sumber: wikipedia+historia.id
Letnan Kolonel (Purn). Dr.(HC). H. Masagus Nur Muhammad Hasjim Ning atau Hasjim Ning (lahir di Nipah, Padang, 22 Agustus 1916) adalah seorang pengusaha asal Indonesia, keponakan Bung Hatta. Pada masa kejayaannya ia pernah disebut sebagai “Raja Mobil Indonesia” oleh sejumlah media nasional. Selain dijuluki sebagai “Raja Mobil Indonesia”, ia termasuk salah satu pendiri PT Pembangunan Jaya.
Kehidupan
Hasjim merupakan seorang perantau Minangkabau yang datang ke Jakarta pada tahun 1937. Tetapi, dua tahun kemudian, ia sudah ditunjuk sebagai perwakilan NV Velodrome Motorcars di Tanjung Karang, Lampung. Setelah itu, menjadi pemborong tambang batu bara di Tanjung Enim tahun 1941. Hasjim Ning kembali lagi ke Jawa, menjadi administratur perkebunan teh dan kina di Cianjur ketika terjadi perang. Karena bercita-cita menjadi tentara walaupun tidak direstui orang tua, ia pun ikut mengangkat senjata di Cianjur, Bandung Selatan, pada tahun 1945. Lima tahun kemudian, ia pensiun dengan pangkat terakhir letnan kolonel.
Hasjim kecil mendapat pendidikan cukup keras dari orangtuanya. Usai sekolah ia harus mengaji, dengan guru yang dipanggil ke rumah. Kini ia mencontoh cara itu untuk mendidik anak-anaknya. Pengusaha yang mendapat gelar Dr.H.C. untuk Ilmu Manajemen dari Universitas Islam Sumatera Utara ini pernah aktif berpolitik.
Haji Masagoes Noer Moechamad Hasjim Ning, 79, meninggal pada 26 Desember 1995 di RS Medistra, Jakarta, setelah sebelumnya dirawat karena keluhan jantung dan ginjal.

“Pasang Surut Pengusaha Pejuang” adalah otobiografi Hasjim Ning, yang menceritakan perjalanan hidupnya sebagai seorang pengusaha dan pejuang kemerdekaan Indonesia, ditulis bersama A.A. Navis. Buku ini diterbitkan oleh Pustaka Grafitipers pada tahun 1986 dan berisi kisah tentang karir Hasjim Ning yang dimulai sebagai pemilik usaha perbengkelan Jakarta Motor Service, kemudian menjadi pengganti Presiden Direktur ISC.
ISC adalah Indonesian Service Company, sebuah perusahaan negara perakitan mobil yang didirikan pada awal kemerdekaan Indonesia, dan Hasjim Ning ditunjuk sebagai Presiden Direktur menggantikan Tan Goan Po atas permintaan Margono Djojohadikusumo, yang kemudian populer sebagai “Raja Mobil” Indonesia karena kepiawaiannya di bidang otomotif.
Siapa Hasjim Ning? Lahir dengan nama Masagoes Noer Moechammad Hasjim Ning pada 22 Agustus 1916 di Nipah, Padang, Sumatera Barat. Merupakan kerabat Bung Hatta karena kakeknya, Haji Ning, adalah ayah tiri Bung Hatta. Pada masa revolusi kemerdekaan, ia ikut berjuang dan mencapai pangkat terakhir Letnan Kolonel.
Buku ini berkisah mengenai awal mula Hasjim Ning dalam dunia usaha sebagai pengusaha di bidang perbengkelan. Perjalanannya menjadi seorang pemimpin di ISC, sebuah posisi yang ia dapatkan atas saran Margono Djojohadikusumo. Buku ini menjadi bukti perjalanan hidupnya yang penuh lika-liku, baik dalam bisnis maupun perjuangan kemerdekaan.

