Terbang Jauh

freepik

oleh: Hasanudin Abdurakhman

Dulu saya rutin bekerja sebagai relawan almamater saya Tohoku University saat kampus itu pameran untuk merekrut mahasiswa di Jakarta. Saya jadi pemandu stand pameran. Dengan senang hati saya menyemangati anak-anak muda yang datang, agar gigih berjuang mewujudkan mimpinya.

Saat saya berkunjung ke kampus 10 tahun yang lalu, saat sedang jalan, ada yang memanggil saya. Kaget saya. “Saya dulu ketemu Bapak di pameran. Saya sekarang jadi mahasiswa di sini. Terima kasih atas dorongan motivasi yang Bapak sampaikan dulu,” katanya. Saya ikut senang dengan keberhasilannya.

Dalam suatu kesempatan di pameran itu ada seorang ibu yang bertanya. “Pak, lulusan jurusan ini apa bisa kerja di Indonesia?”

“Bu. Kalau anak Ibu sudah kuliah di Jepang, mind set-nya jangan lagi dipagari dengan harus kerja di Indonesia. Biarkan dia jadi pekerja global.” Anaknya cengar-cengir, merasa mendapat dukungan. “Tuh, kan, Ma.”

“Tapi saya kan nggak mau pisah sama anak saya,” kata si ibu ngeyel.

“Ya udah, ibu jadi ibu global juga. Pindah ke Jepang,” kata saya bercanda.

Istri saya sudah mulai minta saya beli rumah di dekat rumah kami. Buat anak-anak, katanya. Dalam bayangan dia, di hari tua, anak-anak bekerja dan tinggal di dekat kami. Suatu hari dia melayat orang tua temannya yang meninggal. “Enak banget, anaknya tinggal tak jauh dari orang tua. Kalau ada apa-apa gampang,” katanya.

“Ya tapi kan bapaknya mati juga,” kata saya sengak.

Saya sama sekali tak menginginkan, tak meminta anak-anak saya hidup dalam lingkungan saya. Dua anak saya yang sedang kuliah saya plot untuk bekerja di luar negeri. Tak perlu mereka memikirkan saya.

Waktu mereka masih kecil, saya sediakan waktu cukup untuk bersama mereka. Di satu sisi, saya tunaikan kewajiban saya merawat dan menyayangi mereka. Di sisi lain, saya nikmati kebersamaan itu. Jadi, saya sudah puas. Saatnya mereka harus menjalani hidup sendiri, saya beri kesempatan untuk pergi sejauh-jauhnya. Bila diperlukam, saya modali.

Leave a comment