Monumen Batipuh

sumber: wikipedia

Monumen Batipuh adalah monumen yang pernah berdiri di Guguk Malintang, Kecamatan Padang Panjang Timur, Kota Padang Panjang, Sumatera Barat, Indonesia. Monumen ini didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1920 untuk memperingati gugurnya sejumlah serdadu Belanda akibat pemberontakan yang meletus di Batipuh pada 24 Februari 1841, di antaranya J.G. Schelling, F. Marien, dan Sosemito.

Pemberontakan Batipuh 1841 merupakan pemberontakan bersenjata rakyat terhadap pemerintahan Hindia Belanda di Batipuh, Pantai Barat Sumatra tahun 1841 yang dipimpin oleh Tuan Gadang. Sebagai reaksi, Belanda mengirimkan pasukan di bawah pimpinan Kolonel Michiels untuk menumpasnya.

Latar belakang

Setelah berakhirnya Perang Padri, Tuan Gadang yang sebelumnya telah diangkat menjadi Regent oleh Belanda menggantikan Sultan Tangkal Alam Bagagar meminta untuk diakui sebagai Raja Pagaruyung ditolak oleh pemerintah Hindia Belanda.[1] Ketidakpuasan ini ditambah dengan adanya perubahan administrasi di Minangkabau serta penerapan cultuurstelsel menjadi pemicu munculnya perlawanan rakyat terhadap pemerintah Hindia Belanda.

Pemberontakan ini banyak sebabnya, salah satu dari sebabnya ialah pemerintah yang sewenang-wenang dari Pemerintah Hindia Belanda yang memaksa rakyat untuk menanam kopi dengan tiada hentinya, dan menjual buahnya dengan harga yang murah.

Perlawanan rakyat

Pada tanggal 22 Februari 1841, rakyat Batipuh dipimpin oleh Tuan Gadang mengangkat senjata melawan pemerintah Hindia Belanda. Perlawanan ini terus menyebar, pada tanggal24 Februari 1841, sebuah pos garnisun tentara Hindia Belanda di Guguk Malintang, Padang Panjang diserang. Tidak ada tanda-tanda sebelumnya, seperti pengungsian wanita dan anak-anak, agitasi penduduk setempat oleh kaum paderi (ulama), pertemuan malam, dan semacamnya, selain itu pengikut paderi hanya tampak di kota. Di daerah sekitarnya, tepatnya di sebuah ngarai yang amat dalam, terdapat tangsi Belanda di Guguk Malintang yang telah diduduki Belanda, dan dari situlah urusan pemerintahan sipil diatur oleh pemerintah Belanda. Di lingkungan tangsi yang diperkuat itu, hanya ada pondokan pasukan Belanda tanpa ada amunisi, sementara di reduit (salah satu bagian benteng), hanya ada gudang mesiu, yang di situ juga banyak tersedia peluru.

Garnisun itu dipimpin oleh LetDa. JB. Banzer dan terdiri atas letnan satu intenden C. Keppel, 10 prajurit Eropa dan 35 prajurit pribumi tak berpangkat, 44 wanita dan anak-anak pribumi. Setelah terompet pagi, kegiatan harian di tangsi berlangsung seperti biasa hingga Sersan Holij menyaksikan kebakaran besar dan mendengar teriakan penduduk Padang Panjang sehingga ia melapor kepada komandan; pada saat yang sama, sersan mayor pembuat senapan Schelling tiba dan melaporkan bahwa orang-orang bersenjata yang tinggal di sekitaran benteng menyelusup, sehingga sulit bagi dirinya melarikan diri. Setelah itu masuklah sekelompok orang bersenjata sementara pada saat yang sama sekelompok orang bersenjata lengkap masuk dari gerbang yang masih terbuka. Banzer dan pasukannya memberi jalan kepada gerombolan tersebut mencapai reduit, yang karena kecilnya jumlah mereka menyebabkan amunisi yang tersimpan di kubu mudah dipertahankan, hingga munculnya bantuan dari tempat lain.

Pengepungan

2 hari kemudian, Banzer mengirim surat ke tangsi terdekat untuk meminta bantuan namun duta tersebut, prajurit Suroto dari Madura, dibunuh dan dimutilasi secara mengerikan dan mayatnya ditemukan di permukiman yang berada di depan tangsi. Pada tanggal 25 Februari, musuh melancarkan serangan dan pendudukan tersebut menimbulkan banyak kerugian. Prajurit F. Marien, Sosemito, dan SerMa J.C. Schelling terluka parah, akhirnya, dengan 4 tikaman kelewang dan tombak, dicincang secara mengerikan. Pada tanggal 27 Februari tampak bahwa akibat kelelahan, hampir tak satupun yang dapat menggunakan senapan dan Banzer memutuskan bahwa jika musuh dapat masuk benteng, ia dan serdadunya akan meledakkan diri (mati bersama lawan). Untuk itulah, Schelling yang terluka parah ditempatkan di dekat gudang mesiu untuk membakar mesiu sebagai sinyal pertama.

