Bapakku lahir pada tanggal 27. 07. 1937, terlahir dengan nama Adlis Ilyas, sebagian orang memanggilnya Inyiak Datuak, sebagian lagi mengenalnya dengan pak A.I sesuai inisial namanya. Beliau-lah yang menamaiku Adel, diambil dari awalan nama beliau sendiri.
[foto di atas adalah saat beliau diangkat menjadi datuk dengan gelar Datuk Palimo sekitar tahun 1968 setelah kakakku yang tertua lahir]
Kampung asal beliau adalah Birugo Puhun, sebuah kampung yang berada tepat di pinggir Ngarai Sianok. Jika terjadi gempa, kampung ini rawan bahaya. Tetapi semasa aku kecil jarang sekali terjadi gempa besar, sehingga bagiku birugo adalah kampung yang indah dan menyenangkan. Rumah gadang keluarga bako (keluarga bapak) berada di sebuah sudut yang strategis, di mana terdapat sebuah kolam ikan besar. Setiap pagi selasa dan jumat ada pasar kaget di pinggir kolam yang dikenal dengan sebutan Pasa Salaju (Pasa Salasa Jumat).
Sampai sekarang pasar dadakan itu masih dipertahankan. Aku lihat di kampung lain pasar semacam itu satu persatu menghilang, sejak mulai lancarnya jalur transportasi menuju pasar bawah. Aku bersyukur karena pasar tersebut adalah salah satu kesempatanku untuk bernostalgia. Sekedar membeli sebungkus lamang tapai dan mengingat-ingat tapak masa lalu bapakku di kampung Birugo Puhun.
Aku tidak bisa mengingat kakek karena beliau sudah tiada saat aku lahir. Aku hanya bisa mengingat Uwak saja, panggilanku pada nenek dari pihak bapak. Aku ikut memanggil beliau uwak, karena semua orang di kampung memanggilnya begitu. Uwak bertubuh kecil, terlihat ringkih tapi kuat dan ulet. Yang aku ingat, setiap kali datang aku harus makan masakan beliau. Nasinya selalu terhidang hangat karena disimpan dalam selimut tebal. Aku lumayan takjub mendapati wadah nasi bertutup rapat dan berselimut begitu. Karena di rumah Aur tak pernah ada aksi macam demikian.
Bapakku anak nomer empat, kakak beliau lelaki semua. Rumah gadang uwak nyaris tidak punya penerus karena belum hadirnya anak perempuan, sebagaimana yang selalu diharapkan dalam sistem matrilineal. Hingga akhirnya uwak melahirkan sampai enam kali dan kemudian hadirlah ‘tek Ros yang menyelamatkan garis keturunan uwak dari kepunahan. Namun rumah pusako uwak sampai sekarang tetaplah sepi tanpa penghuni, karena tek Ros dari saat menikah sudah dibawa suaminya ke Pekanbaru dan menetap di sana sampai punya anak cucu.
Keluarga bapak sebagian besar hidup dari berdagang, hanya beliau yang membelot sendiri dengan menjadi pegawai negeri. Pada masa tahun 1960-an memilih menjadi pegawai negeri adalah sesuatu yang tidak populer. Ibuku bilang gaji sungguh hanya pas-pasan, untuk makan saja yang kadang tidak cukup sampai sebulan. Jika berbelanja ke pasar para pedagang prihatin jika tahu yang berbelanja adalah pegawai negeri, karena uangnya cekak.
Dari cerita ibu juga bahwa pada zaman dulu untuk sekolah itu perlu perjuangan. Ingin melanjutkan sekolah ke tingkat SLTA biasanya ditentang orangtua, karena mereka butuh anaknya untuk membantu di pasar atau di sawah. Berbeda dengan sekarang, para orangtua ingin anaknya sekolah tinggi, tapi anaknya malah ogah²an. Aku bisa bayangkan perjuangan bapakku untuk terus sekolah pada zaman itu pastilah tidak mudah.
Aku hanya sebentar menikmati masa kecil bersama beliau, mungkin tak seperti sebagian besar dari kalian yang tumbuh dewasa bersama bapak. Di waktu yang sebentar itu ada yang aku ingat bahwa minat membaca aku dapat dari beliau. Berkat setumpuk buku ejaan lama koleksi beliau yang aku lahap saat masih SD, tanpa peduli bahwa itu bukan bacaan konsumsi anak-anak. Kesukaanku akan traveling juga berkat bapak. Bukan karena beliau sering mengajak wisata ke luar kota, kami jarang sekali bepergian jauh. Tapi minimal dua kali seminggu aku selalu bersiap mengikuti beliau dengan mobil dinas tua menelusuri kampung-kampung di kabupaten Tanah Datar untuk bertemu masyarakat desa. Sampai 12 tahun usiaku, kami berpindah tempat tinggal sampai empat kali [Sungai Tarab, Tanjung Emas, Pariangan, Salimpaung] sehingga aku punya daerah jelajahan yang cukup luas di empat wilayah itu.
Hasrat penjelajahanku tak berhenti meskipun beliau telah berpulang di usiaku yang masih anak-anak. Setelah kami sekeluarga pulang kampung untuk terus menetap di Bukittinggi, aku selalu mengusulkan kegiatan trekking menyusuri perkampungan di setiap kali ada kegiatan bersama teman sekolah. Bahkan pernah kubawa pasukan satu kelas dari Bukittinggi ke Tabek Patah, Salimpaung, lalu mendaki bukit di sana *sok iye sekali gak si.
Yang tidak aku dapat dari bapak (dan juga ibu) adalah kemampuan berbicara, meskipun dari kecil aku terbiasa melihat beliau berdua memberi penyuluhan tapi itu tidak membuat aku bisa seperti mereka. Aku memang tidak pemalu, tapi aku gagap dan suka telat mikir *penyuluhan dengan anak TK saja masih tidak lancar sampai sekarang.
Punya bapak seorang datuk juga sebuah nostalgia tersendiri. Sebagai pemimpin kaum, semua urusan adat di pihak bako (kaumnya bapak) harus di musyawarahkan dengan beliau. Dan yang menyenangkan bagiku adalah hantarannya, berupa makanan yang ditaroh di dalam mangkok bertutup trus dibungkus dengan taplak segi empat. Isinya bisa berupa pisang goreng, sarikaya, ketan kuning, wajik, dll. Jika lagi musimnya menikah, maka makin sering hantaran itu hadir di rumah kami. Tapi yang aku ingat bukan makanannya saja, jika ada keluarga besar bapakku yang berselisih paham, entah itu urusan tanah atau rumah tangga, bertengkarnya bisa berlanjut sampai di rumah kami.
Hal lain yang kuingat tentang bapak adalah kesukaannya bercocok tanam, beternak dan merokok. Kami pernah beternak puluhan ayam kampung dan juga itik yang dilepas ke sawah. Jika sudah sore itiknya dipanggil pulang ke kandang, sambil kami memeriksa rumpun rerumputan jikalau ada telur itik yang tertinggal di sana. Aku sering bertugas memberi makan itik berupa ubi jalar yang dipotong kotak-kotak kecil.
Sekarang, sudah bertahun jauhnya beliau berpulang ke Rahmatullah. Aku masih merasakan kehadiran beliau dari orang-orang sekeliling, yang masih terus mengenangnya. Bertugas di puskesmas sering mempertemukan aku dengan teman dan kerabat beliau yang datang berobat, yang berbinar-binar matanya jika mengetahui bahwa aku, si dokter gigi gaje ini ternyata adalah putrinya inyiak Datuk Palimo. *biasanya aku cuman cengengesan.
Alfatihah wat Apa..
