Jombang Santani (JS) Khairen

sumber: Langgam.id

Jombang Santani Khairen atau lebih dikenal dengan nama J.S Khairen adalah seorang penulis novel muda Indonesia. Karyanya mencakup lintas genre seperti petualangan, drama, satir, politik, horor dan fantasi. JS Khairen mulai menulis sejak 2013 dan mulai dikenal publik dengan novel Kami (Bukan) Sarjana Kertas. Novel itu merajai puncak buku terlaris di Gramedia se-Indonesia pada hari-hari pertama terbit dan sudah belasan kali cetak ulang hingga kini.

Jombang, demikian sapaan akrabnya, lahir di Kota Padang, Sumatra Barat pada 23 Januari 1991. Jombang, kosakata bahasa Minang yang sudah masuk KBBI berarti tampan atau rupawan. Ayahnya, Khairul Jasmi adalah seorang wartawan senior yang pernah menjadi pemimpin redaksi Harian Singgalang, sementara sang ibu, Enizar, bekerja sebagai guru di MAN 1 Padang.

Masa Awal

JS Khairen menmpuh pendidikan di SD Adabiah 2 Padang, lalu SMPN 5 Padang dan SMAN 10 Padang. Kemampuan menulis mulai diasah sejak SMA, ditempa oleh sang ayah yang piawai menulis. Ia juga belajar kepada cerpenis Yusrizal KW.

Tahun 2009, JS Khairen kuliah di UI jurusan Manajemen. Selama di kampus aktif dalam penulisan ilmiah dan jurnalistik, mengantarkannya menjadi salah satu lulusan fakultas terbaik saat diwisuda tahun 2014. Setelah lulus, J.S Khairen menjadi asisten dosen Rhenald Kasali, juga sebagai tim kreatif di Rumah Perubahan. Menjadi anak muda anti wacana.

Selanjutnya, ia menggeluti industri kreatif dengan bekerja di Kilau Production (2017–2019) dan layanan streaming video milik Gojek, Goplay (2019–2021). Selain itu, ia pernah menekuni dunia peran dengan menjadi aktor utama dalam film Humba Dreams garapan sutradara Riri Riza dan produser Mira Lesmana yang tayang pada 2019.

Karya J. S. Khairen

Jombang Santani Khairen meneroka jalannya sebagai penulis novel tanpa bersandar pada nama besar sang ayah. Naskahnya pernah berkali-kali ditolak oleh penerbit.

Sebelum terkenal lewat Kami (Bukan) Sarjana Kertas (2019), ia sudah menulis beberapa novel, yakni Karnoe (2013), Bunda Lisa (2014), 9 Keping Surat (2016), dan Rinduku Sederas Hujan Sore Itu (2017). Ia juga menulis trilogi di bawah judul 30 Paspor di Kelas Sang Profesor (2014–2016).

Kami (Bukan) Sarjana Kertas (2019) menjadi pembuka dari pentalogi Kami (Bukan). Seri itu disusul dengan Kami (Bukan) Jongos Berdasi (2019), Kami (Bukan) Generasi Bac*t (2020), Kami (Bukan) Fakir Asmara (2021), dan Kami (Bukan) Kelas Menengah Ngehe (akan terbit).

Kami (Bukan) Sarjana Kertas laris di pasaran, bahkan sejak pra-penjualan. Hingga Mei 2022, novel tersebut telah 14 kali cetak ulang.

Novelis Lintas Genre

Pada 2020, Jombang Santani Khairen menelurkan novel bergenre fantasi Melangkah, hasil beasiswa Residensi Penulis yang ia terima tahun sebelumnya dari Badan Ekonomi Kreatif Indonesia.

Berikutnya pada 2021, ia menerbitkan kumpulan cerpen Hal yang Tak Kau Bawa Pergi Saat Meninggalkanku. Pada 2022 ini, ia hadir dengan tiga novel anyar, yakni Kado TerbaikBungkam Suara, dan Sengketa Mayat (2022).

Semula, Jombang menulis novel di tengah kesibukannya bekerja. Ia mencurahkan waktu selama 2-3 jam sehari untuk menulis, umumnya selepas Subuh. Sejak 2021, ia memilih fokus menjadi novelis penuh waktu, meski sesekali meladeni permintaan menjadi konsultan kreatif.

Saat ini, JS Khairen tinggal di Jakarta bersama istri, Nur Azizah Apriani Mubarokah. Mereka memiliki seorang putri bernama Arunika Manggopoh Ziren dan seorang putra bernama Tan Nayaka Ziren.

