*tulisanku tahun 2009

Semalam disuguhi Le grand voyage oleh MetroTV. Bagi kami penghuni kampung yang kebanyakan tak berlangganan tv kabel, tentu saja mau tak mau menikmati program tv yang seadanya. Bersyukur ada MetroTV yang senantiasa putar film-film bagus, walau hanya malam minggu saja.
Kisah perjalanan ayah dan anak menuju tanah suci mekah, menurutku yang ditampilkan oleh film ini adalah hubungan yang sangat kaku antara ayah dan anak. Tak banyak dialog, entahlah mungkin karena aku tak berayah lagi, merasa seharusnya bisa lebih hangat.
Diawali dengan Reda yang kesal karena harus mengantar ayahnya dengan menggunakan mobil, seharusnya perjalanan itu bisa ditempuh dengan pesawat terbang. Tapi sang ayah punya prinsip bahwa setiap perjalanan panjang adalah proses memurnikan diri, dia mencontohkan air laut yang meninggalkan garam dalam perjalanannya menuju langit *smoga aku tak salah paham, begitulah kira-kira.
Jadi beliau memilih perjalanan dengan mobil daripada pesawat karena yakin perjalanan panjang itu akan membuang ‘garam-garam’ dalam diri mereka.
Mungkin karena latar kehidupan berbeda dengan di sini, dalam cerita ini diperlihatkan sang ayah yang tak pernah lalai sholat, sedangkan reda tak pernah ikut menunaikan sholat. Dan ayahnya juga tak sekalipun mengajak Reda untuk sholat. Yang sering aku lihat di bukik, orangtua biasanya ngomelin anaknya yang lalai dalam menunaikan sholat, tapi memang ada saja anak yang tak menuruti ajakan orangtuanya.
Perjalanan yang penuh kemarahan, bergantian amarah antara ayah dan anak ini. Menarik sewaktu Reda berteriak pada ayahnya, “tidakkah diajarkan untuk memaafkan dalam agamamu?” yang langsung membuat ayahnya tersentak.
Membuatku luluh, adalah setelah mereka sampai di tanah suci. Redha menunggui ayahnya menunaikan haji dan setelah beberapa hari menemukan ayahanda sudah tiada. Adegan dia menangis dan memandikan ayahnya, sungguh berkesan bagiku. Mungkin juga karena lagu pengiring itu, suara perempuan yang sangat indah dan pilu.
Perjalanan itu sebenarnya adalah perjalanan milik Reda. Perjalanan panjang serta pahit, yang ternyata dibutuhkan Reda agar kelak bisa seperti air laut. Menuju langit dengan membawa dirinya yang sejati. Tanpa garam.
______________________________________________________
berikut ini, review oleh: Hani Rai (Kompasiana 2022)
Film 2004 besutan sutradara Ismael Forroukhi dan produser Humber Balsan ini membawa kita untuk menyelami hidup lewat perjalanan darat melintasi Eropa – Timur Tengah menuju Mekah.
Film berdurasi 1 jam 40 menit berbahasa Perancis dan Arab Maroko ini memberi nuansa lain dalam memahami agama serta hubungan ayah dan anak lelakinya.
Lebih Dekat Kala (Dipaksa) Bersama
Film diawali adegan Khalid dan Reda, kakak beradik imigran Maroko di Aix-en-Provence, Perancis, yang mencari pintu mobil untuk mobil lawas mereka. Pintu berwarna orange pun menambal mobil bercat biru. Sang ayah yang merasa sudah saatnya berhaji, meminta anak lelakinya mengantar ke Mekah.
Rencana pun berubah, saat SIM Khalid dicabut polisi karena melanggar lalu lintas dan mabuk. Akhirnya Reda, anak kedua yang akan ujian Baccalaureat, terpaksa didapuk menggantikan kakaknya.
Perbedaan sikap dan pola pikir antara anak (diperankan Nicolas Cazale) dan ayah (diperankan Mohamed Majd) disatukan dalam frame mobil dengan tasbih tergantung di kaca spion dan perjalanan lintas negara. Ayah berpakaian rapi, mengenakan jas dan peci hitam, sementara sang anak berkostum jeans dan kaos oblong. Reda yang berbicara Bahasa Perancis, sementara ayahnya cenderung bicara Bahasa Arab.
Melintasi Perancis, Italia, Slovenia, Kroasia, Yugoslavia, Bulgaria, Turki, Suriah, Yordania hingga berujung ke Arab Saudi, film ini tak banyak mengeksplorasi keindahan negara yang dilewati. Sutradara hanya sedikit memberi clue tentang perubahan lokasi lewat pemeriksaan dokumen (paspor dan visa) di perbatasan negara.
Adapula keunikan pertukaran uang money changer manual, komunikasi lintas bahasa di Bulgaria, dan misteriusnya ibu tua berpakaian hitam yang menumpang mobil di pecahan Yugoslavia. Ujungnya, mereka terkurung salju dan kedinginan di mobil. Sang ayah pun dilarikan ke rumah sakit.
Sedikit pemandangan indah Blue Mosque dan Hagia Sofia di Turki menjadi warna dalam film ini, meski ternoda oleh Mustapha (diperankan Jacky Nercessian), penerjemah bahasa.
Insting seorang ayah sangat kuat kala menolak tawaran orang asing, sementara Reda tampil labil. Emosi pun meningkat kala Reda dan Mustafa minum bir dan berujung kegaduhan di pagi hari kala uang mereka lenyap. Insiden di Yordania turut memperburuk keadaan Reda kembali mabuk.
