Rumah Pohon Kesemek | Tsuboi Sakae

Judul: Rumah Pohon Kesemek (Kaki No Ki No Aru Ie)
Penulis: Tsuboi Sakae
Penerjemah: Asri Pratiwi Wulandari
Pemeriksa Bahasa: Ribeka Ota
Penyunting: Reda Gaudiamo
Ilustrator: Puty Puar
Penerbit: Mai

sumber: Goodreads

Lelita P.

Dulu banget pas masih kecil, buku favorit saya adalah cerita anak desa berjudul “Fathi dari Desa Jenggawah”. Ceritanya bener-bener slice of life tentang kehidupan anak desa (Fathi) itu. Rasanya menyenangkan bacanya, bikin hangat dan sayang sama tokoh-tokohnya. Nah, buku Rumah Pohon Kesemek ini juga memberikan perasaan seperti itu. Seandainya buku ini terdiri dari 100 bab tapi ceritanya “gitu-gitu doang”–cuma keseharian Fumie, Yoichi, Ibu, Nenek, Paman dan Bibi Santaro, serta si kembar Hideo dan Shinnosuke di rumah mereka yang di halamannya ada pohon kesemek–saya tetep mau banget baca.

Ilustrasinya menggemaskan sekali! Cocok sama adegannya. Duh, saya membayangkan kalau saya masih kecil, pasti buku ini juga menjadi salah satu buku cerita anak favorit saya yang bakal sering saya baca ulang-ulang. Menyenangkan, menghangatkan, dan menjadi jendela akan kehidupan di desa di Jepang pada masa setelah perang. [Walaupun yaa, kalau dari kacamata orang dewasa, sebenarnya banyak realitas kehidupan yang cukup “adult” di sini. Misalnya adegan kematian Kakek, atau infertilitas pasangan Paman dan Bibi Santaro yang sampai harus mengadopsi anak saudaranya, terus kesulitan Ibu menyusui anak kembar sampai harus ditambah sufor/susu kambing. Tentu saja anak-anak nggak akan notice itu, tapi orang dewasa akan sadar karena memang begitulah kehidupan.]

Saya juga suka bagian “Ruang Teh” yang disajikan penerbit di bagian akhir buku. Sangat mengapresiasi effort penerbit untuk menyesuaikan terjemahannya dengan konteks yang lebih kekinian, dan memberitahukan hal tersebut di belakang bukunya untuk menjadi informasi tambahan bagi pembaca santai atau pembaca yang lebih serius (mis: mahasiswa SasJep yang mau menjadikan buku ini topik penelitian skripsi). Syukurlah, dengan adanya kebijaksanaan penerbit tersebut, buku ini jadi lebih kids-friendly.

Satu-satunya yang bikin saya agak mengernyit adalah beberapa typo, khususnya adanya spasi sebelum titik. Saya menemukan cukup banyak yang seperti itu di buku ini, lumayan bikin risi. Terus di awal-awal pun, halaman 7 dan 9 tepatnya, ada paragraf yang menyebutkan nama “Yoichi” sebagai “Yoshio”. Karena masih awal-awal, saya sempat bingung bacanya, “Nih anak sebenernya bernama Yoichi atau Yoshio, sih?”. Untungnya ke belakangnya udah konsisten jadi Yoichi.

Secara umum ini buku yang bagus sekali buat pelepas stres, apalagi buat orang dewasa. Gambar-gambarnya juga bisa diwarnai (seperti yang dilakukan Ambu-san).

Sintia Astarina

Di Jepang, musim gugur adalah musimnya buah kesemek. Buah ini diasosiasikan dengan keberuntungan dan umur panjang, serta kesehatan dan kesuksesan di tahun baru.

Buah yang rasanya manis ini pun turut jadi saksi perjalanan keluarga Fumie dan Yoichi dari generasi ke generasi dalam Rumah Pohon Kesemek.

Tsuboi Sakae menawarkan 4 penggalan cerita yang dari kulitnya terasa sederhana, tapi isinya sarat makna. Pembaca diajak berkenalan dengan Kakek yang begitu sayang dengan pohon kesemeknya, Paman Santaro yang jail, dan tentu saja kakak-adik Fumie & Yoichi yang menggemaskan.

Salah satu adegan yang kusukai adalah ketika Fumie & Yoichi berbisik-bisik kala menantikan kelahiran adik mereka. Mendadak flashback ke masa kecil, deh. Dulu pas nungguin adikku lahir, apa yang kulakuin/pikirin, ya? Sampai detik ini aku cuma inget hari pertamaku sebagai kakak. Aku di rumah sakit untuk jenguk Mama dan adik bayi. 🥺❤️

Omong-omong, ilustrasi dalam Rumah Pohon Kesemek ini nggak kalah menggemaskan, lho. Rasanya bisa membangkitkan kembali jiwa kanak-kanak pada orang dewasa.

Namun, ada halaman-halaman ilustrasi tertentu yang teks gambarnya diambil dari paragraf utama (dengan font style berbeda), yang menurutku pribadi agak mengganggu pengalaman membaca. Mungkin karena aku harus membacanya secara berulang kali, ya? Terkait tata letak, @penerbitmai pasti punya alasannya sendiri.

Sempat baca di Goodreads, temuan saltik (yang kebanyakan kelebihan spasi) cukup membikin pembaca risi. Tapi tenang aja, katanya akan diperbaiki di cetakan selanjutnya.

Hal spesial lainnya: ada trivia dan catatan penerbit di “Ruang Teh” bisa kasih pembaca wawasan baru soal Jepang. Sukaaa! 

Raafi

Saya melihat buku ini “diampu” dengan baik dan hati-hati. Kalau melihat isi teksnya, buku ini mungkin tidak sampai 50 halaman. Ceritanya pun sederhana. Namun, adanya ilustrasi dengan layout ciamik serta beberapa catatan akhir yang menambah wawasan seputar Jepang menjadikan buku ini sungguh spesial.

Tak lupa pemilihan “para pekerja” termasuk penerjemah, ilustrator, dan penyunting buku ini sudah punya nama yang cukup populer, menjadikan buku ini terangkat dengan baik. Belajar banyak dari penerbitan buku ini!

Leave a comment