Hasjim Ning (tengah) bersama Presiden Sukarno dan Gubernur DKI Sumarno meninjau maket Hotel Banteng yang kini bernama Hotel Borobudur (repro “Pasang Surut Pengusaha Pejuang”)
#1
HASJIM Ning, keponakan Bung Hatta yang menjadi pengusaha nasional berjuluk “Raja Mobil Indonesia”, menyaksikan bagaimana banyak “serigala” di sekitar Presiden Sukarno ketika si bung berkuasa. Demi mencari muka dan tempat di hati presiden, para “serigala” itu saling memangsa kendati di permukaan terlihat selalu mesra.
“Tradisi yang menjadi anggapan umum itu juga menjadi pedoman kerja para petugas intel dari berbagai instansi keamanan dan juga bagi instansi yang mengeluarkan izin, izin apa saja. Terutama oleh kalangan entrepreneur yang tidak mempunyai dukungan kekuatan politik, kondisi itu akan sama dengan penempatannya sebaga ‘mangsa’ yang setiap saat akan diserbu oleh para serigala yang kelaparan, yang sudah lama mengintai waktunya untuk melahap,” kata Hasjim dalam otobiografinya Pasang Surut Pengusaha Pejuang.
Sikap menjilat itulah yang membuat orang-orang non-politik yang bersabahat dengan Sukarno seperti Hasjim kerap jadi korban. Meski persahabatannya dengan presiden murni secara personal, Hasjim tak aman dari “terkaman” para serigala lantaran sebagai keponakan Bung Hatta, yang sering dianggap lawan politik pemerintah. Hasjim kerap ketiban sial oleh intrik atau insinuasi orang-orang yang tak suka pada dirinya ataupun Bung Hatta.
“Suatu hari aku ‘terkena larangan’ menemui Bung Karno. Yang melarangku masuk dan menemui Bung Karno ke Istana adalah Kolonel Sabur, ajudan presiden sendiri,” sambung Hasjim. “Saudara tidak dibenarkan lagi masuk Istana, karena Suadara keponakan Hatta, lawan presiden,” kata Sabur sebagaimana dikutip Hasjim.
Akibat larangan itu, enam bulan Hasjim tak pernah lagi ke Istana dan bertemu Sukarno. Keduanya baru kembali bertemu setelah menghadiri makan siang bersama antara presiden dan IPKI, partai politik yang ikut disokong Hasjim pada awal 1950-an.
Sukarno kaget ketika di antara penyambutnya terdapat Hasjim. Saat berjabat tangan, Sukarno langsung menanyakan kenapa Hasjim tak pernah lagi ke Istana. Pertanyaan itu dijawab Hasjim dengan pemberitahuan bahwa dirinya dilarang Kol. Sabur.
Jawaban Hasjim jelas membuat Sukarno kaget. Dia langsung marah pada Sabur yang berada di dekatnya. “Siapa yang kasih perintah sama kamu?” kata Sukarno bertanya kepada ajudannya.
Sabur yang ketakutan pun menjawab sambil gelagapan bahwa larangan yang dikeluarkan terhadap Hasjim diambil atas inisiatifnya karena Hasjim merupakan keponakan Bung Hatta yang saat itu merupakan lawan politik Sukarno.
Jawaban Sabur membuat presiden makin naik pitam. “Jangan kamu campur adukkan masalahku dengan Bung Hatta. Betul aku tidak suka pada sikap politiknya, tapi dia adalah sahabat baikku, tahu?”
Sabur langsung mengambil sikap sempurna dan menyatakan kesiapannya begitu mendengar perkataan Sukarno.
“Aku tidak suka kamu larang-larang Hasjim datang ke Istana. Kapan dia suka, dia boleh datang!”
Begitulah Sukarno yang diketahui Hasjim. Ia hampir selalu “berkelahi” dengan Bung Hatta dalam soal politik, namun tak pernah terima bila kehidupan pribadi Hatta diusik orang.
Saking pahamnya terhadap Sukarno, Hasjim langsung menemui sang presiden begitu mendengar di masyarakat terlontar isu Bung Hatta akan ditangkap tak lama setelah Bung Hatta mengkritik penguasa lewat tulisannya, “Demokrasi Kita”.