Pertanyaan menggelitik muncul kala Reda bertanya, “Apakah tidak ada maaf di agamamu?”
Emosi kembali meruncing kala sang bapak memberi derma pada perempuan di dekat tempat air, sementara anaknya kelaparan di jalan. Dan ayah pun membelikan seekor domba karena Reda ingin makan daging. Sayangnya hewan ini berhasil kabur saat akan disembelih.
Namun di antara perbedaan pola pikir tersebut ada ‘kedekatan’ yang coba dibangun, manakala sang ayah menyiapkan makan, membelah roti, mengupas telur, ataupun menuangkan minuman untuk anaknya. Kalau di Indonesia, kejadiannya akan sebaliknya.
Anak Bertanya pada Bapaknya
Jika Bimbo menonton film ini, mungkin akan menyanyikan lagu klasik ‘Anak bertanya.’ Sang bapak selalu beribadah di segala kondisi. Sholat di rumput dekat pos perbatasan, di pinggir jalan, hingga di padang pasir. Bahkan saat terbaring di rumah sakit, ayah minta diambilkan al Quran. Sementara, Reda galau dengan menggoreskan nama pacarnya di pasir.
Pertanyaan mengusik tentang hakekat perjalanan mengemuka kala mereka berhenti di pinggir jalan. “Mengapa musti naik mobil ke Mekah, bukannya naik pesawat saja ?”
Dengan tenang ayah menjawab, “Air laut yang berevaporasi menjadi awan mengalami pemurnian. Begitu juga perjalanan ini.” Lebih baik berjalan kaki daripada berkuda, lebih baik berkuda daripada naik mobil. Lebih baik bermobil daripada naik kapal, dan lebih baik naik kapal daripada naik pesawat.
Saat di padang pasir, kehabisan air dan sang ayah mengambil tayamum untuk sholat, Reda makin gusar dan tak paham, “Mengapa kita musti berpeluh menempuh perjalanan panjang ke Mekkah ?”
Sang ayah dengan sabar menjelaskan, “Mekah merupakan tempat suci umat muslim untuk meneladani sejarah Ibrahim.
Haji merupakan rukun Islam. Selagi ada kesempatan sebelum mati, ayah ingin beribadah haji.” Percakapan ditutup dengan ayah yang berterima kasih pada anaknya atas perjalanan ini.
Kebersamaan dalam Perjalanan Suci
Di Kalimantan Selatan, ada acara Haul Guru Sekumpul. Acara ini untuk memperingati wafatnya Kyai Muhammad Zaini Abdul Ghani atau Guru Sekumpul. Menjelang 5 Rajab, orang-orang berpakaian putih dari penjuru Kalimantan akan bergerak menuju Martapura, Kalimantan Selatan.
Tua muda, laki-laki perempuan berombongan mobil dan motor sembari dipasang tulisan : Rombongan Haul Guru Sekumpul. Hari kerja pun bisa jadi libur karena banyaknya karyawan yang cuti untuk mengikuti acara ini. Aura kebersamaannya sangat terasa, bahkan di banyak titik perjalanan disediakan rest area untuk makan minum gratis.
Kebersamaan dalam perjalanan Le Grand Voyage ditunjukkan manakala Reda dan ayahnya bertemu rombongan jamaah haji dari Sudan, Turki, Kairo, dan Lebanon. Rombongan mobil berhenti untuk memastikan kondisi kala Reda jeda sejenak.
Mereka rehat makan bersama, sholat jamaah di padang pasir, hingga mencarikan tempat parkir. ‘Hawa haji’ makin terasa kala muadzin melantunkan adzan di atas mobil dan jamaah bersiap memakai kain irham. Kain putih tanpa jahitan dililitkan ke tubuh jamaah laki-laki untuk menuju Masjidil Haram. Kemudian lantunan ‘Labbaik allahumma labbaik….’ membahana.
Ternyata shooting adegan haji di Masjidil Haram memang sungguh dilakukan di tempat suci ini. Orang dari berbagai negara tunduk dan berkumpul dalam ibadah.
Ini termasuk hal langka, film produksi Perancis-Maroko (Ognon Pictures – Arte France Cinema – Gimages Films – Soread 2M – Casablanca Film-Les Films du Passage) ini berhasil menembus perizinan Arab Saudi karena tidak semua pihak diperbolehkan syuting atau mendokumentasikan aktivitas haji.
Perjalanan darat untuk naik haji dari Eropa yang spontan, seolah menafikan kita, muslim Indonesia yang antri mendaftar haji. ONH yang terus naik dan jadwal keberangkatan sekian tahun ke depan. Sementara, untuk Reda dan ayahnya, bisa berhaji mandiri : cukup naik mobil saja !
Film ini menunjukkan perbedaan generasi pertama dan generasi selanjutnya imigran Maroko di Aix- en-Provence, Perancis. Mirip di tanah air, para tetangga berkumpul di depan rumah kala Reda dan ayahnya hendak memulai perjalanan.
Dengan ending tak tertebak, emosi penonton diajak meningkat di akhir. Inilah ciri khas film non Hollywood (Perancis) yang sangat manusiawi, tidak mengumbar emosi berlebihan, gambar muram, dan plot yang lambat.
Di film ini, tiap karakter yang mewakili generasi saling berdialog, tanpa kekerasan, dan menemukan jalannya sendiri. Le Grand Voyage mengajak kita merenung dan memilih jalan tujuan hidup yang transenden maupun duniawi, ke arah mana jalan kita nanti ?
