Nh. Dini Perempuan dengan Kata Hati

Oleh: Prie GS

Menyebut nama Nh. Dini saya harus menyebut Pak Tasman, guru Bahasa Indonesia saya di SMP Negeri 1 Sukorejo Kendal. Saat itu, Sukorejo di tahun 80-an, hanya dihibur oeh televisi umum yang dipancang tinggi di halaman kantor kawedanan. Untuk menontonnya, saya butuh berjalan tujuh kilometer dari rumah. Bukan usaha yang mudah, karena jika pulang, hari telah malan dan harus pula melewati kuburan. Keinginan untuk menghibur diri dan ketakutan saya pada setan kuburan adalah dilema berkepanjangan. Ada kalanya setan itu saya kalahkan, adalah kalanya saya memilih di rumah dan kesepian. Di zaman kesepian itulah cerita-cerita Pak Tasman di depan kelas menjadi ritus yang saya rindukan.

Ada Datuk Maringgih yang menjengkelkan di Siti Nurbaja. Ada anak durhaka yang terkutuk di Salah Asuhan… dan ada drama percintaan Pada Sebuah Kapal. Inilah kali pertama kali saya mengenal nama Nh Dini, nama yang saya bayangkan sebagai jauh dan nyaris menyerupai sejarah. Bertahun kemudian saya merevisi bayangan ini. Ternyata Nh Dini bukan sosok yang jauh seperti dalam imajinasi kanak-kanak saya, melainkan juga seorang wanita biasa, seorang ibu,yang tinggal di Kampung Sekayu. Tidak mudah merubah Dini yang ada di imajinasi sekian lama dengan Dini yang tiba-tiba saya lihat sebagai manusia, langsung di depan mata. Saat itu, di Gedung Pemuda, gedung bersejarah bagi seniman dan kesenian kota Semarang yang kini tiada, saya melihat Dini menjadi pembicara.

Saya menontonnya dengan berdebar-debar.

Ini sunggguh momen besar dalam hidup saya yang baru saja keluar dari kampung halaman. Dini adalah tokoh pertama yang member saya sensasi kejiwaan yang unik ini: perpindahan kejiwaan dari fiksi ke fakta, dari imajinasi ke alam nyata. Inilah perasaan para fans, setiap bertemu idolanya untuk kali pertama. Lalu saya tidak cuma mendengar gayanya berbicara. Saya juga mendengar gosip-gosipnya. Gosip pertama yang saya nikmati ialah: Jangan Mengundang Nh Dini berceramah kalau tidak siap membayar. Diundang dan memungut bayaran dengan terus terang, adalah sebuah tantangan terbuka bagi dunia sopan santun saat itu. Cap mata duitan adalah vonis berbahaya dan cukup untuk melemparkan seseorang dalam posisi persona non grata, seseorang yang layak dikucilkan. Betapapun saya menginginkan duit, tapi untuk mengataknnya secara terbuka, adalah tindakan berbahaya, pikir saya saat itu. Stempel mata duitan dan pengucilan, adalah hukuman tak kepalang beratnya bagi saya. Maka pengidolaan saya atas Dini goyah, tepat di saat saya pertama kali melihatnya.

Ya, di acara ceramah itu, Dini memang meminta bayaran. Pikir saya: tega sekali, padahal penyelenggara adalah panitia dengan kemiskinan yang jelas di sekujur hidupnya. Tetapi belum rampung konflik pengidolaan saya, telah keburu muncul fakta berikutnya: apa yang ia sebut bayaran itu ternyata tak lebih dari duit seribu perak dan segelas air putih. Di zaman susah sekalipun, bayaran itu sudah tidak ada harganya. Lalu apa maunya orang ini? Kenapa kebaikan dan ketegaan bisa bergabung menjadi satu semacam ini? Dari ceramah Nh Dini, saya pulang dengan kepala dipenuhi teka-teki. Lalu saya menjadi wartawan. Sosok Dini yang mendua, masih terbawa dalam bawah sadar saya; ia saya kagumi sekaligus saya takuti. Di Sekayu saya pernah bertandang, wawancara, memotrenya di antara bunga-bunga dan aneka angrek yang ditanamnya. Dini dan tanaman serupa langit dengan udara. Ia ramah di antara rimbun bunga. Tetapi keramahan itu, adalah sikap yang saya repson masih dengan sikap mendua. Setengahnya bangga, selebihnya waspada. Konon tidak mudah bergaul dengan pengarang ini.

