oleh: Siti Maryamah (FB Siti Maryamah 29 Maret 2018)
Suatu hari Ummi menunggu dalam mobil di parkiran sementara abahmu ke ke kantor pos memaketkan barang. Halaman parkir padat kendaraan dan sambil menunggu Ummi berkesempatan memperhatikan agak detil kerja si tukang parkir.
Sejak pake mobil, Ummi merasa lebih menghargai keberadaan tukang parkir, karena arahannya sangat membantu manuver kendaraan saat masuk dan keluar parkiran. Beda saat pake motor. Manuver motor yang simpel membuat kami jarang merasa memerlukan komando tukang parkir. Saat itu kurasa tukang parkir adalah sembarang orang yang mendekat saat kita hendak meninggalkan tempat.
Begitulah level kemanusiaan Ummimu sekarang Nak. Lebih menghargai baru hanya pada orang yang lebih dirasa berjasa. Nggak tahu kalo nanti sore. Semoga engkau nanti lebih baik ya.
Kembali ke si tukang parkir.
Tukang parkir depan Kantor Pos itu mengatur arus keluar masuk kendaraan dengan lincah. Menyambut kendaraan yang baru datang dengan ramah, lalu sigap mencarikan tempat. Mencarikan jalan bagi kendaraan yang akan keluar hingga bisa masuk ke jalanan dengan aman. Menerima ongkos parkir dengan ceria, ramah, dan menyiratkan rasa terimakasih yang dalam. Wajahnya berpeluh tapi tampak sangat bersemangat dan tulus. Pendeknya dia tampak antusias, energik dan bahagia menjalani pekerjaannya itu.
Mungkin itulah yang disebut para motivator sebagai orang yang bekerja dengan passion. Passion. Terdengar megah dan hebat bukan?
Lalu Ummi tiba-tiba membayangkan kedua orangtuanya.
Bahagiakah orangtua pak tukang parkir mendapati putranya bahagia menjadi tukang parkir? Gembira kah mereka melihat pak tukang parkir berpeluh dengan gembira? Banggakah pula anaknya punya ayah tukang parkir?
Lalu Ummi ingat padamu Nak. Di usiamu yang 9 tahun ini, kamu bercita-cita menjadi pelayan restoran. Iya, pelayan restoran.
Pertama kali mendengar itu Ummi hanya tertawa. Seingatku kau sudah beberapa kali berganti cita-cita.
Waktu masih balita, kau lihat rombongan bus-bus pariwisata yang megah mengangkut siswa SMP depan rumah kita, lalu kau pun bercita-cita jadi bos bis.
Lebih besar sedikit, kau pengin jadi dokter spesialis anak. Eh kalo yang ini Ummi ding yang mencita-citakan buatmu, hehe.
Gara-garanya sampai akhir kelas 1 SD kau belum bisa membaca, dan terpaksa tinggal kelas karenanya. Itu fakta yang mengejutkan banyak orang yang tahu tradisi prestasi di keluarga kita. Tapi Ummi tak terkejut sama sekali. Biasa aja keleus. Gitu kata anak sekarang.
Lalu Allah seperti menjawab getar kekhawatiran Ummi dengan menaruh sebuah koran bekas dalam jangkauan tangan saat Ummi sedang makan.
Di sana ada artikel tentang sosok dokter spesialis bedah konon terkenal yang lantas menarik perhatian Ummi.
Profil sang dokter dengan banyak prestasi dan jabatan penting itu tampak sangat hebat. Ada fakta yang sangat mengesankan yaitu bahwa sang dokter baru bisa membaca waktu kelas 5 SD. Fakta itu kugaris bawahi, kutempelkan dalam ingatan, dan menjadi satu-satunya fakta yang kuingat tentang sang dokter. ![]()
Aku bahkan sudah lupa siapa nama si dokter dan apa saja gelar dan jabatannya yang berderet itu. Wkwkwk.
Begitulah Nak. Daya ingat ternyata selektif. Ia hanya mengingat hal yang ingin diingatnya. Meski banyak hal kacrut tentang Ummi-mu ini, semoga ingatanmu cukup selektif untuk mengingat hanya hal-hal baik saja. Aamiin..
Kembali pada sang dokter. Setelah membaca profil sang dokter hebat itu, di hati Ummi membuncah harapan.
Ummi lantas berpikir jika belum bisa membaca saat kelas 5 SD bisa mengantarkan seseorang jadi dokter spesialis bedah, maka belum bisa membaca pada kelas 1 SD niscaya bisa mengantarkanmu jadi dokter spesialis anak. ![]()
Jadi kusimpulkan, kelak kau akan jadi dokter spesialis anak. ![]()
Itu kukatakan padamu berulang-ulang sehingga kau yang awalnya kesulitan menirukan kata ‘spesialis’ akhirnya pun terbiasa. Kalo ditanya orang – orang kau bilang bahwa cita-citamu adalah dokter sepesialis anak. ![]()
Begitulah Nak, cara Tuhan menghibur Ummi yang galau saat menyadari keistimewaanmu dibanding kakak-kakakmu. Tuhan mengaruniakan cara menarik kesimpulan dengan logika yang antah berantah macam begitu. ![]()
Begitulah konon cinta seorang ibu. Dia selalu bisa melihat harapan-harapan bahkan saat seluruh dunia sudah berputus asa.