Penghargaan

JS Khairen meraih penghargaan bergengsi Writer Of the Year dari Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) pada ajang IKAPI Award 2024 dan menyabet penghargaan Book of The Year 2024 pada Islamic Book Fair untuk novel Kado Terbaik.


JS Khairen: Minat Baca Masyarakat Itu Besar, Hanya Aksesnya Kurang

oleh: Leila Rizki Niwanda (ceritaleila.com)

Jombang Santani Khairen atau lebih dikenal dengan nama JS Khairen merupakan salah satu penulis muda yang karyanya paling ditunggu beberapa tahun terakhir. Tak hanya laris manis hingga dicetak ulang 16 kali pada tahun pertama terbit, novel Kado Terbaik yang ditulisnya juga mendapatkan penghargaan Buku Islam Terbaik kategori Novel Remaja dalam Islamic Book Fair Award tahun ini. Terbaru, JS Khairen memperoleh Penghargaan Writer of The Year dalam Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Award 2024.

Namun, kesuksesan tidak diraihnya dalam sekejap mata. Buku-buku yang ia tulis pun awalnya belum terjual sebanyak sekarang.

“Dengan buku saya tidak laris ini, saya jadi belajar ke mana-mana. Saya datangi penulis-penulis senior, belajar dari kelas-kelas mereka. Dan karya saya penjualannya baru meledak di buku ke-7, Kami (Bukan) Sarjana Kertas. Namun, sebetulnya ini adalah cerita yang mainstream ketika seorang penulis buku pertama, kedua, ketiganya tidak laris. Mungkin pernah dengar, Bang Raditya Dika dulu awalnya yang borong bukunya adalah ibunya sendiri, Bang Darwis Tere Liye juga baru terkenal di bukunya yang kelima,” jelasnya.

Mengingat sebagian karyanya sarat akan kritik sosial, Bang JS pun terbuka untuk kritik dari pihak lainnya.

“Kritik itu biasa saja, karena pembaca kan sudah membeli dan membayar. Suka-suka mau dihina juga. Saya selalu mengizinkan siapa pun pembaca untuk invite collab ke Instagram saya, termasuk review kritik. Justru saya ingin mencari itu. Karya yang terbaik itu adalah karya yang selanjutnya alias yang belum ditulis. Jadi supaya karya yang selanjutnya ini lebih baik ya kita harus mendengar. Bahkan pembaca setia saya, misalnya dia sudah baca 10 karya saya, saya selalu mengundang untuk mengirimkan email karya yang belum terbit untuk dikritisi oleh mereka habis-habisan. Terserah untuk dihina atau dimaki. Karena mereka adalah pembaca setia. Yang sudah baca 10 novel artinya nasabah prioritas. Artinya mereka sudah mengikuti kita lebih dari lima sampai tujuh tahun. Masukan dari mereka ini jauh lebih tajam dari komentar-komentar Instagram. Kalau tidak begitu karya-karya berikutnya tidak bertambah bagus.”

Tahun ini muncul kabar jika buku dari serial Kami (Bukan) akan dilayarlebarkan oleh Visinema. Bang JS mengaku tidak secara aktif mengupayakan alih wahana karyanya menjadi film.

“Saya tidak mengejar. Cuma, kalau ada produser yang datang, saya terbuka. Saya sudah punya dua novel yang tanda tangan kontrak, yaitu Kami (Bukan) Sarjana Kertas dan Kami (Bukan) Jongos Berdasi. Soal kapan, soal aktor, saya memilih untuk membiarkan menjadi karya si filmmaker itu. Terbaru, Dompet Ayah Sepatu Ibu juga ada beberapa produser yang mendekati. Cuma menurut saya karena novel ini masih baru banget, nanti dulu deh. Menurut saya masih terlalu cepat. Karenas kadang kita juga kesal ya ketika film dari buku tidak sesuai. Biarkan dia hidup dulu di hati pembaca. Kalau buru-buru nanti kurang seru.”

Adapun untuk novel berikutnya, ia sedang mempersiapkan sekuel dari Melangkah yaitu Berlari.

“Saya suka banget ke Indonesia Timur. Kalau Sumba punya savana dengan legenda kudanya, nah di Sulawesi ada Luwuk Banggai dengan Kraken. Mitosnya, itu gurita raksasa. Jadi kalau di Melangkah aksinya pakai kuda perang yang dibikin canggih, kalau di Berlari mau bikin Kraken yang canggih. Masalahnya, karena risetnya harus ke Indonesia Timur jadi sekuelnya belum terbit-terbit juga. Padahal sudah empat tahun dan ditunggu-tunggu oleh pembaca. Bukan apa-apa, biaya risetnya juga mahal. Ke Indonesia Timur itu lebih mahal daripada ke Eropa. Kalau riset kan harus sebulan, tiga minggu, jadi mahalnya itu bukan hanya dua kali lipat, tapi lebih mahal lagi. Apalagi rencananya sekaligus untuk menyusun sekuelnya lagi yaitu Terbang, supaya pembaca tidak harus menunggu sampai empat tahun lagi. Jadi paling lama setahun setelah Berlari terbit, Terbang bisa terbit.”