Tetapi kini , saya merasakan sendiri kehangatannya. Hanya sebelum kehangatan itu menjalar sepenuhnya, di hari lain, saya sudah ditegurnya. Ada satau kata yang saya tulis di wawaancara itu yang agaknya mengganggunya. Karena teguran itu, saya jadi mengingat satu kata itu hingga hari ini, tetapi pasti saya tidak ingin mengatakannya kepada Anda. Saat itu, umur saya mulai bertambah. Paradoks-paradoks yang saya rasakan tentang Dini pelan-pelan mulai mendapatkan penjelasannya. Oo ini bukan pardoks, Ini hanya pribadi yang terbiasa mengatakan kata hatinya kapan saja, yang di dalam konteks kebudayaan masa kecil saya, agak tak biasa. Saya mulai mengerti, walau masih butuh belajar menerima. Sampai kemudian Dini, dari Sekayu pindah ke sebuh rumah di sebuah sudut, di kawasan Pandana Merdeka, Semarang, di pinggir sebuah lembah.

Saya pernah a bertamu ke rumah ini, indah sekali. Ketika sore menjelang, apalagi dengan mendung dan hujan, lembah itu biru sekali. Saya terkenang pada kabut-kabutnya yang putih dan mengambang. Saya sempat iri dengan kehidupan ini. Sendiri, tetapi kuat sekali. Saya berpikir, barangkali inilah buah dari kemerdeaan dalam mengatakan kata hati itu. Kesendirian, bukan lagi soal yang menakutkan. Ia malah membuahkan kamandirian dan kekuatan. Kalau tak salah ingat, di rumah inilah saya melihat tulisan tangan WS Rendra tergantung di bagian dindingnya: hadir, mengalir….

Tulisan Rendra itu, lembah dan kabut itu, Dini yang sendiri tetapi yang asyik dengan anak-anak kampung dan Pondok Baca, saya rekam sedemikian rupa karena ia merupakan rekreasi mental kemudaan saya. Sampai selang tahun kemudian, saya lupa tahunnya, rumah cantik itu longsor. Lembah yang indah ternyata cuma bentuk lain dari bahaya. Saya menelponnya. Itulah pertama kali saya melihat Dini menangis. Entah kenapa saat itu saya gembira. Bukan karena soal longsornya, melainkan karena saat melihat Dini menangis, saya melihat sosoknya dari sudut yang berbeda. Amat manusia. Amat butuh teman dan sokongan. Keputusan menelponya itu, hal yang amat saya syukuri hingga saat ini.

Lalu ia pindah lagi ke rumah yang baru, ke kawasan Pondok Beringin. Saat itu saya sudah berkeluarga, dua anak saya. Entah bagaimana prsosesnya, Dini bagi saya mulai terasa seperti mbakyu. Tidak cuma pipi anak-anak, pipi saya pun, jika ketemu, mulai diciumi. Saya bangga sekali. Dicium Nh Dini, astaga! Walau ini pasti ini bukan tanpa usaha. Untuk menjatuhkan ciumannya, Dini butuh meyakinkan diri bahwa saya tidak merokok. Saya mematuhi anjuran itu, hingga kini. Di rumah ini, Dini tak tinggal lama. Ketika tanah-tanah kosong d sebelahnya yang penuh burung tekukur itu akan padat oleh bangunan, Dini sudah menangkap gelagat buruk: kebisingian akan segera datang.

Dan ia bersiap berburu ketenangan di tempat yang baru, tempat yang agaknya khas Nh Dini di masd tua yang kuat dan sendiri itu: Panti Wredha. Nh, Dini pengarang terkenal itu, lalu hendak menjual rumahnya! Ini berita besar kebudayaan Jika saya itu saya sudah punya uang, rumah itu akan saya beli dengan serta merta. Bayangkan rumah Nh Dini akan dijual murah sekali. Murah untuk ukuran siapa yang pernah menjadi penghuni. Begitulah perasaan saya kepada seluruh rumah yang dihuni oleh Pramuda Ananta Toer di Blora, Gunawan Mohammad (di Batang?), Rendra di Solo, Umar Kayam di Yogya… adalah rumah-rumah yang harus diselamatkan sebagai cagar budaya. Seratus tahun ke depan, bangunan itu akan diburu turis kebudayaan. Ini kalau Indonesia serius berpikir tentang kebudayaannya.

Saya membujuk teman habis-habisan untuk mau segara membeli rumah Dini itu dan memintanya seolah sedang menyelamatkan aset kebudayaan. Kini Dini sudah pindah lagi. Pilihannya adalah di Wisma Lansia Langen Werdah Asih, di desa Lerep Ungaran. Sudah 72 tahun usianya, dan tidak setiap tahun ia bisa berulang tahun karena 29 Februari, kelahirannya, adalah tahun Kabiset yang baru berulang setelah empat tahun sekali. Di Lerep, tampaknya Dini ngin menikmati hari tuanya, sambil terus mengatakan kata hati dengan merdeka.

Leave a comment