Tragedi berulang galodo menjadi refleksi kritis tentang stagnasi upaya pencegahan dan mitigasi bencana.

Petugas bersama warga membersihkan material bekas banjir bandang atau galodo di Nagari Bukik Batabuah, Kecamatan Candung, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, Selasa (14/5/2024). Pemerintah daerah setempat telah menetapkan masa tanggap darurat bencana selama dua pekan sejak 12 Mei 2024.
Laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Selasa (14/5/2024) menyebutkan, korban jiwa akibat bencana banjir bandang dan longsor Marapi mencapai 50 orang, 27 orang hilang, dan 37 orang luka-luka, dan 3.396 orang mengungsi.
Kepala BNPB Suharyanto mengatakan, data korban akan berkembang terus. Tim tanggap darurat saat ini masih fokus pada pencarian korban hilang.
”Basarnas punya golden time di 6×24 jam. Kita akan tetap upayakan mencari sampai ketemu apabila ada pihak keluarga atau ahli waris yang minta tetap dicarikan, ya, kita harus cari,” ujar Suharyanto.
Selain pencarian korban, penanganan darurat yang dilakukan di antaranya pemulihan akses jalan darat dari daerah terdampak dengan alat berat, pembersihan material longsor. Bencana galodo kali ini mengakibatkan jalan Padang-Bukittinggi terputus.
Upaya tanggap darurat yang cepat ini patut diapresiasi sebagai bentuk kemajuan dari manajemen bencana di Indonesia setelah lahirnya Undang-Undang (UU) No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang di antaranya mengamanatkan pembentukan BNPB.

Meski demikian, jika dilihat dari dampak bencana kali ini, terutama dari besarnya jumlah korban dan dampak kerusakan, kita belum melihat adanya kemajuan dalam upaya pencegahan dan mitigasi. Sebagai perbandingan, besaran korban banjir bandang di Sumbar kali ini menyerupai tragedi galodo Marapi pada 29 April 1979 yang menewaskan 60 orang dan 19 orang hilang.
Sebagian besar korban jiwa ini berasal dari desa-desa yang berdekatan dengan aliran sungai yang berhulu di Marapi. Banjir bandang yang membawa bebatuan atau kerap disebut sebagai galodo itu menerjang permukiman saat malam sehingga membuat banyak orang kesulitan menyelamatkan diri.
Caspin (39), penyintas bencana dari Nagari Bukik Batabuah, Kecamatan Candung, Kabupaten Agam, mengatakan, banjir bandang itu melanda kampungnya pada Sabtu (11/5/2024) pukul 22.45 WIB. Sebelumnya, hujan turun sejak maghrib dan semakin deras sekitar 1,5 jam sebelum kejadian.
Upaya pencegahan dan mitigasi masih dianggap beban sehingga tidak dijalankan dengan sungguh-sungguh.
”Saat air sudah besar, ada warga kasih tahu untuk mengungsi. ‘Air besar, pergilah mengungsi, keluar dari rumah,’” kata Caspin menirukan ucapan warga tersebut.
Dia bersama istri dan tiga anaknya keluar rumah sekitar pukul 22.30 WIB. Waktu itu listrik padam dan permukiman sudah digenangi aliran air deras setinggi betis. Caspin berhasil selamat, tetapi empat kerabatnya meninggal.