Sebanyak 16 judul buku yang telah ia tulis menjadi bukti produktivitasnya. Lelaki kelahiran Januari 1991 ini berbagi tips saat mengisi acara bedah buku di Intress Library Festival, kantor pusat DJPb, bulan Agustus 2024.

“Untuk menyeimbangkan aktivitas menulis dengan yang lainnya, kita harus disiplin. Pagi pukul 04.00 saya sudah menulis. Saya bisa menulis di kereta, di stasiun, di pesawat, di mana saja. Jadi ya disiplin. Memang disiplin itu saya bangun. Saya datang ke orang-orang hebat, belajar langsung dari mereka, bekerja dengan mereka, datang ke acara mereka. Jadi tidak ada mood itu, sudah saya usir. Saya tidak percaya lagi menulis itu harus menunggu mood. Menulis itu sudah seperti bernapas,” tegasnya.

“Saya mengetik satu novel itu rata-rata 2 sampai 4 minggu saja. Tapi itu mengetiknya saja. Yang lama sebetulnya adalah risetnya. Kalau kerangkanya sudah jadi, konfliknya sudah jadi, mengetiknya bisa cepat. Digabung dengan risetnya bisa adi enam bulan, bisa setahun. Bahkan ada tulisan yang sejak novel pertama saya terbit sampai hari ini sudah 12 tahun risetnya dan masih berjalan, novelnya belum jadi,” katanya.

“Kita harus menghadirkan tokoh-tokoh itu di kepala kita. Di kehidupannya, dia itu seperti apa. Kita “ajak ngobrol”. Kita harus membayangkan tokoh A ketika bertemu dengan orang lain itu seperti apa cara bicaranya, seperti apa pilihan kata-katanya ketemu tokoh B atau tokoh C. Bahkan hal-hal yang sepertinya remeh, misalnya si A ini di tempat ramai atau saat sendirian gerak-geriknya seperti apa, karena pasti akan berbeda dan ini akan memengaruhi bagaimana ceritanya berjalan, termasuk memengaruhi bagaimana ketika dia bertemu dengan tokoh antagonis.”

“Novel saya yang berjudul Dompet Ayah dan Sepatu Ibu berisi cerita tentang seorang perempuan bernama Zenna dan seorang laki-laki bernama Asrul. Sebenarnya ini kisah ayah dan ibu saya. Tahun ini Ibu pensiun, sementara saya sudah menulis 17 novel dan belum satu pun yang saya tulis untuk orang tua saya. Suatu waktu saya nonton stand up comedy Praz Teguh, dia bilang materinya saat itu baru dibuat setelah orang tua meninggal. Jangan sampai yang lain menyesal juga, katanya. Akhirnya saya menulis Dompet Ayah Sepatu Ibu.”

“Itu risetnya sangat rumit. Saya harus mencari orang-orang yang hidup di kampung Ibu saya. Ceritanya kan Zenna sudah dijanjikan dibelikan sepatu. Hal termewah yang dia dijanjikan seumur hidup adalah sepatu itu, tapi malah ayahnya meninggal. Untuk risetnya saya harus mencari teman-teman Ibu saya. Ada yang sudah meninggal, ada yang ternyata sudah di mana. Begitulah, unik-unik. Setiap novel itu punya riset masing-masing. Bungkam Suara itu risetnya tidak di lapangan, tapi saya melihat orang-orang yang julid di medsos, karena ceritanya tentang di suatu negara tidak boleh ada kritikan tetapi pada suatu hari mereka rayakan festival bebas bicara.”

Seperti ia sebutkan sebelumnya, lelaki berdarah Minang (Jombang dalam bahasa Minang yang sudah masuk pula di KBBI berarti tampan atau rupawan, jadi bukan dari nama kota di Jawa Timur) ini banyak belajar dari penulis lain untuk terus mengasah keterampilannya.