Tetapi rupanya internalisasi cita-cita mulia itu kurang mengakar. Mungkin karena Ummi ketungkul jualan sehingga tak sempat membenam-benamkan itu di pikiranmu. Seiring waktu kau pun mengubah cita-citamu jadi pelayan restoran. Kau katakan itu berulang-ulang.
Setiap kita mampir ke warung makan langganan, kau akan memperhatikan para pelayannya bekerja. Membawakan makanan, menatanya di meja, mempersilahkan orang untuk makan, sampai membersihkan huru-hara yang ditimbulkan setelahnyanya. Di matamu itu mungkin semua itu tampak sangat mempesona.
Beberapa kali, ketika Ummi sedang berdiskusi dengan kakakmu tentang tempat idaman kuliahnya nanti, kau akan bilang, Haya pengin jadi pelayan restoran, trus kalo udah pulang tinggal bantu Ummi.
Aih, so sweet. ![]()
Sepertinya, Ummi tak perlu mencemaskan kemungkinan kesepian di hari tua, seperti mereka yang anak-anaknya sukses melanglangbuana tanpa sempat menengok masa renta orangtuanya.
Saat itu, jika fesbuk masih ada, mungkin beranda Ummi akan berisi cerita-cerita tentang pencapaian hebat dari anak-anak para mahmud jaman now yang sudah jadi nenek-nenek milenium. ![]()
Moms War sudah berevolusi menjadi Grandma’s War. ![]()
Semoga di saat para grandmas itu bercerita tentang anak dan cucunya yang melanglang buana karena pekerjaannya berhubungan dengan segala hal-hal hebat di atas sana, Ummi bisa tetap berbahagia dengan memamerkan gambarmu yang sedang bahagia membawa nampan untuk melayani orang-orang.
Huwaaaa…![]()
Ummi mungkin perlu berdoa dari sekarang, agar tombol sok bijak yang sedang on hari ini, bisa tetap on sambil berevolusi jadi tombol beneran bijak di hari nanti.
Life isn’t a race. Just enjoy your pace, my lovely daughter.


Masih tentang cita-cita dan passion.
Ummi tahu, tak perlu terlalu risau memikirkan apapun cita-citamu sekarang. Perjalananmu (semoga) masih panjang. Mungkin besok kau akan terpesona dengan Thanmay Bakhsi lalu segera mengubah cita-cita dari pelayan restoran jadi youtuber, scientists dan pakar artificial intelligence. Tak jadi soal Nak.
Bagi Ummi, terpesona pada Thanmay itu setidaknya menunjukkan satu hal. Penglihatanmu normal. Jadi Ummi belum perlu memikirkan biaya periksa ke dokter mata. Alhamdulillah. Segala hal yang menolong keselamatan isi dompet, emang harus disyukuri dalam-dalam. ![]()
Ummi sendiri dulu punya banyak cita-cita.
Waktu kecil, Ummi pernah bercita-cita jadi insinyur pertanian, setelah nonton sebuah acara di TVRI. Gara-gara liat gambar cabe yang ranum-ranum segar cemeplus gitu doang, satu cita-citapun terpancang.
Tapi cita-cita itu kandas karena gelar insinyur kemudian ditiadakan. Para pengambil kebijakan yang ada di awang-awang itu jelas tak tahu fakta betapa kebijakan sepele itu telah mematahkan cita-cita mulia seorang anak. ![]()
Setelah cita-cita pertama itu kandas, Ummi bergonta-ganti cita-cita. Entah apa saja. Ummi bahkan hanya mengingat salah satunya, yaitu diplomat.
Cita-cita inipun gagal karena diplomat berubah dari profesi menjadi merk rokok. Ummi tak sudi jadi merk rokok.
Kedua alasan barusan membuat Ummi tersadar, darimana ketrampilan ngeles kalian berasal. ![]()
![]()
![]()
Dari sekian banyak cita-cita Ummi itu Nak, tak satupun yang tercapai. Huwaaaa. ![]()
![]()
![]()
Sekarang kau tahu, jika Ummi mendorongmu untuk menggapai cita-cita, itu Ummi sesungguhnya sedang berbicara dengan siapa. ![]()
![]()
![]()
Begitulah. Jujur dan berwibawa emang susah jalan bersama. ![]()
![]()
![]()
Tapi ngomong-ngomong, mumpung kalian masih bocah, kalian boleh gonta-ganti cita-cita sesering bernafas. Tidak ada biaya apapun untuk ritual itu. Beda jika kalian nanti sudah dewasa. Mengganti cita-cita itu bisa makan banyak biaya.
Nanti Ummi ceritakan sebab-sebabnya. Sekarang tenang-tenang lah dulu. Belanda masih jauh. ![]()
![]()
![]()
