
sumber: wikipedia
Bondan Haryo Winarno (29 April 1950 – 29 November 2017) adalah seorang penulis dan wartawan Indonesia dengan berbagai keahlian. Dia memelopori dan menjadi ketua Jalansutra, suatu komunitas wisata boga yang sangat terkenal di Indonesia. Dia juga menjadi presenter dalam acara kuliner di Trans TV, yaitu Wisata Kuliner. Ia terkenal dengan ungkapannya yaitu “Pokoe maknyus!“, ungkapan ini sering diparodikan dalam suatu kondisi yang nyaman, enak dan lainnya.
Sejarah Hidup
Ketika Bondan masih anggota Pramuka dulu, lelaki berkulit cokelat ini aktif dalam aeromodelling. Ketika sudah berkeluarga, ia ikut terjun payung dan menjadi anggota Jakarta Flying Club. Sebenarnya, Bondan juga bercita-cita menjadi penerbang, selain guru dan wartawan. Ibunya ingin Bondan menjadi dokter, atau insinyur. Di Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur, Universitas Diponegoro, Semarang, namun belum sempat selesai, Bondan sudah menjadi fotografer Puspen Hankam di Jakarta hingga tahun 1970. Setelah itu, ia berpindah-pindah kerja, tetapi tetap tidak lepas dari lingkup komunikasi massa. Sempat bertugas sebagai wartawan ke berbagai negeri, antara lain ke Kenya, Afrika.
Sebagian pengalamannya dari negeri itu ia tuangkan menjadi cerpen berjudul Gazelle, yang kemudian memenangkan hadiah pertama lomba penulisan cerpen majalah Femina pada tahun 1984. Menulis sudah hampir merupakan kebiasaan bagi Bondan. Ia pun bisa menulis di mana saja, di pesawat udara, di mobil, atau bahkan di toilet. Hasil tulisannya dimuat berbagai penerbitan, misalnya Kompas, Sinar Harapan, dan Tempo. Pada majalah terakhir ini ia secara tetap Bondan mengisi Rubrik Kiat, yaitu kolom pendek soal-soal manajemen, dunia yang juga ia tekuni selama ini.
Pekerjaan
Sejak 1960 (umur 9–10 tahun), Bondan menjadi penulis lepas. Ia menulis di berbagai penerbitan seperti Kompas, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Tempo, Mutiara, Asian Wall Street Journal, dan lain-lain. Pada 1984-1987 ia menjadi redaktur kepala majalah SWA. Pada 1987-1994 ia beralih menjadi pengusaha dan menjabat sebagai Presiden Ocean Beauty International, sebuah perusahaan makanan laut yang berbasis di Seattle Washington, Amerika Serikat. Antara 1998-1999 ia menjadi konsultan untuk Bank Dunia di Jakarta, dan setelah itu, hingga 2000 ia menjadi direktur eksekutif dari sebuah organisasi pelestarian lingkungan. Pada 2001-2003 ia menjadi pemimpin redaksi harian Suara Pembaruan.
Karier
Juru kamera Puspen Hankam (1969-1970)
Creative Director Marklin Advertising (1973-1974)
Account Executive Intervista (1974)
Advertising Manager PT Union Carbide (1975-1979)
Sekjen International Advertising Association (1978)
Manajer PT Sinar Kasih (1979-1983)
Dirut PT Mitra Balita (1983)
Pengasuh Rubrik Kiat TEMPO (1984)
Wakil Pemimpin Redaksi Majalah Swasembada (1985)
Komisaris Independen PT Tiga Pilar Sejahtera Tbk (2009)
Filmografi
1984 Penulis cerita Tinggal Landas buat Kekasih
1986 Penulis cerita Ketika Musim Semi Tiba
Kegiatan sosial
Selain berbagai pekerjaan yang pernah dilakukannya, Bondan juga aktif dalam bermacam-macam kegiatan sosial. Ia pernah menjabat sebagai sekretaris jenderal dari International Advertising Association, cabang Indonesia (1981-1986), ketua Indonesia Forum pada 1998 (umur 47–48 tahun), yaitu sebuah konferensi internasional untuk membantu pemulihan Indonesia dari krisis. Pada 1998 ia menjadi salah satu pendiri dari Komite Kemanusiaan Indonesia dan Masyarakat Transparansi Indonesia, dan pada 2002 (umur 51–52 tahun) ia menjadi salah satu pendiri Yayasan Karaton Surakarta. Ia adalah seorang sentanadalem Karaton Surakarta Hadiningrat dengan gelar dan nama Kanjeng Pangeran Mangkudiningrat.
Penghargaan
Pada 1967 (umur 16–17 tahun), ia memperoleh Baden Powell Adventure Award ketika menjadi pemimpin regu Indonesia dalam Boy Scouts World Jamboree di Farragut State Park, Idaho, USA. Ketika itu ia juga terpilih sebagai honor guard untuk Lady Olave Baden Powell. Pada 1988 (umur 37–38 tahun) ia memperoleh tanda penghargaan Satyalencana Pembangunan dari pemerintah Republik Indonesia karena jasa-jasanya sebagai ketua pelaksana Phinisi Nusantara yang berlayar dari Jakarta sampai Vancouver dalam rangka Expo 1986.