“’Demokrasi Kita’ ditulis Bung Hatta pada tahun 1960 dan dimuat dalam Pandji Masjarakat, dengan Buya Hamka sendiri sebagai pengawas pencetakannya, meneliti sampai titik-komanya, tidak boleh ada salah cetak sedikitpun, untuk menyesuaikan dengan kebiasaan Bung Hatta yang selalu correct,” tulis Sri Edi Swasono dan Fauzie Ridjal dalam Satu Abad Bung Hatta: Demokrasi Kita, Bebas Aktif, Ekonomi Masa Depan.
Tulisan itu membuat Sukarno marah. Hasjim melihatnya sendiri ketika bertemu di Istana. “Hai, Hasjim, Hatta itu mau apa sebenarnya menulis begitu?” kata Sukarno, dikutip Hasjim. Namun karena Hasjim tak tahu dan menyuruh Sukarno bertanya langsung pada pamannya, kemarahan Sukarno pun reda dan keduanya kembali bercanda.
Yang pasti, tulisan itu dijadikan lawan-lawan politik Hatta untuk mencari simpati politik presiden. “Semua media massa yang memuat tulisan Bung Hatta itu diberangus oleh pemerintah. Sesungguhnya aku tidak percaya Bung Karno sampai mau memerintahkan pemberangusan itu. Meski tahu beberapa di antara media massa itu sangat tidak disukainya, aku percaya bahwa ada kekuatan politik tertentu yang meniup-niupkan api agar pemberangusan terjadi sehingga ketika yang berwenang melakukan pemberangusan itu, Bung Karno membiarkannya saja,” kata Hasjim.
Maka begitu bertemu Sukarno di Istana, Hasjim langsung menanyakan benar-tidaknya isu penangkapan Bung Hatta. “Bapak, aku tahu bahwa Bapak tidak pernah bertindak keliru dalam hal-hal yang prinsipil,” kata Hasjim membuka pembicaraan.
“Jadi, sekarang jij percaya bahwa aku telah melakukan kekeliruan?” jawab Sukarno untuk mendapatkan kejelasan maksud pertanyaan Hasjim.
“Ya, kalau Bapak menangkap Bung Hatta,” kata Hasjim.
Jawaban itu membuat Sukarno terperanjat. “Gila kamu bisa berpikir begitu. Tidak ada orang yang bisa berani-berani menangkapnya,” kata Sukarno setengah berteriak.
#2
BAGI dwitunggal Sukarno dan Moh. Hatta, politik adalah jalan untuk mewujudkan idealisme. Karena itu, keduanya kerap berdebat bahkan hingga ketika sudah sama-sama tak muda. Namun bagi keduanya, politik tak boleh memasuki ranah kehidupan pribadi. Maka kendati perdebatan kerap mewarnai perjalanan keduanya dalam kehidupan bernegara, hubungan pribadi dan keluarga Bung Karno dan Bung Hatta selalu baik dan hangat. Persahabatan keduanya merupakan kisah manis dalam perjalanan sejarah bangsa. Banyak orang menjadi saksinya.
Pengusaha Hasjim Ning, keponakan Bung Hatta yang kemudian menjadi sahabat Bung Karno, merupakan salah seorang yang paling sering menyaksikan persahabatan kedua proklamator itu. Persahabatan Bung Karno dan Bung Hatta bahkan sudah lebih dulu ada sebelum Hasjim mengenal Bung Karno.
Kisah itu terjadi pada 1938, ketika Hasjim mengerjakan tugas dari ayahnya yang menjadi pemegang proyek rehabilitasi jalan raya Bengkulu-Manna. Suatu hari, Hasjim mendapat telepon dari sang ayah yang mengatakan dirinya mendapat surat dari Bung Hatta di Banda Neira. Surat yang dibawa oleh orang Tionghoa rekan Bung Hatta dan ayah Hasjim itu memuat pesan Bung Hatta agar ayah Hasjim membantu keperluan Bung Karno selama di Bengkulu. Bung Hatta mendengar kabar Bung Karno dipindahkan tempat pengasingannya dari Ende ke Bengkulu.
Mendapat tugas untuk menemui tahanan politik di masa itu merupakan masalah tersendiri. Hasjim lalu mengutarakannya kepada Raden Mas Rasjid, orang yang ditunjuk ayah Hasjim mengepalai proyek tersebut. Rasjid, yang ternyata kenal Bung Karno sejak di Bandung, lalu mempertemukan Hasjim dengan Bung Karno dua hari kemudian.
