Jendela (Khaukhah) Sayyidah Hafsah

sumber: IG khazzanahtravel

“Khaukhah” berarti jendela kecil, terutama merujuk pada jendela-jendela di Masjid Nabawi yang dulu menghubungkan rumah sahabat Nabi Muhammad SAW dengan masjid.

Jendela di depan makam Nabi Muhammad ﷺ yang selalu terbuka selama 14 abad dikenal dengan nama “Jendela Ummul Mu’minin Hafsah RA”. Jendela ini terletak di samping Raudhah, di area makam Nabi Muhammad ﷺ di Masjid Nabawi, Madinah.

Jendela ini dulunya adalah bagian dari rumah Sayyidah Hafsah, istri Nabi Muhammad ﷺ, dan ia berwasiat agar jendela tersebut selalu terbuka sebagai bentuk kerinduannya kepada Nabi.

========

Jendela Kerinduan Yang Selalu Terbuka

sumber: kemenag.malangkota

Coba bayangkan bagaimana beratnya hati kita, andai tempat yang penuh berkah yang merupakan milik pribadi kemudian diminta untuk diikhlaskan menjadi ruang publik yang tidak lagi bisa dimanfaatkan sendiri lagi? Inilah yang terjadi pada Sayyidah Hafsah Binti Umar Ibn Khattab. Saat ayahnya dan sahabat-sahabat lain memintanya merelakan rumah yang ia tempati bersama Rasulullah Muhammad yang dipenuhi dengan keberkahan itu untuk perluasan masjid. Tentu saja tidak ada rayuan dan bujukan yang bisa meruntuhkan rindu Sayyidah Hafsah dan melepas keberkahan Rasulullah di rumahnya untuk orang banyak.

Setelah dirayu berkali-kali bahkan oleh Sayyidah Aisyah, akhirnya Sayyidah Hafsah merelakan rumahnya digunakan perluasan masjid dengan kompensasi rumah Abdullah Ibn Umar yang ada disebelahnya diberikan kepadanya dan dirumah itu dibuatkan jendela yang langsung mengarah ke maqam atau rumah Rasulullah.

Jendela itu tidak boleh ditutup agar Sayyidah Hafsah bisa terus memandangi rumah dan maqam Rasulullah setiap beliau inginkan. Persyaratan inipun disetujui dan hingga kini kita akan melihat jendela yang lurus dengan makam Rasulullah yang tidak pernah tertutup. Para ulama salaf bahkan menegaskan bila ingin mengetahui posisi pas wajah Rasulullah di maqamkan, maka wajah Rasulullah itu berada tepat di jendela yang selalu terbuka itu atau bila kepala kita tepat berada dibawah lampu yang berada di depan Syubbakul Muwaajahah Asy Syarifah/dinding depan kamar Rasulullah.

Dari kisah ini kita akan menyadari bila setiap kali kita melalui pintu babussalam untuk mengucap salam kepada Rasulullah Muhammad kita selalu melalui rumah Sayyidah Hafsah yang juga rumah Rasulullah. Jariyah Sayyidah Hafsah membuat kaki kita pernah menginjak di rumah Rasulullah. Disana ada jejak kaki manusia yang paling mulia, Rasulullah. Karenanya sudah sepantasnyalah seharusnya saat kita melalui tempat itu, kita melewati dan mengucap salam dengan adab dan perilaku yang baik. Habib Shalih Ibn Ahmad Ibn Salim Alaydrus dalam kitabnya Irsyad al-Hair ila adab wa ad-iyah musafir wa al-hajj wal mu’tamir wa zaair halaman 284-285 menegaskan; (bila memungkinkan) ditempat itu pejamkan mata, penuh penghormatan kepada beliau Rasulullah SAW dengan seluruh jiwa dan raga seolah-olah kita benar-benar melihat Rasulullah.

Jariyah Sayyidah Hafsah membuat tapak kaki kita menginjak tempat yang pernah diinjak dan didiami Rasulullah yang pasti menebar keberkahan. Moga Rasulullah menerima kita sebagai ummat dan menerima syafaatnya. Wallahu a’lam.

Jendela yang terbuat dari kayu berwarna cokelat dengan ukuran sekitar 2 x 1,5 meter ini memiliki cerita sejarah karena sudah 14 abad atau 1.400 tahun tidak pernah ditutup. Jendela ini dikenal dengan nama “Jendela Ummul Mu’minin Hafsah RA”.

Khaukhah (jendela) Sayyidah Hafsah merujuk pada jendela dari rumah Sayyidah Hafsah (salah satu istri Nabi Muhammad SAW) yang terletak di Masjid Nabawi, Madinah. Jendela ini menjadi terkenal karena tidak pernah ditutup selama lebih dari 14 abad. Jendela ini selalu terbuka menghadap makam Nabi Muhammad SAW, sebagai wasiat Hafsah yang penuh cinta, sebagai simbol kerinduannya yang abadi. 

Sejarah dan makna

  • Wasiat Hafsah: Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, Sayyidah Hafsah selalu membuka jendela rumahnya yang menghadap langsung ke makam suaminya. Ia berwasiat agar jendela itu tidak boleh ditutup atau diganti untuk selamanya. 
  • Tanda cinta dan kerinduan: Jendela tersebut menjadi simbol kerinduan abadi dan kesetiaan Sayyidah Hafsah kepada Nabi Muhammad SAW. 
  • Perluasan masjid: Ketika rumah Hafsah akan dihilangkan untuk perluasan Masjid Nabawi, ia menyetujuinya dengan syarat jendela tersebut tetap dipertahankan, tidak boleh ditutup atau diganti. 
  • Penghormatan: Hingga kini, jendela tersebut selalu dijaga oleh berbagai kekhilafahan, dinasti, hingga kerajaan yang berkuasa sebagai bentuk penghormatan kepada Sayyidah Hafsah. 