Tanggal 20 Mei 2014, Bondan meraih penghargaan buku masakan terbaik “Gourmand Awards” pada ajang Gourmand World Cookbook ke-19 di Beijing, Tiongkok, setelah meraih juara pertama lewat karyanya “100 Makanan Tradisional Indoenesia, Mak Nyus” pada kategori bertemakan makanan kaki lima (street food).[1]. Pada 12 April 2018, ia meraih penghargaan seumur hidup (Lifetime Achievement) pada ajang Ubud Food festival 2018, dan diterima oleh keluarganya.
Sebagai penulis
Bondan pernah mengarang cerita anak-anak, cerita pendek, novel dan buku-buku tentang manajemen.
Bibliografi
Satu abad Kartini, 1879-1979: bunga rampai karangan mengenai Kartini (editor) (1979)
Neraca tanah air: rekaman lingkungan hidup '84 (1984)
Cafe Opera: kumpulan cerita pendek (1986)
Seratus kiat, jurus sukses kaum bisnis (1986)
Tantangan jadi peluang: kegagalan dan sukses Pembangunan Jaya selama 25 tahun (1987)
Kiat menjadi konglomerat: Pengalaman Grup Jaya (1996)
Manajemen transformasi BUMN: pengalaman PT Indosat (1996)
Bre X: sebungkah emas di kaki pelangi (1997)
Kiat Bondan di Kontan: berpikir strategis di saat krisis (1998)
Jalansutra: kumpulan kolom tentang jalan-jalan dan makan-makan di Suara Pembaruan Minggu dan Kompas Cyber Media (2003)
Lagu Kebangsaan Indonesia Raya (2003)
Belajar tiada henti: biografi Cacuk Sudarijanto ditulis bersama Bondan Winarno (2004)
Pada sebuah beranda: 25 cerpen (2005)
Puing: sebuah novel kolaborasi (2005)
Banyak yang mengenal almarhum Bondan Winarno sebagai pereview makanan. Selain menulis, Pak Bondan juga kerap muncul dalam acara televisi, dengan kata yang sudah menjadi trademark-nya: maknyus. Meski sudah meninggal, kata-kata maknyus ini masih dipakai oleh banyak orang saat mendeskripsikan masakan yang super lezat.
Namun, tahukah teman-teman, kalau sebenarnya Bondan juga seorang jurnalis investigasi handal? Yang ia investigasi tentu bukan warung soto terenak. Jauh sebelum menjadi tokoh terkenal di bidang kuliner, beliau adalah seorang wartawan yang sudah malang melintang di berbagai media massa, seperti Tempo, Kompas, dan Sinar Harapan. Bahkan ia pernah menjadi pemimpin redaksi Surat Pembaruan dari 2001-2003.
Salah satu karya liputan investigasinya adalah ketika dia berusaha membongkar skandal klaim palsu tambang emas Bre-X pada 1997. Konon, perusahaan tempat terjadinya skandal ini dimiliki oleh Bambang Trihatmodjo, anak dari Presiden Soeharto yang berkuasa saat itu. Skandal ini mulai terungkap sejak hilangnya Michael de Guzman yang diberitakan meninggal karena hilang di belantara Kalimantan.
Bondan Winarno yang mendengar kabar ini dari koran lokal Balikpapan, Manuntung, mencium hal yang ganjal. Ia pun segera melakukan investigasi dengan segera mencari kebenaran meninggalnya Michael de Guzman tadi. Alhasil, ia melihat banyak kejanggalan dalam mayat Guzman karena ketidaksesuaian fisik sebenarnya Guzman dengan hasil visum.
Dari situ, ia mulai melakukan investigasi dengan mencari banyak sumber tentang kejanggalan tadi. Ia rela untuk pergi jauh hingga ke Kanada, tempat perusahaan Bre-X ini berasal. Ia juga mencoba berbagai teori kematian Guzman. Nilai saham Bre-X yang melantai di pasar saham AS dan Kanada turun drastis hingga enam sen per lembarnya.
Pada akhirnya, ia bisa mengungkap kebohongan perusahaan Bre-X ini dengan berbagai fakta menarik di dalamnya. Ada dugaan, Guzman dibunuh karena dia memalsukan penemuan tambang emas besar di Kalimantan. Ketika kebohongan ini terungkap, nilai saham Bre-X yang melantai di pasar saham AS dan Kanada turun drastis hingga enam sen per lembarnya.
Sepak terjang liputannya tentang skandal perusahaan tersebut dibukukan dalam Bre-X: Sebongkah Emas di Kaki Pelangi. Karya liputannya pun mendapatkan banyak pujian. Meskipun beliau sudah tiada, karyanya akan tetap menjadi panutan liputan investigasi sekarang. Dari sini disimpulkan bahwa maknyus-nya Pak Bondan tidak hanya saat mencoba kuliner, tetapi dalam karya jurnalismenya juga.

One thought on “Bondan Winarno”