Di rumah Bung Karno, Hasjim langsung disambut hangat sang tuan rumah. Dia langsung menjelaskan maksud kedatangannya. Namun alih-alih merespon maksud kedatangan Hasjim, Bung Karno justru menyatakan yang lain.
“Wah, Hatta masih memikirkan aku. Tapi bagaimana dengan dia sendiri?” kata Bung Karno, dikutip Hasjim dalam memoarnya, Pasang Surut Pengusaha Pejuang.
Mereka pun terlibat obrolan panjang, mulai dari penjelasan hubungan saudara antara Hasjim dan Bung Hatta hingga hal-hal lain. Upaya pemberian bantuan Hasjim baru direspon Bung Karno setelah itu. “Aku perlu sepeda dan topi helm. Topi helm berwarna gading tua. Bukan cokelat,” kata Bung Karno.
“Tak ada yang lain, Bung?” tanya Hasjim.
“Tiga helai kemeja. Mereknya Van Huizen.”
Tak berapa lama kemudian, Hasjim pun mewujudkan permintaan itu.
Kebaikan itu tak pernah dilupakan Bung Karno. Saat keduanya kembali bertemu, pada masa pendudukan Jepang di rumah Bung Hatta di Oranje Boulevard 57, Bung Karno menceritakan itu semua di depan Hatta. Bung Hatta hanya berkomentar singkat dan datar.
“Ya, kebetulan sekali ada seorang kenalanku, pedagang Cina yang waktu itu mau ke Palembang menemui kakeknya yang sedang sakit,” kata Bung Hatta.
Jauh setelah itu, saat Indonesia sudah merdeka, Sukarno dan Hatta bahu-membahu menghadapi lawan-lawan politik baik dari luar maupun dalam. Toh, keduanya akhirnya berpisah jalan setelah Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden. Bung Hatta tidak setuju konsep Demokrasi Terpimpin yang diperjuangkan Bung Karno.
Namun, hubungan pribadi keduanya tetap berjalan baik. PM Ali Sastroamidjojo, kawan kedua bung sejak muda, menuliskan kesaksiannya tentang itu dalam otobiografi berjudul Tonggak-Tonggak di Perjalananku. “Oleh karena saya mengenal baik Bung Karno maupun Bung Hatta sudah begitu lama, saya menghubungi mereka tidak sebagai Perdana Menteri, melainkan secara pribadi dan sebagai kawan lama. Lebih dahulu saya datang kepada Bung Karno,” kata Ali.
Di rumah presiden, Ali menanyakan apakah keretakan Bung Karno dan Bung Hatta disebabkan sentimen pribadi. “’Saya anggap Hatta sebagai saudara kandung saya sendiri,’ kata Bung Karno, ‘yang saya tidak dapat menyetujui hanya pemandangan politiknya.’ Dari Bung Karno saya mengunjungi Bung Hatta, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan sama seperti yang saya tanyakan kepada Bung Karno. Jawaban Bung Hatta pun hampir sama dengan jawaban Bung Karno,” sambung Ali.
Hatta akhirnya tetap mengundurkan diri. Namun, fasilitas pengawalan dan penjagaan rumah tetap didapatkannya dari negara. “Bung Karno memerintahkan kepada saya agar Bung Hatta tetap dikawal seperti biasa,” kata AKBP Mangil Martowidjojo, komandan Polisi Pengawal Pribadi Presiden dan Wakil Presiden, dalam memoarnya Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1967.
“’Bung Hatta adalah seorang proklamator negara Indonesia,’ kata Bung Karno. Bung Karno juga berkata, ‘Presiden dan Wakil Presiden RI, dapat diganti setiap saat menurut kehendak rakyat, tetapi proklamator negara RI tidak dapat diganti oleh siapapun. Maka dari itu, jagalah Bung Hatta baik-baik, sebagai penghormatan bangsa Indonesia kepada Bung Hatta’,” kata presiden, dikutip Mangil.
