oleh: Andi Wicaksono
Pada suatu perkuliahan, pernah saya ditanyai oleh dosen perihal maksud dari puisi Dongeng Sebelum Tidur karya Goenawan Mohamad. Ketika itu, saya masih tak tahu benar maksud puisi tersebut. Maka, saya hanya bisa menjawab bahwa puisi tersebut mengisahkan Anglingdarma dan istrinya yang berakhir tragis.
Mendengar jawaban itu, dosen saya pun mengerutkan dahi. Tampak guratan rasa tak puas atas jawaban saya. “Cuma itu saja?” tanyanya. Ketika itu, saya hanya menunduk tak menjawab. Lantas, saya pun ditugasi untuk mempelajari kisah tentang legenda Prabu Anglingdarma.
***
Dongeng Sebelum Tidur
(Goenawan Mohamad)
“Cicak itu, cintaku, berbicara tentang kita. Yaitu nonsens.”
Itulah yang dikatakan baginda kepada permaisurinya, pada malam itu. Nafsu di ranjang telah jadi teduh dan senyap merayap antara sendi dan sprei.
“Mengapakah tak percaya? Mimpi akan meyakinkan seperti matahari pagi.”
Perempuan itu terisak, ketika Anglingdarma menutupkan kembali kain ke dadanya dengan nafas yang dingin, meskipun ia mengecup rambutnya.
Esok harinya permaisuri membunuh diri dalam api. Dan baginda pun mendapatkan akal bagaimana ia harus melarikan diri –dengan pertolongan dewa-dewa entah dari mana– untuk tidak setia
“Batik Madrim, Batik Madrim, mengapa harus, patihku? Mengapa harus seorang mencintai kesetiaan lebih dari kehidupan dan sebagainya dan sebagainya?’
***
Puisi di atas sebenarnya mengisahkan satu framen kehidupan rumah tangga Anglingdarma bersama seorang istrinya, Setyawati. Tentunya kita paham bahwa Anglingdarma adalah sosok raja yang sakti. Dan salah satu kesaktiannya adalah mampu memahami bahasa hewan. Namun, kesaktian itu harus dirahasiakan. Tak boleh seorang pun tahu, walaupun itu adalah istrinya.
Dalam fragmen tersebut, diceritakan bahwa pada suatu malam, Anglingdarma yang sedang bermesraan dengan istrinya memperhatikan percakapan sepasang cicak hingga membuatnya tertawa. Sontak istri tercintanya pun terkejut dan bertanya perihal tawa itu. “Kenapa baginda tertawa? Bukankah di kamar ini hanya ada kita berdua?”
Dengan spontan, Anglingdarma pun menjawab, “Cicak itu, cintaku, berbicara tentang kita ….” Belum selesai berbicara, dia tiba-tiba terdiam. Dia tersadar bahwa hampir saja ia membuka rahasia ilmunya. Maka, selanjutnya sang baginda pun berucap, “Yaitu nonsens.”
Mendengar jawaban itu, sang permaisuri justru semakin penasaran. Dia merasa ada sesuatu yang dirahasiakan oleh suaminya. Namun, sang suami tak juga mau membuka rahasia sehingga malam yang seharusnya berlangsung indah itu berubah menjadi dingin. Karena, nafsu di ranjang telah jadi teduh dan senyap merayap antara sendi dan sprei. Mereka saling diam.
Karena malam telah berubah tak kondusif, Anglingdarma pun angkat bicara dan meyakinkan istrinya dengan berkata, “Mengapakah tak percaya? Mimpi akan meyakinkan seperti matahari pagi.” Selanjutnya, Anglingdarma menutupkan kembali kain ke dadanya dengan nafas yang dingin, meskipun ia mengecup rambutnya.
Sang permaisuri pun tak mampu membendung air matanya. Malam itu, ia merasa telah disakiti oleh suaminya sendiri. “Inikah balasan dari kesetiaanku selama ini, duhai cintaku?” batinnya.
Alih-alih dilupakan, tampaknya rasa sakit itu masih dibawanya hingga terbitnya sang mentari. Karena merasa sangat tersakiti, permaisuri membunuh diri dalam api.
Melihat kejadihan pahit itu, sebenarnya Anglingdarma hampir saja ikut menyusul istrinya untuk terjun di dalam jilatan api (Dan baginda pun mendapatkan akal bagaimana ia harus melarikan diri –dengan pertolongan dewa-dewa entah dari mana– untuk tidak setia). Namun, niatan itu diurungkannya karena mendengar percakapan sepasang kambing yang berkata bahwa keputusan untuk ikut bunuh diri adalah satu keputusan konyol.
Akhirnya, Anglingdarma hanya bisa mencurahkan isi hatinya yang tak menentu itu kepada kawan dan sekaligus patih setianya, Batik Madrim. “Batik Madrim, Batik Madrim, mengapa harus, patihku? Mengapa harus seorang mencintai kesetiaan lebih dari kehidupan dan sebagainya dan sebagainya?”
Mendapat pertanyaan yang demikian, Batik Madrim hanya membeku, diam. Tampak kesedihan yang mendalam di raut wajahnya. Karena, permaisuri dari rajanya itu adalah adik kandung dia sendiri.

