tertentu.
Ivan Lanin mengumpulkan recehan bahasa yang berserakan di lini masa media sosial untuk kita nikmati bersama dalam buku ini, sebagai sebuah hiburan sekaligus penambah pengetahuan yang penuh cita rasa.
Sambil rebahan ataupun tirah baring, mari kita nikmati Recehan Bahasa: Baku Tak Mesti Kaku. Tak perlu malu dan kaku dalam berbahasa. Biarpun kamu jomblo atau jomlo, berbahasa, meski receh, tidak pernah dilarang.
________________
sumber: goodreads
Media sosial kini menjadi dunia yang bisa dijangkau oleh semua kalangan.
Setiap orang bisa berpendapat, mengomentari, mengajari, juga belajar di sana.
Semua aktivitas yang digelar di sana tak lepas dari hal penting bernama “bahasa”
Karena telah mengenal bahasa Indonesia sejak dilahirkan, kita seringkali malas atau acuh pada ilmu satu ini. Padahal,
“Kepintaran tenggelam tanpa keterampilan bahasa. Kedunguan gemerlap berkat kepiawaian bahasa.” (Hal. 75)
Uda Ivan dalam buku ini mengenalkan kita pada bahasa Indonesia dengan cara yang seringan mungkin. Tema yang dibahas merupakan pilihan dari berbagai konten yang biasa diunggah lewat Twitter. Karena itulah, kebanyakan dari tema tersebut sering sekali kita temukan di kehidupan bermedia sosial.
Selain mengajak belajar bahasa, Uda Ivan juga menyelipkan tips dalam membangun personal branding di media sosial. Pertama, cari tau alasan eksistensi kita dan konsisten dalam mengkampanyekan itu. Kedua, murah dalam berbagi ilmu. Terakhir, milikilah networking seluas mungkin.
“Membaca konten media sosial ibarat makan camilan. Itu bisa mengganjal perut, tetapi mesti dilengkapi dengan makanan utama: buku atau bacaan lain yang lebih mengenyangkan dan bergizi.” (Hal. 22)
_______________
oleh: Aji Gunawan
Peringatan Bulan Bahasa & Sastra yang diperingati setiap bulan Oktober tidak luput dari para pegiat bahasa, literasi, sastrawan yang menghelat kegiatan kebahasaan. Merujuk pada sejarah, 28 Oktober 1928 dengan dikumandangkannya Sumpah Pemuda dalam keputusan Kongres Pemuda II, saat itu juga dinyatakannya bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa negara adalah bahasa Indonesia.
Masa ini, perkembangan bahasa Indonesia yang begitu dinamis, menjadikan bahasa Indonesia hampir terkikis oleh perkembangan dunia yang juga begitu pesat. Maka, sebut saja Ivan Lanin putra Minang, sang “peneroka bahasa” bersama koleganya mensyiarkan muruah bahasa Indonesia supaya tetap terjaga dan mudah diterima oleh masyarakat umumnya, warganet khususnya.
Buku Recehan Bahasa merupakan karya kedua dari penulis dalam upaya mengemas bahasa Indonesia lebih menarik untuk dibaca. Tidak seperti buku pelajaran Bahasa Indonesia yang sistematis kita baca di kelas. Buku ini ringan dibaca, namun berbobot isinya. Beliau mampu menjadikan bahasa sebagai wahana bermain, dikemas dalam kejenakaan, dilengkapi dengan ilustrasi-ilustrasi di dalamnya.
“Baku Tak Meski Kaku” beliau sematkan dalam sampulnya menegaskan bahwa bahasa Indonesia baku, tidak meski dipraktikkan dengan kaku. Beberapa penyegaran dari padanan kata, pembentukan istilah, dsb. Beliau aktif menjadikan sosial medianya sebagai rujukan warganet dalam diskusi kebahasaan sejak 2006. Dari karya pertama hingga keduanya ini berisi trivia remeh temeh warganet, hingga beliau rangkum menjadi satu buku yang asyik untuk dibaca.
Tidak begitu banyak materi kebahasaan dalam buku ini, ilustrasi di dalamnya melengkapi pesan kebahasaan itu mudah dipahami, namun, kode batang di dalamnya melengkapi juga ketika pembaca ingin membuka rujukan yang beliau berikan untuk lebih detil yang diarahkan pada laman.
Beberapa kesimpulan sederhana yang bisa kita petik dari buku ini;
- Memiliki bahasa ibu, bahasa Indonesia bukan berarti kita paham betul bahasa kita sendiri.
- Bahasa bukan ilmu pasti yang kaku, meskipun tetap memiliki pola dan aturan yang berlaku umum.
- Ragam formal adalah pilihan utama untuk pembicaraan publik, tetapi ragam percakapan tetap akan hidup karena sifatnya membuat suasana lebih akrab.
- Bahasa Hanyalah sarana komunikasi, Selagi semua atau mayoritas orang yang berpartisipasi dalam komunikasi tersebut paham dengan bahasa yang digunakan, bahasa apa pun dipakai sah-sah saja.
Buku yang sangat menarik, untuk kita yang tidak memiliki waktu banyak untuk mendalami berbagai hal mengenai bahasa Indonesia baku, buku ini bisa menjadi literatur yang menarik dan bisa menjadi pintu masuk ke pelbagai topik kebahasaan aktual yang saat ini ramai di masyarakat dunia nyata dan maya. Untuk bisa terampil berbahasa tulis dan lisan yang bagus, ternyata selamanya tidak harus kaku.
Sebagai pemungkas, beliau menulisan pesan dalam buku tersebut, bahwa kepintaran tenggelam tanpa keterampilan bahasa, kedunguan gemerlap berkat kepiawaian bahasa. Kebernasan tulisan dan kefasihan tuturan membuat insan bersinar. Sebaliknya, pena yang tumpul dan lidah yang gagap dapat menenggelamkan pikiran yang cemerlang.