Refki Amelia (42), penyintas lainnya, selamat karena mengungsi ke lantai dua rumahnya. Ia bersama suami, tiga anak, dan satu keponakannya terjebak di lantai dua ruko selama dua jam pascakejadian. Sementara itu, ruangan lantai satu rumah jebol dihantam galodo.
”Tidak ada pemberitahuan mengungsi. Pemberitahuan baru ada beberapa saat sebelum kejadian. Hitungan detik sejak itu, tiba air bah menghantam rumah,” kata Refki.
Sekalipun banjir bandang ini datang tiba-tiba, ancaman bahaya seharusnya bisa diantisipasi sejak dini. Kondisi bebatuan yang rapuh, kelerengan terjal, dan timbunan material vulkanik pascaerupsi membuat daerah aliran sungai yang berhulu di Gunung Marapi rawan mengalami banjir lahar hujan. Kemudian, terjadi longsor saat terjadi hujan deras di puncak.
Banjir lahar itu juga pernah terjadi pada 5 April 2024. Sekalipun banjir saat itu tidak menimbulkan korban jiwa, dampaknya merusak persawahan, pekarangan, dan infrastruktur.
Hal itu seharusnya menjadi alarm bahaya untuk membangun kesiapsiagaan. Seperti pernah terjadi pada 1979, skala banjir bandang dan longsor dari Marapi bisa terjadi dalam skala lebih luas dan mematikan. Berdasarkan bencana saat itu dan catatan sejarah galodo, Kompas telah menulis mengenai ancaman bahaya kolateral dari Marapi ini pada 7 April 2024.
Ketua Pusat Studi Manajemen Bencana Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta Eko Teguh Paripurno mengatakan, banyaknya korban dalam bencana banjir lahar di Sumbar kali ini menunjukkan paradigma penanggulangan bencana di Indonesia yang masih fokus pada tanggap darurat setelah kejadian.
”Upaya pencegahan dan mitigasi masih dianggap beban sehingga tidak dijalankan dengan sungguh-sungguh,” katanya.
Lemahnya kesiapsiagaan bencana
Mengacu UU No 24 Tahun 2007, penanggulangan bencana di Indonesia seharusnya meliputi upaya prabencana dan pascabenana. Tahap prabencana, yang meliputi pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan dan peringatan dini, merupakan kunci bagi pengurangan risiko bencana, terutama dalam meminimalkan korban.
Pencegahan (prevention) dimaknai sebagai upaya untuk mencegah terjadinya bencana—jika mungkin—dengan meniadakan ancaman bahaya. Terkait ancaman banjir lahar hujan gunung api, pencegahan bencana yang bisa dilakukan di antaranya dengan menjaga hutan, mencegah penambangan di lereng, hingga penguatan infrastruktur di titik rawan longsor.

Ekskavator mengeruk sungai pascabanjir bandang atau galodo di Nagari Bukik Batabuah, Kecamatan Candung, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, Selasa (14/5/2024). Normalisasi sungai menjadi penting untuk mencegah bencana susulan yang dipicu banjir lahar hujan dari material erupsi Gunung Marapi.
Mitigasi (mitigation) bisa dimaknai sebagai upaya mengurangi risiko bencana baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kapasitas menghadapi ancaman bahaya. Bentuk mitigasi ini, antara lain, penataan ruang, tata bangunan, hingga pendidikan tentang kebencanaan.
Dalam kasus Marapi, salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah menjauhkan hunian dari Kawasan Rawan Bencana (KRB) I-III. Mengacu KRB I Marapi, yang disusun Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), daerah bahaya banjir lahar Marapi meliputi seluruh daerah aliran sungai yang berhulu di gunung api ini.
KRB I Gunung Marapi ini meliputi lebih dari 20 aliran sungai dan yang berisiko tinggi terutama pada belokan-belokan sungai dengan tebing yang rendah. Beberapa daerah yang masuk KRB I, antara lain, di aliran Batang Air Sungai Rimbo Piatu, Batang Air Bonjol, Batang Air Gadang, Batang Air Sitapu, Batang Air Sereh Silintak dan Batang Air Jabur, Batang Air Anau, Batang Air Mandailing, Batang Air Bangkahan, Batang Air Sigarunggung, Batang Air Sungai Jambu, Batang Air Sabu, Batang Gadis, dan Sungai Talang.
Dalam sejarah, pascabencana galodo 1979, sebagian desa terdampak telah direlokasi. Namun, seiring waktu, sebagaimana terjadi di banyak gunung api di Indonesia, kawasan-kawasan rentan bahaya ini kembali dihuni.
Kesiapsiagaan (preparedness) merupakan serangkaian upaya untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian dan langkah-langkah praktis. Upaya yang bisa dilakukan di antaranya berupa pelatihan yang rutin untuk mengantisipasi banjir lahar Marapi yang bisa menerjang sewaktu-waktu.
Peringatan dini (early warning) merupakan serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin pada masyarakat mengenai kemungkinan terjadinya bencana. Perlu dipahami bahwa, peringatan dini harus bersifat end to end, artinya dari lembaga yang berwenang hingga ke masyarakat di tapak bencana.

