
Oleh Raisa Zulqaisar (tatlerasia.com)
Mungkin terdengar seperti pertanyaan biasa—“Apakah kamu sudah makan?”—namun di banyak rumah tangga di Asia, ini adalah cara untuk mengungkapkan rasa cinta.
Di balik dua kata sederhana itu terdapat tradisi yang mengakar dalam mengekspresikan kepedulian, tradisi yang melampaui generasi. “Dah makan?” bukan sekadar basa-basi atau kebiasaan sopan—melainkan singkatan budaya untuk kasih sayang, perhatian, dan cinta kekeluargaan.
Di rumah-rumah, frasa ini seringkali menggantikan ungkapan emosi langsung. Begitulah cara kakek-nenek menyambut Anda di pintu depan, bagaimana orang tua menunjukkan perhatian ketika kata-kata tak mampu diungkapkan, dan bagaimana saudara kandung dan teman-teman diam-diam bertanya apakah Anda baik-baik saja. Ada kehangatan tersendiri dalam pertanyaan yang begitu sederhana, yang dengan mudah masuk ke dalam percakapan—namun maknanya tetap abadi.
Dari semangkuk mi hangat di hari hujan hingga sepiring hidangan favorit yang tersaji di meja, pesannya selalu sama: kamu berarti bagiku. Dan terkadang, “Dah makan?” adalah satu-satunya cara kita tahu untuk mengungkapkannya.
Bahasa yang sama lintas batas
Di seluruh wilayah, frasa ini memiliki bentuk yang berbeda-beda tetapi menyampaikan emosi yang sama. Di Indonesia, frasa ini adalah “Sudah makan belum?”. Di rumah tangga Tionghoa, Anda mungkin mendengar “Sek fan mei?” atau “Jiak ba buay?”—semuanya memiliki makna yang sama: kamu berarti bagiku.
Ketika nenekmu bertanya, “Dah makan?”, ia bukan sekadar memeriksa jadwal makanmu. Itu berarti ia sedang memikirkanmu. Ia khawatir kau lelah. Ia bertanya-tanya apakah tubuhmu sudah terisi, jiwamu sudah tercukupi. Itu adalah pelukan tiga suku kata. Itu juga merupakan gestur tanpa pamrih: memeriksa apakah kau sudah makan, memasak hidangan favoritmu—meskipun mereka sendiri tidak akan memakannya.
Mengapa hal ini sangat berarti
Bagi generasi yang lebih tua, terutama di Asia Tenggara, cinta jarang diungkapkan secara langsung. “Aku mencintaimu” bukanlah sesuatu yang mereka ucapkan atau dengar saat tumbuh dewasa. Emosi ditunjukkan, bukan diucapkan.
Tindakan memberi makan, menawarkan makanan, atau bahkan mengingatkan seseorang untuk makan menjadi bentuk kepedulian yang paling utama. Begitulah cara nenek kita mengasuh, kakek kita melindungi, dan orang tua kita mengasuh. Namun, hal ini mudah diabaikan. Di tengah kesibukan kehidupan modern, kita mungkin memutar bola mata ketika ibu menelepon hanya untuk menanyakan apakah kita sudah makan. Kita mungkin mengabaikannya, menjawab dengan cepat “Ya,” lalu melanjutkan hidup. Tetapi bagaimana jika kita berhenti sejenak untuk menyadari apa yang tersembunyi di baliknya?
Dalam banyak hal, “dah makan?” adalah penanda waktu. Ia membawa kita kembali ke masa kecil—denting panci dan wajan yang familiar di dapur, aroma bawang goreng yang tercium di udara, suara sandal yang digeser ke arah kita dengan piring di tangan. Ia mengingatkan kita pada masa-masa yang lebih sederhana, ketika cinta disajikan dengan hangat dan seringkali tanpa kata-kata.
Ini lebih dari sekedar salam
Keindahan “dah makan?” adalah ia tidak meminta apa pun dari Anda—melainkan menawarkan segalanya. Ia adalah sebuah kunjungan. Sebuah momen kehadiran. Di dunia yang bergerak semakin cepat setiap harinya, ia memperlambat segalanya.
Beberapa orang mungkin menganggapnya basa-basi. Tapi, jika kamu memejamkan mata, kamu mungkin akan mengingatnya—bagaimana nenekmu memanggilmu pulang setelah bermain di luar, sudah menyendok nasi ke piringmu. Bagaimana ibumu masih mengirimimu pesan pukul 1 siang: “Makan siang?”. Bagaimana ayahmu selalu mendesakmu untuk mengambil potongan terakhir steak wagyu, meskipun diam-diam ia menginginkannya untuk dirinya sendiri. Kamu tak perlu bertanya. Kamu sudah tahu. Ini cara mereka mengatakan: Aku di sini, dan aku ingin kamu baik-baik saja.
Warisan cinta
Di dunia saat ini, mungkin lebih mudah untuk mengatakan “Aku mencintaimu” dengan lantang, dan itu adalah hal yang indah. Namun bagi banyak dari kita, warisan “dah makan?” tetap hidup. Itu adalah sesuatu yang kita bawa. Sebuah frasa yang suatu hari nanti akan kita ucapkan kepada anak-anak kita sendiri, atau bahkan kepada orang tua kita—bukan hanya untuk memastikan mereka sudah makan, tetapi untuk memberi tahu mereka, tanpa perlu menjelaskan: Kamu dicintai.
Jadi, lain kali ada yang bertanya apakah kamu sudah makan, luangkan waktu sejenak. Dengarkan apa adanya: sebuah tradisi, kelembutan, dan cinta yang abadi. Karena suatu hari, mungkin kamu yang ada di meja dapur, menyendok bubur ayam ke dalam mangkuk dan bertanya kepada orang tuamu, “Sudah makan?”
Dan begitu saja, warisan itu berlanjut—bukan dengan sebuah deklarasi, melainkan dengan sebuah pertanyaan yang berarti segalanya.
catt: Bahasa Minang: Lah Makan?
Bahasa Jawa, banyak variasi berdasarkan tingkatan bahasa (copas dari beberapa sumber)
- Sopan: Sampun maem dereng?
- Sopan sekali: Sampun dhahar nopo dereng?
- Standar: Pun maem dereng?
- Tidak sopan: Uwis maem rung
- Tidak sopan: Uwis madang/mangan urung?
- Tidak berakhlak: Wis mbadog urung?
- Versi barbar: Kowe wis nguntal apa urung? 😀
- Versi sahabat: wez mangan urung cok
- Krama inggil: Jenengan sampun dhahar nopo dereng?
- Krama lugu: sampean sampun nedha nopo dereng?
- Ngoko: kowe uwes mangan opo durung?
Jika ingin menanyakan “kamu sudah makan?” dalam Bahasa Jawa, bisa memilih salah satu dari tingkatan di atas, tergantung pada situasi dan siapa yang diajak bicara.
