Oei Hong Kian | Kenangan Merawat Gigi Bung Karno di Saat-saat Akhir

Saya mengira hubungan dengan BK telah berakhir. Menurut berita burung yang saya dengar, kesehatan BK menurun drastis. Ingatannya lemah, jalannya pincang.

Tiba-tiba sekitar awal September 1967, dokter pribadi BK memberitahu bahwa BK ingin berobat lagi. Ia akan datang ke rumah saya. Dokter pribadi itu berpesan agar saya memperhatikan keamanan. Tapi, apa yang bisa dilakukan seorang dokter gigi untuk melindungi keamanan pasiennya?

Saya memutuskan agar BK memasuki rumah lewat pintu samping. Kedua mobil saya akan dikeluarkan dari garasi, lalu pintu garasi akan dibuka lebar-lebar. Begitu mobil BK masuk ke garasi, pintunya akan ditutup.

Pukul 08.45 keesokan harinya, seorang prajurit datang mengendarai jip militer. Ia menyetujui prosedur yang saya tawarkan. Tepat pukul 09.00 BK tiba dengan sedan Mercedes 600, diiringi lima jip putih penuh prajurit. Cuma tidak ada raungan sirene, dan fungsi pengawalannya sudah berbeda. Bung Karno duduk di bangku belakang yang sangat lapang, tetapi tanpa ajudan. Celananya abu-abu, bajunya putih berlengan pendek dan dibiarkan keluar. Peci hitam tidak ketinggalan. Ia kelihatan sehat walafiat. Dengan gesit, tanpa bantuan, ia keluar dari mobil.

“Selamat pagi, Pak Dokter,” sapanya sambil mengulurkan tangan. “Tidak disangka-sangka, ya, kita akan bertemu lagi dalam waktu secepat ini. Ini, gigi saya ada yang terganggu. Bagaimana, baik-baik semua?” Sikapnya biasa saja, seolah-olah tidak ada sedikit pun ganjalan di dalam hati.

_______________________________

Bung Karno memerlukan dua-tiga kali kunjungan setiap kali merasa giginya terganggu. Suatu saat ia berkata, “Saya ingin bicara blak-blakan. Saya ingin tinggal agak lama sedikit di Jakarta. Di Jakarta saya lebih dekat dengan anak-anak. Mungkinkah itu?”

Setahu saya, saat itu BK tinggal di Bogor. Tetapi kalau sedang membutuhkan perawatan, ia tinggal di Wisma Yaso (Museum ABRI Satria Mandala) di Jln. Gatot Subroto, Jakarta. Dari situ BK hanya boleh pergi-pulang ke rumah saya.

Saya menjawab, “Tentu mungkin, Pak. Waktu pengobatan bisa diulur. Seandainya diulur tiga minggu, cukup Pak?” Ia kelihatan gembira sekali. “Wah, terima kasih banyak!” Saya terharu karena hal kecil saja bisa membuat bahagia bekas presiden yang sedang kesepian itu.

Selama lebih dari setahun merawat gigi BK, kami tak pernah membicarakan soal politik. Suatu kali BK bertanya di mana Profesor Ouw, dokter giginya sebelum saya, berada. Saya mengatakan, dia di Hong Kong. Bung Karno tidak mengerti mengapa ia pindah ke sana. “Itu karena Bapak,” kata saya. “Saya disalahkan lagi,” ia menanggapi. “Ya. Bapak mengangkatnya jadi anggota DPA. Ketika mahasiswa mulai bergolak, ia takut dan cepat-cepat pergi.” “Namun ia toh bisa pamit. Atau paling sedikit bisa menulis surat,” BK ngotot. Saya hanya bisa mengatakan bahwa orang itu takut.

_____________________________

Dua anak saya sedang menuntut ilmu di Universitas Amsterdam. Tak lama lagi kedua adiknya akan menyusul. Jadi saya hanya akan berdua dengan istri di Jakarta. Daripada terpisah-pisah, lebih baik pindah saja ke Amsterdam.

Ketika BK datang pada bulan Februari 1968, saya beritahukan rencana kami untuk pindah pada akhir Maret. Bung Karno menanggapi, “Tidak perlu menjelaskan kepada Bapak apa artinya kesepian. Bapak mengerti. Tapi kita masih akan berjumpa beberapa kali lagi, ‘kan?”

Pertengahan Maret BK menyatakan ingin pulang ke Bogor. Padahal saya akan memasang tambalan emas pada giginya. Kami berjanji akan bertemu untuk terakhir kalinya 21 Maret 1968. Ternyata antara tanggal 21-30 Maret 1968 ada Sidang Umum MPRS. Saya diberitahu pihak berwajib bahwa BK tidak bisa datang pada tanggal itu.

Ternyata pada hari-hari berikut pun BK tidak datang. Padahal tanggal 30 Maret saya harus berangkat. Terpaksa pemasangan tambalan emas pada gigi BK saya percayakan kepada rekan sejawat. Walaupun setelah itu paling sedikit sekali setahun saya pulang ke tanah air, saya tidak pernah melihat BK lagi.

_______________________________

Oei Hong Kian menggambarkan bahwa kesedihan dan penderitaan bagai tak terlihat dalam diri Bung Karno di akhir kekuasaannya. Tetap ramah dan sederhana, tanpa pernah marah.

Catatan selama beberapa bulan merawat gigi Bung Karno sejak awal 1967 ini memang pernah ditulis drg. Oei Hong Kian dalam majalah Intisari edisi bulan Oktober 1988. Inilah terjemahan yang dikutip dari memoarnya yang diterbitkan dalam bahasa Belanda, Kindvan het Land: Peranakan-Chinezen in Drie Bulturen (Indonet,1998).

Sebuah cermin kecil yang menampilkan sekelumit kehidupan seorang pemimpin besar bangsa Indonesia setelah masa jayanya berlalu .

note: Aku tidak memiliki buku tersebut, tetapi masih menyimpan Intisari edisi Juli 2000 yang memuat ulang cerita di atas. Teriring doa semoga Allah SWT senantiasa melapangkan jalan bagi beliau, Bapak Proklamator yang tanpa lelah terus mengobarkan bara semangat bangsanya untuk lepas dari kerangkeng penjajahan.

Leave a comment