Kondisi areal persawahan di sekitar permukiman warga pascabanjir bandang atau galodo di Nagari Bukik Batabuah, Kecamatan Canduang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, Minggu (12/5/2024).
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyatakan telah mendeteksi potensi hujan intensitas sedang hingga sangat deras di wilayah Sumbar pada 8 Mei 2024. Pada hari itu juga BMKG menerbitkan peringatan dini potensi cuaca ekstrem yang dapat berujung bencana hidrometeorologi, seperti banjir, longsor, dan lainnya untuk wilayah Sumbar mulai dari 9 hingga 12 Mei 2024.
Meski demikian, peringatan cuaca ekstrem ini belum menjadi peringatan dini yang end to end. Wali Nagari Bukik Batabuah Firdaus mengaku mendapatkan informasi peringatan dini cuaca ekstrem BMKG setelah hujan deras melanda sejak pukul 15.30 WIB. Dia juga mengaku sudah mengimbau warga lebih waspada dan berhati-hati.
Firdaus menambahkan, warga yang berada di Jorong Batang Selasih, bagian hulu sungai yang berbatasan dengan Gunung Marapi, bersama kelompok siaga bencana sudah memantau kondisi air. ”Dari laporan mereka, memang ada peningkatan aliran air sehingga kami mengabarkan ke masyarakat di bawah. Selang beberapa menit saja, airnya sudah sampai di sini, (korban) tidak bisa lagi kami selamatkan,” katanya.
Firdaus juga mengaku tidak memiliki skema kesiapsiagaan, seperti kapan mesti mengevakuasi warga jika terjadi ancaman banjir lahar. Padahal, saat banjir lahar pada 5 April 2024, wilayah ini pernah juga dilanda galodo dan menghanyutkan lima rumah warga.
Berdasarkan kesaksian para penyintas, perlu upaya mengintegrasikan peringatan hujan dari BMKG ke sistem pemantauan aliran sungai di kawasan bahaya Marapi. Berikutnya, perlu jejaring komunikasi di permukiman sepanjang aliran sungai ini dan terutama membangun kesiapsiagaan warga sehingga bisa merespons bahaya dan melakukan evakuasi dini.
Sementara terkait upaya penanggulangan bencana, kita juga bisa belajar dari masyarakat yang tinggal di hulu-hulu sungai di Gunung Merapi. Di Desa Deles, Klaten, Jawa Tengah, misalnya, memiliki sistem pemantauan bahaya banjir lahar secara mandiri. Mereka menggunakan sistem komunikasi berbasis handy talkie untuk saling menginformasikan jika terjadi hujan deras di puncak gunung dan saat terlihat tanda-tanda banjir lahar.
Pelibatan masyarakat merupakan kunci membangun ketangguhan bencana. Upaya penanggulangan bencana di Indonesia yang saat ini cenderung struktural dan lebih fokus pada fase pascabencana, perlu didorong untuk lebih melibatkan masyarakat dengan fokus pada pencegahan dan mitigasi bencana.
___________________________
Galodo dari gunung Marapi pada 29 April 1979
Kab. Agam
- Kec. IV. Angkat Canduang di Nagari Lasi korban nyawa 7 orang
- Kecamatan Baso Nagari koto Tinggi Sungai Sariak Korban nyawa 17 orang
Kab. Tanah Datar
- Kec. Sungai Tarab Nagari Pasir Laweh korban jiwa 21 orang.
- Kec. Salimpaung Nagari Salimpaung Situmbuk korban jiwa 8 orang.
- Nagari Sungayang korban jiwa 17 orang.
