Akar Masalah MBG · Makan Bergizi Gratis

sumber: IG tentanganak+kompas.id

Presiden Prabowo Subianto berpidato tentang keracunan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG). Ia mengakui adanya kekurangan. Namun, data statistik yang disampaikannya justru berpotensi mengecilkan persoalan daripada menyelesaikan akar masalahnya.

”Ada kekurangan, ada keracunan, ini kita benahi. Tapi, dari segi statistik, dibandingkan dengan yang sudah kita hasilkan ternyata penyimpangan, kekurangan, bukan penyimpangan sengaja, tapi katakanlah deviasi itu adalah ternyata 0,00017 persen,” ujar Presiden, Senin (29/9/2025).

Presiden tidak menyebut berapa nilai absolut dari 0,00017 persen itu. Namun, jika dihitung dari 30 juta penerima seperti yang disampaikannya, itu setara dengan kira-kira 51 kasus. Sementara jika dihitung dari 1 miliar porsi makanan yang dibagikan berarti 1.700 kasus.

Badan Gizi Nasional menyatakan, dari Januari hingga 22 September, terjadi 4.711 anak keracunan. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat, sebanyak 8.649 anak keracunan hingga 27 September 2025, dan jumlahnya terus bertambah.

Trik statistik

Dalam buku klasik How to Lie with Statistics (1954), Darrell Huff mengingatkan bahwa statistik bisa dipakai bukan untuk menyesatkan. Ada banyak trik dalam statistik.

Trik pertama false precision. Angka ”0,00017 persen” terdengar sangat presisi, seakan pemerintah punya data rapi, terverifikasi, dan akurat. Padahal, presisi tidak sama dengan akurasi.

Angka ini juga menimbulkan ilusi, padahal metode penghitungan tidak disebutkan. Kasus dihitung berdasarkan laporan siapa? Bagaimana dengan kasus yang tak terlaporkan? Padahal, masalah kesehatan dan keracunan yang terdata umumnya berupa puncak gunung es.

Trik kedua, memilih persentase dibanding angka absolut. Statistik relatif sering dipakai untuk mengecilkan masalah. ”Hanya menyebut 0,00017 persen” memberi kesan kecil. Padahal, dalam isu keamanan pangan, angka absolut jauh lebih etis. Satu anak keracunan di sekolah saja sudah serius. Apalagi bila jumlahnya ribuan, itu tanda kegagalan sistem.

Trik ketiga, permainan denominator. Menghitung persentase membutuhkan dua hal: numerator (jumlah kasus) dan denominator (jumlah populasi atau kejadian total). Masalahnya, denominator yang dipakai pemerintah tidak jelas. Apakah itu jumlah penerima manfaat, jumlah porsi makanan, atau jumlah distribusi paket?

Komunikasi yang mengecilkan masalah justru merusak kepercayaan publik.

Dengan bermain statistik seperti ini, kita akan mengabaikan banyak hal penting, mulai jumlah sesungguhnya kasus, tingkat keparahan, hingga berapa banyak anak yang mengalami trauma. Persentase tidak menjawab itu.

Selain itu, sebaran kasus juga menjadi sulit terlihat dengan baik. Apakah ribuan kasus ini tersebar tipis atau terkonsentrasi pada vendor tertentu? Jika tersebar luas dan berulang, berarti ada masalah sistemik yang harus segera ditangani pada vendor-vendor ini.

Masalah lain adalah rantai pasok. Apakah sumber keracunan dari bahan, proses dapur, atau distribusi? Berapa lama makanan disimpan sebelum dimakan? Atau berapa pemotongan biaya per porsi hingga sampai ke meja anak? Data ini jauh lebih penting daripada angka persentase, yang kalau diungkap jangan-jangan memang diperlukan perubahan sistem, termasuk mengapa MBG tidak dikelola sekolah dan melibatkan komunitas?

Anak bukan angka

Selain hal-hal yang tak diungkapkan dalam statistik, kita juga harus menyadari bahwa anak-anak adalah kelompok rentan terhadap penyakit bawaan makanan. Sistem imun mereka belum sekuat dewasa sehingga keracunan bisa cepat berujung pada keparahan atau bahkan kematian. Itulah mengapa program makan sekolah di banyak negara menganut prinsip zero tolerance untuk insiden keracunan.

Prinsip keamanan pangan ini meliputi standar HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point), sertifikasi dapur dan vendor, pelatihan higienitas juru masak, pengendalian suhu penyimpanan, pelacakan (traceability batch) makanan, hingga investigasi cepat setiap kasus.

Banyaknya kasus keracunan diduga karena MBG di Jateng membuat para siswa di sekolah itu khawatir. Namun, mereka meyakini bahwa kualitas makanan yang disajikan oleh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi yang menyuplai MBG ke sekolahnya baik. Pengecekan kualitas makanan juga lebih dulu dilakukan oleh guru dan kepala sekolah sebelum disajikan pada para siswa.

Semua ini dirancang agar insiden dicegah, bukan hanya diperkecil. Berikutnya, harus ada audit rutin vendor MBG, pelibatan sekolah dan orangtua, selain transparansi kasus harian.

Pertanyaannya, apakah standar ini sudah dijalankan dalam MBG? Dalam situasi krisis, pemerintah harus jujur, transparan, dan solutif. Komunikasi yang mengecilkan masalah justru merusak kepercayaan publik. Mereka ingin tahu, mengapa anak bisa keracunan, apa yang sedang diperbaiki, siapa yang bertanggung jawab.

Kita bisa belajar dari banyak negara lain, seperti Jepang atau Brasil. Program makan sekolah di kedua negara itu diawasi ketat, melibatkan orangtua, sekolah, komunitas, bahkan petani. Setiap kasus keracunan ditindak dengan investigasi terbuka. Publik diberi tahu, dapur bermasalah ditutup, dan sistem diperbaiki. Transparansi menjaga legitimasi.

(Ditulis oleh Ahmad Arif – Kompas.id)

Leave a comment