Pada saat itu, Schelling dan prajurit lain yang terluka setuju untuk tetap sendiri dengan melarikan diri dan musuh meledak dan kemudian diputuskan pada malam harinya untuk meninggalkan benteng dan menyelinap di sela-sela musuh atau menyerahkan hidupnya. Banzer kini meninggalkan semua kotak amunisi yang disimpan di tengah-tengah gudang dan kemudian 3 orang yang terluka parah itu ditempatkan di lantai kayu dan SerMa Schelling menjaga sumbu dan tali-temali. Prajurit tersebut, terdiri atas 2 perwira, 8 prajurit Eropa dan 19 prajurit pribumi tak berpangkat serta 44 wanita dan anak-anak menyelinap, saat hari gelap tiba di pinggiran tebing dekat benteng, dan kemudian mereka menyebar dan mencari tempat yang aman.

Begitu di luar benteng, 2 prajurit Eropa dan Letnan Keppel berpencar namun sisanya dihantam musuh, tak satupun dari 6 anak Keppel yang diketahui hidup. Bahkan kemudian, 3 orang yang terluka parah tadi melarikan diri dari benteng yang diledakkan itu, tetapi banyak juga musuh di luar. Di luar tangsi, para pekerja, wanita, dan anak-anak melarikan diri selama 2 hari 2 malam, dan diselamatkan oleh barisan yang dipimpin secara pribadi oleh Andreas Victor Michiels, yang kemudian maju ke wilayah yang bergolak itu. Atas pilihannya, Banzer dinaikkan pangkat menjadi letnan satu dan Sersan Holij menjadi letnan dua. Mereka berdua dianugerahi penghargaan untuk keberanian, kecakapan, dan kesetiaannya oleh Raja Willem II (Dekret Kerajaan tanggal 24 Februari 1842, no. 76).

Monumen

Di tengah-tengah huru-hara, sebuah monumen didirikan untuk memperingati 3 tokoh yang gugur dalam pertempuran. Mereka adalah:

  1. JG. Schelling, sersan mayor pembuat senapan
  2. F. Marien, prajurit Eropa
  3. Sosemito, prajurit pribumi

Suryadi – Leiden, Belanda / Singgalang, Minggu, 23 April 2017

Dalam rubrik ini yang diterbitkan Singgalang edisi Minggu 12 Maret 2017 telah kami turunkan foto lain tentang monumen ini yang mengabadikan peringatan perang Batipuah di monumen ini oleh pegawai pemerintah dan keluarga tentara Belanda yang gugur dalam perang tersebut. Kali ini kami turunkan lagi versi lain kodak monumen ini yang mengabadikan monumen ini dari jarak yang agak jauh.

Dalam caption foto ini terdapat tulisan: “Gedenknaald te Gogoek Malintang, herrinnering aan het heldenfeit van 1841, Sumatra” (Tugu di Guguak Malintang, pengingat yang jelas untuk pahlawan kita dari tahun 1841). Monumen ini dibuat untuk memperingati kematian beberapa tentara Belanda menyusul berhasil diledakkannya sayu benteng pertahanan Belanda di Batipuh yang menewaskan beberapa orang tentara Belanda.

Batipuah adalah satu nagari di darek yang sering disebut-sebut dalam konteks Perang Padri. Pada awal-awal keterlibatan Belanda dalam perang itu, rakyat Batipuah cenderung membantu Belanda. Akan tetapi belakangan mereka sadar bahwa kaum agama yang mereka perangi tak lain adalah saudara mereka sendiri. Orang-orang Batipuh juga merasa dikhianati oleh Belanda yang telah mereka bantu, karena banyak di antara mereka yang ditangkap oleh Belanda.

Menjelang akhir Perang Paderi, orang Minangkabau semakin bersatu, dan mereka sadar bahwa musuh mereka yang sesungguhnya adalah kolonialis Belanda. Kaum Adat akhirnya sadar bahwa dengan ‘mintak angok ka lua badan’ (artinya: minta bantuan kepada Belanda), ternyata hal itu malah membawa kesengsaraan kepada mereka sendiri dan sauda-saudara mereka orang Minangkabau pada umumnya. Apa yang terjadi dalam Perang Paderi kiranya dapat menjadi iktibar bagi bangsa ini kini: jangan mudah percaya kepada bangsa lain. Di dunia ini setiap bangsa saling terkam-menerkam untuk memperebutkan sumber daya alam dan hegemoni politik. Kiranya betul kata sebuah ungkapan bahwa ‘tidak ada makan siang yang gratis.’ (Sumber foto: Bintang Hindia Tahoen Kelima, Nomor 4, 1 Juni 1907:37).

Leave a comment