Namun, fasilitas itu ternyata hanya berjalan sampai pengujung 1959. Menteri Keamanan Nasional/KSAD Jenderal AH Nasution selaku pelaksana tertinggi UU Kedaan Darurat Perang memerintahkan penarikan pasukan penjagaan untuk Bung Hatta. Perintah itu dijalankan Mangil dan anak buahnya, mereka berpamitan kepada Bung Hatta pada 27 November.
“Dalam acara pamitan ini maka Bung Hatta pesan kepada saya, agar Bung Karno dijaga baik-baik. Menurut Bung Hatta, Bung Karno adalah pemersatu bangsa Indonesia. ‘Tetapi kamu harus hati-hati kepada orang-orang yang mengelilingi Bung Karno’,” tulis Mangil.
Mendengar hal itu dari Mangil, Sukarno pun amat kecewa. “Bung Hatta kan proklamator negara RI, Bung Hatta kan berhak mendapat kehormatan pengawalan,” kata Bung Karno.
#3
Kisah Hasyim Ning Mengenai Bung Hatta dan Sepeda Fongers Bung Karno
Hasyim Ning, pengusaha besar di zaman Orde Lama dan Orde Baru, mengenal Bung Karno pertama kali di Bengkulu. Ayah Hasyim Ning yang bernama Masagus Ismail Ning adalah seorang pengusaha terkenal di Palembang. Kakek Hasyim Ning, Masagus Haji Ning, juga pengusaha terkenal di Palembang sampai ke Padang. Hasyim Ning menceritakan kisah pertama kali dia bertemu Bung Karno di Bengkulu di buku “Pasang Surut Pengusaha Pejuang”.
Pada tahun 1938 ayah Hasyim Ning mendapat borongan merehabilitasi jalan antara Bengkulu dan Manna. Hasyim Ning diberi tugas oleh ayahnya untuk membawa uang pembayar gaji pekerja dan membeli bahan-bahan yang diperlukan untuk proyek rehabilitasi jalan tersebut. Selain itu, Hasyim juga diminta mengawasi dan memeriksa perkembangan pekerjaan proyek.
Pada suatu hari ayah Hasyim menelpon ketika Hasyim sedang berada di Bengkulu. Ayah Hasyim mengatakan bahwa Bung Hatta mengirim surat memberitahu bahwa Bung Karno sudah dipindahkan pengasingannya ke Bengkulu. Bung Hatta meminta jika ada kelapangan rezeki agar dapat membantu keperluan Bung Karno. Ayah Hasyim Ning bangga punya kerabat seperti Bung Hatta. Karena itu dia segera menelpon Hasyim Ning untuk menemui Bung Karno.
Menemui orang buangan seperti Bung Karno tentu tidak mudah. Untung saja pengelola proyek yang diperkerjakan ayah Hasyim adalah seorang opzichter yang telah diberhentikan oleh pemerintah kolonial Belanda karena aktif berpolitik. Namanya Raden Mas Rasyid. Hasyim lalu menyampaikan pesan ayahnya kepada Raden Mas Rasyid, dan kesulitan nya menemui Bung Karno. Rupanya Raden Mas Rasyid sudah kenal Bung Karno sejak di Bandung. Dia juga sudah beberapa kali bertamu ke rumah Bung Karno.
Dua hari kemudian, hari Minggu Hasyim bersama Raden Mas Rasyid berkunjung ke rumah Bung Karno. Bung Karno menyambut dengan ramah, begitu juga ibu Inggit. Menurut Hasyim, dia sudah sering melihat gambar Bung Karno di koran2 dengan sorot mata yang bagus. Ternyata Bung Karno jauh lebih charming daripada gambarnya.
Wah Hatta masih memikirkan aku kata Bung Karno setelah Hasyim Ning menyampaikan pesan Bung Hatta. Lalu bagaimana pula keadaan Bung Hatta tanya Bung Karno. Hasyim menjawab tidak tahu, karena ayahnya tidak ada menyebut tentang keadaan Bung Hatta.