“Kalau kata Bu Dee Lestari, ide itu punya alam yang berbeda. Ide bisa datang ke siapa saja. Pernah tidak kalian nonton film lalu terpikir, sepertinya kita juga pernah punya ide yang sama? Ide ini ternyata sudah pernah datang ke kita dengan caranya yang ajaib, tetapi kita tidak mempertanggungjawabkannya. Entah kita memang malas, atau kita tidak punya kapasitas di sana, atau kita memang bukan berkecimpung di dunia sana. Pernah lihat nggak postingan Dian Sastro yang di toiletnya ada kertas sama pulpen untuk mencatat ide? Beda sama kita ya, di toilet malah scroll hp. Jadi ketika ada ide, sebetulnya langsung tangkap saja dulu,” sarannya.

“Nah, bagaimana kalau ide itu ternyata tidak berguna? Ya kita lepaskan saja, ikhlaskan saja, karena ternyata kita tidak berhasil mempertanggungjawabkannya. Misalnya, akhirnya ada cerita yang saya lepas ke adik-adik penulis baru. Idenya sudah bertahun-tahun bersemayam, sepertinya akan lebih cocok dengan penulis yang baru dengan branding dia. Ternyata karya itu memang menjadi jauh lebih bagus di tangan dia. Kemarin idenya cuma numpang nginep di kepala saya.”

Dengan prinsip seperti itu, tak heran tema novel yang ditulisnya juga amat beragam. Ada tema keluarga seperti dalam Kado Terakhir dan Dompet Ayah Sepatu Ibu, ada seri Kami (Bukan) yang bergenre komedi persahabatan anak muda walau isu yang diangkat serius, ada buku Bungkam Suara yang berisi kritik sosial. Terdapat pula genre aksi fantasi di buku Melangkah yang tetap ia padukan dengan pandangan terhadap kondisi masyarakat.

“Di kelas dulu (saat kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia) Pak Faisal Basri menanyakan apakah di kelas ini ada yang bisa menulis fiksi. Kalau ada, beliau bilang cobalah menulis tentang krisis ekonomi dalam kisah fiksi. Tapi setelah itu kami lanjut kuliah dan lupa begitu saja. Lalu saya teringat lagi perkataan Pak Faisal Basri itu ketika satu Jawa mati lampu tahun 2019. Saya terpikir, ternyata menjatuhkan suatu negara itu tidak perlu penyakit atau bom, tetapi cukup dengan dimatikan listriknya seminggu. Kemudian saya datang ke teman-teman yang menjadi dosen, seperti apa analisisnya kalau terjadi mati listrik seminggu, apakah mungkin terjadi krisis?”

“Jadi walaupun novel saya fiksi, tetapi pendekatannya sedekat mungkin dengan di kampus. Dari perhitungan teman-teman, dibuat regresi, dihasilkan analisis bahwa mungkin hari pertama orang panik, marah-marah. Hari kedua ATM sudah tidak bisa berfungsi. Hari ketiga distribusi makanan berhenti. Hari keempat krisisnya sudah merambat ke desa-desa, jadi chaos, dan kota-kota besar bisa menjadi lumpuh. Terbayang kalau dalam kondisi ini ada orang yang punya niat jahat atau kecewa karena pernah dikhianati. Tapi saat itu masih ada satu kepingan yang belum ketemu, karena menurut saya supaya seru lokasi ceritanya jangan di Jakarta.”

“Soal latar ini jadinya menyambung ke film Humba Dreams (2019). Tiba-tiba saya dipanggil oleh Mas Riri Riza. Saya kira mau diajak menulis skrip, tetapi katanya ternyata mau di-cast. Saya kira casting untuk tokoh sampingan karena aktor utamanya pasti sudah pilihan. Lihat film-film Miles Films sebelumnya tidak main-main kan, ada Nicholas Saputra dan sebagainya. Besok-besoknya tes screen lagi dan lama-lama skripnya kok makin tebal. Ternyata saya di-cast jadi tokoh utama. Novel Melangkah adalah kombinasi itu semua: lolos casting, syuting ke Sumba, mati lampu, krisis ekonomi, dan satu lagi, action atau berantemnya harus ada. Kebetulan dulu saat SMA dan kuliah saya menekuni pencak silat sampai kejurnas sehingga paham bagaimana adegan itu terbentuk dan bagaimana perkelahian terjadi. Saya buat berbeda pencak silatnya di novel dengan beberapa kombinasi. Untuk riset Melangkah saya tinggal di Sumba sekitar 4 bulan. Di sana ada banyak savana luas, kuda ada di mana-mana, dan ada kerajaan-kerajaan kecil. Saya belajar seperti apa tokoh-tokohnya, karakter dan tingkah lakunya ketika kecil.”

