sumber: MOJOK.CO
Kabupaten Purworejo, kabupaten kecil di Jawa Tengah sudah diperhitungkan sejak masa Hindia Belanda. Bahkan, kota ini dipersiapkan menjadi pengganti Batavia sebagai ibu kota
Purworejo pernah dipersiapkan jadi ibu kota Hindia Belanda
Purworejo tempo dulu memang kota yang diperhitungkan oleh Belanda. Tidak hanya soal menjadi sentra kecamuk Perang Jawa melawan Diponegoro dan laskarnya saja, Purworejo memiliki nilai lebih.
Bahkan, Purworejo pernah dikonsep sebagai calon Ibu Kota Hindia Belanda pengganti Batavia apabila kota itu mendapat serangan dari luar. Berbagai fasilitas pun dibangun pemerintah Hindia Belanda di Purworejo.
Dikutip dari buku Cerita di Balik Benteng Stelsel Hingga Yonif Mekanis Raider 412/Bharata Eka Sakti Sang Penjaga Kedaulatan Indonesia, ide menjadikan Purworejo menjadi ibu kota darurat tentunya berawal dari keresahan para petinggi pemerintah Kerajaan Belanda. Mereka mempertimbangkan gejolak yang terjadi di Eropa, serta baru usainya Perang Jawa melawan Diponegoro.
Belajar dari Perang Jawa atau De Java Oorlog yang merugikan kas negara hingga 25 juta gulden dan menewaskan ribuan serdadu Belanda berkebangsaan Eropa dan juga pasukan kolonial lokalan, maka mereka memikirkan cara untuk memperkuat Jawa dari berbagai serangan. Apalagi, Jawa pernah jatuh ke tangan Inggris era Thomas Stamford Raffles berkuasa tahun 1811-1816.
Pertahanan yang diperkuat itu ya kota-kota pantai, serta wilayah pedalaman pulau. Mereka membentuk sistem perbentengan yang terhubung dengan jalur transportasi, untuk memudahkan mobilitas tentara dan logistik.
Nah, kala itulah sekitar tahun 1844, ketika Hindia Belanda dipimpin Gubernur Jenderal Johannes Van Den Bosch, tercetus ide menjadikan Purworejo sebagai calon ibu kota darurat Hindia Belanda. Strateginya adalah pemerintahan akan dipindah ke Purworejo apabila Batavia mendapat serangan dari luar.
Mengapa Purworejo? Sebab kota ini cukup strategis, karena dianggap dekat Kota Cilacap yang saat itu dimanfaatkan kolonial sebagai basis militer. Pelabuhan di Cilacap juga akan menjadi sarana pelarian jika pemerintah kolonial mendapat serangan dari bangsa luar atau perang dahsyat macam Java Oorlog.
Van Den Bosch menanti, tapi sepi, sunyi, apa yang digambarkan sejak kecamuk Perang Jawa usai tahun 1830, tidak kunjung terjadi. Suasana Jawa setelah Diponegoro diasingkan ke Manado kemudian Makassar, ternyata mandaliyem alias aman terkendali dan ayem. Tidak ada gejolak yang ngedab-edabi seperti Diponegoro yang tidak terima atas kesewenang-wenangan Kolonial Belanda. Kondisi Eropa pun sama, aman dan kondusif.
Maka Van Den Bosch pun memutuskan membatalkan rencana menjadikan Purworejo sebagai calon ibukota darurat. Pemerintah Belanda memilih Bandung sebagai calon ibu kotaa Hindia Belanda karena hawanya lebih sejuk dan topografinya dikelilingi pegunungan. Purworejo wurung jadi ibu kota, batal seperti Batavia!
Nama Purworejo sendiri merupakan nama pemberian Belanda pada tahun 1931 atau usai Perang Diponegoro. Sebelum itu, namanya Brengkelan atau Kedung Kebo, merujuk nama tangsi militer Belanda yang didirikan saat Perang Diponegoro.
Tapi ada sisi baiknya, karena Belanda tetap membangun Purworejo dan kota-kota Jawa Tengah demi membentuk konsep pertahanan garnisun. Jalur kereta api dibangun, sekolah-sekolah tetap dipertahankan.
Gedung bersejarah yang dulunya adalah tangsi militer, sekolah, benteng pertahanan, perumahan tentara, rumah sakit, hingga makam khusus warga Belanda masih megah berdiri di Purworejo. Tidak ada lagi tentara, juga ambtenaar atau pegawai negeri Belanda yang wira-wiri di sana karena semua sudah dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat Purworejo.
Gambaran Purworejo di masa lalu itu yang ada dalam koleksi foto-foto milik Ahmad Nangim. Foto-foto yang menceritakan banyak hal tentang kebesaran Purworejo pada zamannya. Kebesaran yang mestinya saat ini sudah pudar, tergerus geliat masif kota-kota di sekitarnya, seperti Yogyakarta dan Solo.
Reporter: Sarwo Sembada
Editor: Agung Purwandono