Bung Karno belum menjawab pesan Bung Hatta kepada ayah Hasyim. Bung Karno menanyakan bagaimana hubungan Hasyim Ning yang keturunan Palembang dengan Bung Hatta yang berasal dari Minangkabau. Hasyim menjelaskan silsilah kakeknya dan pertemuan kakeknya dengan ibu Bung Hatta.
Hasyim lalu mengulangi lagi pesan Bung Hatta melalui ayahnya. Bung Karno tidak menjawab, tapi menanyakan bidang usaha ayah Hasyim. Hasyim menjawab apa adanya.
Akhirnya setelah mengetahui usaha ayah Hasyim Ning, Bung mengatakan bahwa dia memerlukan sebuah sepeda dan topi helm. Sepedanya merek Fongers, kata Bung Karno. Fongers adalah sepeda buatan Belanda yang sedikit dibawah merek Releigh buatan Inggris.
Tidak ada yang lain Bung, tanya Hasyim.
Tiga helai kemeja merek Van Huizen, jawab Bung Karno.
Barang-barang- kebutuhan Bung Karno tersebut segera dikirimkan oleh ayah Hasyim Ning.
#4
HASJIM Ning, pengusaha-sahabat Presiden Sukarno sekaligus keponakan Wapres Moh. Hatta, selalu ingat pribadi Hatta sangat teguh memegang prinsip. Salah satu prinsip yang teguh dipegang Hatta adalah ketidakmauannya menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi.
“Misalnya, pada suatu hari di awal tahun 1950, Bung Hatta yang telah begitu lama tidak ketemu dengan ibundanya sudah demikian rindunya. Aku disuruh menjemput ke Sumedang,” kata Hasjim dalam otobiografinya, Pasang Surut Pengusaha Pejuang.
Bagi Hasjim, permintaan Bung Hatta kurang sesuai dengan adat ketimuran. Hasjim menyarankan Bung Hatta mengirimkan mobil dinasnya untuk menjemput sang ibu jika Bung Hatta tak punya waktu. Dengan menunjukkan bakti kepada ibunya begitu, Hasjim yakin sang ibu pasti bangga.
“Tidak bisa. Pakai saja mobil Hasjim,” jawab Bung Hatta. “Mobil itu bukan kepunyaanku. Mobil itu milik negara.”
Hasjim yang bingung dengan sikap pamannya itu pun mau-tak mau menurutinya. Kebingungan itu pula yang dirasakan Hasjim ketika suatu kali menemui Bung Hatta dan menjelaskan keinginannya untuk berderma.
“Oom,” kata Hasjim, “perusahaanku ingin menyumbang, karena memperoleh untung lumayan tahun ini. Siapa menurut Oom yang perlu dibantu?”
“Hasjim tentu lebih tahu. Kasihkan padanya,” jawab Bung Hatta singkat dan datar.
“Baik juga kalau ada yang Oom calonkan,” kata Hasjim terus mengejar.
“Coba Hasjim tanya Margono!”
Hasjim lalu menemui Margono Djojohadikusumo, pendiri Bank Negara Indonesia (BNI) sekaligus ayah ekonom Soemitro Djojohadikusumo, yang dimaksud Hatta. Margono merupakan pendiri sekaligus ketua Yayasan Bung Hatta, yayasan yang bergerak di bidang perpustakaan. Kepada Margono, Hasjim menceritakan soal pembicaraannya dengan Hatta.
Margono langsung tertawa begitu mendengar penjelasan Hasjim. “Bung Hatta, Bung Hatta. Untuk menyebut yayasan yang memakai namanya saja ia tidak mau. Ia malah menyuruh Hasjim kepadaku sebagai ketua yayasan,” kata Margono, dikutip Hasjim.
Sebagai salah seorang sahabat dan pernah menjadi bawahan Hatta di Departemen Urusan Perekonomian semasa pendudukan Jepang, Margono tahu betul pribadi Hatta. “Ia seorang yang keras memegang ajaran dan hukum agamanya, tanpa fanatik dan mengganggu orang-orang lain. Di dalam sikap hidupnya ia selalu mendengarkan suara hati nuarninya dan sangat menghargakan waktu sampai kepada soal yang berkecil-kecil,” kata Margono dalam otobiografinya, Kenang-Kenangan dari Tiga Zaman: Satu Kisah Kekeluargaan Tertulis.
