Koridor, Renungan A. Mustofa Bisri

ditulis oleh: Den Mas (tahun 2010)

 

Buku ini adalah buku yang masuk kategori istimewa bagi saya. Pertama, karena buku ini adalah kiriman dari Kyaine Padeblogan. Lebih istimewa lagi karena saat saya sudah jarang melakukan blog walking, tiba-tiba Kyaine mengirimi buku ini. Bisa jadi ini adalah suap agar saya blog walking lagi hehehe…

Yang kedua, buku ini menemani perjalanan saya selama satu minggu penuh, dari Jogja – Jakarta – Batam – Tanjung Pinang – Natuna – Batam – Jakarta – Jogja dan selesai pada penerbangan terakhir Jakarta – Jogja.

Ada kejadian menarik ketika saya sedang di ruang tunggu bandara Adisucipto Jogja. Seorang bapak-bapak yang berasal dari Medan meminjam buku ini, dibolak-balik sebentar, dibaca satu artikel, lalu menyatakan keinginannya untuk memiliki buku ini. Bahkan, sang bapak menawarkan uang sebagai ganti. Saat itu saya panik, karena tiba-tiba saja bapak tersebut sudah memasukkan uangnya ke saku saya.

Yang membuat saya bingung adalah, buku ini adalah pemberian, yang berarti amanah untuk menjaganya. Sementara di sisi lain, saya justru senang ada orang yang tertarik dengan buku ini. Buku ini bagus, ditulis oleh Gus Mus yang penuh dan sarat dengan makna dan nilai-nilai kesederhanaan. Jika dibaca oleh orang lain, setidaknya saya juga kecipratan pahala karena sudah terlibat dalam urusan kebaikan hehehe… Tapi toh akhirnya saya memilih mempertahankan buku ini dengan alasan, ini amanah dan saya harus menjaganya (sok amanah 😀 ).

Buku ini unik, karena isinya adalah kata pengantar yang ditulis oleh Gus Mus di buku-buku lain. Oleh editor, buku ini dibagi menjadi lima kategori; (1) Sang Khalifah, (2) Cinta dan Syair, (3) Gembong dari Lasem dan Kiai Politisi, (4) Takdim dan (5) Pelita Kalbu.

Sebagaimana tulisan-tulisan Gus Mus yang lain, isi buku ini juga sederhana, namun sarat makna. Yang membedakan buku ini dengan buku-buku yang lain di antaranya adalah cerita Gus Mus tentang kiai dan tokoh yang beliau kenal. Kiai Hamid Pasuruan yang diceritakan dalam tulisan berjudul Kiai Hamid Bukan “Wali Tiban” misalnya, diceritakan dalam perspektif yang sangat personal. Berikut petikan yang saya ambil dari buku;

“Pernah suatu hari saya sowan ke kediaman beliau di Pasuruan. Berkat ‘kolusi’ dengan Gus Nu’man, saya bisa menghadap langsung empat mata di bagian dalam ndalem. Saya melihat manusia yang sangat manusia yang menghargai manusia sebagai manusia. Bayangkan saja, waktu itu ibaratnya beliau sudah melupakan punjer-nya tanah jawa, dan beliau mentasyjie’ saya agar tidak sungkan duduk sebangku dengan beliau. Ketawadluan, keramahan, dan kebapakan beliau, membuat kesungkanan saya sedikit demi sedikit mencair.”

Ketika beliau bercerita tentang K.H. Bisri Mustofa, yang notabene ayahanda beliau sendiri, banyak nukilan menarik. Dalam menulis misalnya, nukilan percakapan sang ayahanda dengan Kiai Ali Maksum Krapyak berikut ini membuat saya tersindir,

“Kalau saya, menulis dengan niat nyambut gawe. Etos kerja saya dalam menulis sama dengan penjahit. Lihatlah penjahit itu. Kalaupun ada tamu, penjahit tidak akan berhenti menjahit. Dia menemui tamunya, sambil terus bekerja. Soalnya, bila dia berhenti menjahit, periuknya bisa ngguling. Saya juga begitu. Kalau belum-belum sampeyan sudah niat yang mulia-mulia, setan akan mengganggu sampeyan dan pekerjaan sampeyan tidak akan selesai. Nanti kalau tulisan sudah jadi dan akan diserahkan kepada penerbit, baru kita niati yang mulia-mulia, linasyril ‘ilmi atau apa. Setan perlu kita tipu.”

Ada tulisan yang mengharukan, dan benar-benar menyentuh (setidaknya bagi saya), yakni ketika Gus Mus memberi pengantar yang berjudul Sang Teladan Yang Penuh Perhatian. Beliau memberi pengantar dalam buku Dokternya NU, buku yang diterbitkan untuk mengenang tokoh Dr. Fahmi Dja’far Saifuddin, salah satu tokoh yang habis-habisan membantu NU berbenah. Salah satu hasil sentuhan tangannya yang monumental adalah Khittah NU. Saya belum bisa menukilkan satu kalimat pun, karena tidak pernah bisa representatif terhadap artikel ini (saking mengharukannya).

Banyak, banyak sekali hikmah yang bisa diambil dari buku ini tanpa merasa digurui. Bahkan, saya ingin membeli satu buku lagi untuk kakak saya, yang saat ini sedang menyusun draft dan tulisan untuk membuat blog (semoga saja akhir bulan ini bisa release, mohon doa dari rekan-rekan semua). Akhir kalam, saya mengutipkan tulisan pada sampul belakang pada buku ini sebagai penutup artikel tamu di Ladang Jiwa ini,

“Buku ini layak dibaca bagi siapa saja yang ingin mengenal lebih dekat pemikiran – pemikiran A. Mustofa Bisri dan mengetahui apa saja yang telah dilihat dengan mata hatinya.”

Yogyakarta, 20 April 2010

Leave a comment