
oleh: Hasanudin Abdurakhman
Ada teman saya yang sedang hamil. Dia mengeluh, soal berbagai hal tidak enak yang dia rasakan. Ada beban berat di perut. Kalau sudah besar posisi serba tidak enak. Tidur telentang tidak enak, miring juga tidak enak. Napas juga terganggu, karena kandungan yang membesar mendorong diafragma, mempengaruhi ruang napas di rongga dada.
Terhadap keluhan orang hamil kita harus berempati. Cara empati yang paling sederhana adalah dengan mengiyakan keluhannya. Bukan mengatakan jangan mengeluh. Para ibu hamil itu pada dasarnya sadar soal konsekuensi kehamilan. Mereka mengeluh bukan karena keberatan dengan beban yang mereka tanggung. Semata ingin mendapat perhatian yang akan sedikit meringankan beban saja.
Jadi, saya hibur teman saya itu. Saya katakan bahwa hamil itu sesuatu yang berat. Lebih baik lagi kalau ada saran atau tips ringan untuk meringankan beban dia.
Kemudian saya ingatkan bahwa punya anak itu adalah growing pain.
Ya, demikianlah adanya. Hamil itu berat. Khususnya bagi perempuan, tentu saja. 3 bulan pertama biasanya ditandai dengan mual-mual. Mual itu saja sudah tidak enak. Karena mual, jadi sulit makan. Padahal dia wajib makan. Memasukkan makanan ke mulut dalam keadaan mual itu sebuah penderitaan yang luar biasa.
Apakah cuma perempuan yang menanggung beban? Kalau suaminya tidak peduli, maka semua beban itu memang harus jadi tanggungan perempuan. Penting bagi suami untuk berperan meringankannya.
Saat sedang dalam keadaan morning sick atau mual-mual, jangankan masak, masuk dapur saja sudah sangat berat bagi ibu hamil. Bau dapur akan membuat dia muntah. Saya dulu mengkudeta dapur. 3 bulan saya masak untuk istri saya. Saya pilihkan bahan dan racikan masakan yang tidak membuat dia mual, dengan mempertimbangkan kebutuhan gizinya. Itu saya lakukan di tengah beban berat, yaitu melakukan riset untuk disertasi doktor saya di Jepang.
Artinya, laki-laki harus siap menerima beban lebih untuk meringankan kehamilan istri.
Lalu anak lahir. Apakah beban kita akan berkurang? Tidak. Saya mengalami masa tidak jelas berapa jam saya tidur sehari di masa awal punya anak. Siang saya harus pergi ke kampus untuk riset. Agar istri bisa mengasuh anak dengan bugar saat saya tidak di rumah, di malam hari saya yang banyak berjaga. Setiap hari saya melakukan riset di kampus dalam keadaan kepala berdenyut-denyut karena kurang tidur.
Saat anak sudah mulai bisa bergerak, masalah terus bertambah. Kami berprinsip, tidak boleh ada 1 detik pun anak lepas dari pengawasan saat dia tidak tidur. Anda mungkin pernah menemukan anak berlumur bedak, atau menggunting rambutnya sendiri. Banyak orang menganggap itu kejadian lucu. Bagi saya itu near miss, situasi nyaris terjadi kecelakaan. Itu artinya anak tidak dalam pengawasan yang memadai. Ingat, satu detik kita luput, itu sudah cukup untuk memicu kecelakaan fatal.
Ketika anak sudah bisa berinteraksi dengan orang lain, masalahnya makin membesar. Ia menyerap banyak hal dari lingkungan. Kita harus menyeleksi paparan itu agar anak tidak terpengaruh hal-hal negatif. Makin besar anak kita makin luas interaksinya, makin banyak hal yang harus kita kendalikan.
Tidak hanya soal perilaku hasil pengasuhan yang harus kita perhatikan. Anak-anak yang lahir dari kita itu tidak selalu sempurna. Ada yang punya varian, yang disebut disorder. Mereka berbeda dari orang kebanyakan. Dulu orang tidak menyadari soal ini. Kalau ada yang tidak berkenan pada perilaku anak, langsung dianggap anaknya buruk, tidak berakhlak, pemalas, dan sebagainya. Ternyata ada yang namanya neurodivergence, yaitu varian pada fungsi otak. Bentuknya bermacam. Ada ASD, ADD, ADHD, dan masih banyak lagi.
Anak-anak yang terlahir berbeda dengan anak-anak pada umumnya memiliki kebutuhan khusus, dan serta merta memerlukan perhatian dan perlakuan khusus pula. Adanya varian itu harus disadari setiap orang tua.
Intinya, punya anak itu banyak bagian tidak enaknya. Banyak bagian menyakitkan. Tapi itu bukan hal menakutkan. Kalau kita siap, semua itu bisa jadi sumber kebahagiaan. Kuncinya itu, siap. Siapkan diri Anda untuk menjalani proses pengasuhan. Siapkan juga diri Anda untuk menerima apapun kondisi anak yang lahir dari Anda.