Penjelasan Margono pun membuka pintu lebih bagi Hasjim dalam memahami Bung Hatta. “Seringkali sikap Bung Hatta itu menyesakkan napasku karena aku tidak bisa mengerti. Kalau ingin mengetahui sikapnya, tak ada gunanya mengajaknya berdebat. Ia selalu punya alasan. Tapi yang terutama ia tidak pernah mau berubah dari pendiriannya semula,” kata Hasjim.
Keteguhan sikap Hatta itu makin membuat Hasjim enggan memanfaatkan kedekatannya dengan Bung Hatta untuk meminta katebelece. Namun, suatu ketika, keadaan memaksa Hasjim minta katebelece kepada Bung Hatta. Hasjim memintanya untuk keperluan bisnisnya ke Amerika Serikat (AS). Pasalnya, Kedutaan Besar (Kedubes) AS di Jakarta baru akan memberinya visa jika ada jaminan dari dua orang terkemuka Indonesia.
Hasjim langsung mendatangi Bung Hatta usai mendapat pemberitahuan dari Kedubes AS. Dia yakin bakal mendapatkan apa yang diinginkannya dari Bung Hatta mengingat perjalanan bisnisnya juga menyangkut kepentingan negara.
Setelah menceritakan duduk perkaranya, Hasjim meminta jaminan tertulis kepada Bung Hatta. Alih-alih mendapatkannya, Hasjim justru ditanya balik oleh Bung Hatta.
“Mengapa tidak Hasjim minta pada presiden direktur Chrysler saja?” kata Bung Hatta.
“Akan memakan waktu lama, Oom,” jawab Hasjim menjelaskan lamanya proses surat-menyurat formal Indonesia-AS saat itu yang bisa memakan waktu sebulan.
“Tidak mengapa menunggu.”
#5
Bung Karno Kehilangan Koper di Bukittinggi
Ketika tentara Jepang masuk, Belanda membawa Bung Karno ke Padang. Selama di Sumatra Barat Bung Karno sempat tinggal di Bukittinggi. Ketika di Bukittinggi Bung Karno menginap di rumah temannya di jalan Syech Bantam dekat pasar Bukittinggi. Hasyim Ning seorang pengusaha besar di era Orde Lama dan Orde baru menceritakan kisah hilangnya koper bu Inggit, istri Bung Karno waktu itu, di Bukittinggi dalam buku “Pasang Surut Pengusaha Pejuang”.
Karena jalan Syech Bantam itu ramai banyak pemuka masyarakat dan rakyat lainnya mengunjungi rumah tempat Bung Karno menginap tersebut. Di antara pengunjung ada yang memanfaatkan situasi itu. Dia sengaja datang untuk mencuri. Pencuri ini berhasil mengambil sebuah koper berisi perhiasan bu Inggit. Mengetahui kopernya hilang bu Inggit panik karena banyak perhiasan berharga miliknya dalam koper tersebut.
Mengetahui koper istrinya hilang, Bung Karno menyampaikannya kepada Anwar Sutan Saidi, pendiri Bank Nasional. Bukittinggi pun gempar, karena berita hilangnya koper bu Inggit istri Bung Karno.
Kabar hilangnya koper bu Inggit ini sampai pula kepada Inyiak Jambek ulama besar di Minangkabau, yang juga mertua dari adik Bung Hatta lain ibu. Beliau lalu memanggil tokoh preman di kota Bukittinggi. Kepada tokoh preman tersebut Inyiak Jambek minta supaya dicari orang yang mengambil koper bu Inggit tersebut dan mengembalikan koper itu lengkap dengan isinya. Membuat malu orang Bukittinggi saja pencuri itu, kata Inyiak Jambek. Dua hari kemudian si tokoh preman menyerahkan koper ibu Inggit lengkap dengan isinya kepada Inyiak Jambek. Rupanya isi koper sudah berpindah tangan, karena itu perlu waktu untuk mencarinya kembali.
Inyiak Jambek kemudian mendatangi Bung Karno untuk menyerahkan koper bu Inggit lengkap dengan isinya.