“Novel Melangkah ini judulnya demikian karena penulisnya juga melangkah dari genre yang selama ini nyaman ke tidak nyaman. Tokoh utamanya juga mahasiswa yang baru lulus dan memang melangkah keluar dari rumah. Selama ini mereka di rumah saja, tidak diizinkan ngapa-ngapain oleh orang tuanya. Pesannya adalah, padahal anak muda itu diharapkan oleh orang tuanya untuk menjadi manajer di kantor, tetapi di rumah mau melakukan sesuatu saja dimarahi terus, bernegosiasi di rumah saja tidak bisa,” kata JS Khairen menyentil pola pengasuhan sebagian orang tua.

Bicara soal orang tua, JS Khairen percaya bahwa tingkat literasi negeri ini bisa didukung oleh aktivitas membaca di tingkat keluarga.

“Saya sendiri bukan kutu buku. Saya setiap hari main sepeda, main ke sungai, main layang-layang. Cuma, karena ayah saya wartawan, jadi saya banyak membaca koran dan buku. Dari kecil saya sudah baca Sejarah Tuhan dan buku tentang Soekarno. Sekali sebulan Ayah mengajak kami ke Gramedia. Kami mendapatkan jatah buku. Kalau sedang ada dananya, boleh dua buku. Kalau sedang tidak ada uang, kami cuma menumpang baca. Lama-lama bukunya banyak dan kami membuat perpustakaan kecil di desa.” Ayahnya adalah Khairul Jasmi, jurnalis senior yang kini menjabat sebagai pimred harian Singgalang, juga penulis beberapa buku (salah satunya buku Perempuan yang Mendahului Zaman).

Bagi Bang JS, sebetulnya minat baca masyarakat itu cukup besar. Hanya saja, yang kurang adalah akses dan pilihannya. Maka kemunculan komunitas membaca buku seperti Jakarta Book Party dan kegiatan serupa di kota lain yang banyak diikuti oleh generasi Z patut diapresiasi.

“Kalau anak sekarang sudah telanjur tidak suka membaca, ajak ke toko buku supaya memilih sendiri sesuka dia. Jadi orang tua berperan untuk minat baca anak. Untuk memancing bebaskan anak memilih bacaan yang seperti apa, bisa novel, lucu-lucuan, cerita komik yang seru, mulai dari sana. Atau kalau masih lumayan kecil anaknya, orang tua yang bacakan, cari yang seru dan coba didramatisir sendiri di rumah. Atau bisa dengan bermain peran seperti main bajak laut mencari harta karun. Ini bisa menjadi pintu masuk untuk mengajak anak mengenal literasi. Di masa depan semuanya sudah serbalengkap, AI makin canggih, maka yang dicari adalah leadership manusia yang punya skill yang sophisticated. Termasuk skill membaca, mendengarkan, dan storytelling. Kalau anak sukanya main game, ajak cerita saja. Misalnya di game itu ada hero, bagaimana kalau tokoh ini diubah menjadi karakter manusia modern,” pesan bapak dua anak ini.

“Oh ya, dan satu lagi. Jika teman-teman belum menikah, carilah pasangan yang suka baca buku. Jadi nanti di rumah punya perpustakaan pribadi. Saya melihat generasi milenial yang baru punya anak datang ke acara bedah buku saya di Gramedia, di mana-mana. Padahal biasanya yang datang usia-usia pelajar dan mahasiswa. Sekarang sudah ada yang datang dengan membawa anak. Usianya 20-an akhir, 30-an awal, memang ini usia-usia “balas dendam”. Waktu kecil tidak punya uang, sekarang begitu punya uang maka mereka borong buku.”

Secara umum, ia juga menyarankan untuk membaca minimal dua buku per bulan.

“Satu fiksi, satu nonfiksi. Nonfiksi untuk kepala, fiksi untuk hati. Kita lihat perbedaan isi kepala teman-teman dalam 3-4-5 bulan ke depan,” tegasnya. Bahkan di tengah pesathya perkembangan teknologi yang menbawarkan unggahan berdurasi pendek, Bang JS yakin budaya membaca akan tetap lestari.

“Aktivitas membaca itu akan selalu ada. Katakanlah suatu saat buku itu punah, budaya bercerita masih akan ada. Dari zaman manusia hidup di gua, kita sudah terbiasa menyampaikan cerita dan berita lewat tuturan. Misalkan suatu saat nanti kita sudah menjelajah sampai Planet Mars, mungkin hidup kita sudah bukan berbentuk fisik lagi, tetapi sudah menjadi algoritma kuantum, kita akan terus bercerita. Mungkin buku secara fisik bisa punah tapi buku dalam bentuk lain tidak akan.” pungkasnya.

Leave a comment