Lokasi dan kondisi saat ini

  • Lokasi: Jendela ini terletak di area makam Nabi Muhammad SAW di dalam Masjid Nabawi, berada di samping Raudhah. 
  • Kondisi: Meskipun tidak dilarang untuk dilewati, peziarah tidak bisa mendekat setiap saat karena pembatasan yang diterapkan menjelang salat lima waktu. Jendela ini, sebagaimana wasiat Hafsah, tetap terbuka hingga hari ini. 

sumber: IG benisatria_dr+almuhtada.org

Kisah Jendela Hafshah yang Tak Pernah Tertutup Sejak Wafatnya Nabi Muhammad

Di sudut kota Madinah, dekat Masjid Nabawi, terdapat sebuah rumah sederhana milik “Hafshah binti Umar” salah satu istri Nabi Muhammad ﷺ. Rumah itu memiliki “jendela kecil yang tak pernah tertutup”, bahkan setelah ratusan tahun berlalu.

Asal Mula Jendela yang Selalu Terbuka

Ketika Nabi Muhammad ﷺ masih hidup, beliau sering mengunjungi rumah Hafshah untuk beristirahat atau mengajarkan wahyu Allah. Suatu hari, Rasulullah ﷺ bersabda:

“Wahai Hafshah, jendelamu ini adalah jalan cahaya untuk umatku. Biarlah ia selalu terbuka, agar rahmat Allah mengalir melalui udara yang masuk.”

Sejak saat itu, Hafshah “bertekad untuk tidak menutup jendelanya”, sebagai tanda cintanya pada Rasulullah dan keyakinannya pada janji Allah.

Setelah Nabi Wafat
Ketika Nabi Muhammad ﷺ wafat pada tahun 632 M, hati Hafshah hancur. Namun, ia tetap memegang janjinya. “Jendela itu tetap terbuka”, seolah menunggu Rasulullah kembali. Para sahabat dan tetangga sering bertanya:

“Wahai Ummul Mukminin, mengapa engkau tidak menutup jendela itu? Bukankah angin malam bisa membawa dingin?”

Hafshah menjawab dengan mata berkaca-kaca: “Aku tidak akan menutupnya, karena ini adalah tempat di mana Rasulullah ﷺ pernah duduk. Aku ingin udara yang pernah menyentuhnya masih bisa masuk ke rumahku.”

Warisan yang Abadi
Hafshah wafat pada tahun 45 H (665 M), tetapi “jendelanya tetap dibiarkan terbuka” oleh penduduk Madinah sebagai penghormatan. Konon, hingga kini, jika seseorang melewati bekas rumah Hafshah di Madinah, mereka masih dapat merasakan “ketenangan dan keberkahan” dari jendela yang tak pernah tertutup itu.

Hingga kini, kisah “Jendela Hafshah yang Tak Pernah Tertutup” menjadi pengingat bagi umat Islam untuk “selalu membuka hati” bagi cahaya Rasulullah dan ajaran Islam.

Karena jumlah peziarah kaum Muslimin di Masjid Nabawi selalu meningkat, maka pada tahun 17 H Masjid Nabawi diperluas untuk yang kedua kalinya.

Tahun tersebut dikenal sebagai tahun futuhat yang berarti wilayah kekuasaan Islam mengalami perluasan wilayah. Oleh karenanya, Umar bin Khattab yang diamanahi sebagai khalifah kala itu kemudian memprakarsai perluasan masjid Nabawi.

Namun, setiap usaha pasti selalu ada rintangannya, proses perluasan majid Nabawi ini mengalami kendala dimana rumah Hafshah binti Umar yang berada tepat di samping (bagian selatan) makam Rasulullah harus dirobohkan.

Hafshah binti Umar merupakan putri dari Khalifah Umar bin Khattab yang menjadi salah satu istri Rasulullah SAW. Ketika Hafshah diminta agar mau merelakan kamarnya guna perluasan masjid, Hafshah menangis sekeras-kerasnya dan menolak tegas untuk meninggalkan kamarnya.

Bagaimana mungkin Hafshah rela melepaskan tempat yang penuh kenangan bersama suaminya, Rasulullah SAW. Di kamar itu, Hafshah dahulu menemani Rasulullah SAW saat tidur bersamanya. Setelah dua hari, Khalifah Umar berusaha untuk membujuk Hafshah lagi supaya meninggalkan kamarnya, namun Hafshah tetap bersi kukuh enggan pergi.

Hingga para sahabat melakukan musyawarah agar dapat melunakkan hati Hafshah supaya perluasan masjid berjalan dengan lancar, namun Hafshah tetap pada keputusannya.

Setelah beberapa malam, situasi mulai mereda, datanglah Umar dan putranya Abdullah menemui Hafshah. Pertemuan ini memberikan hasil yaitu Hafshah bersedia untuk meninggalkan dan merelakan kamarnya bersama Rasulullah SAW dengan beberapa syarat.

Syarat tersebut adalah Hafshah meminta agar ia bisa menempati kamar saudaranya Abdullah yang terletak persis di samping kamarnya, selain itu Hafshah juga meminta untuk dibuatkan jendela yang selalu terbuka agar Hafshah senantiasa dapat memandangi makam suaminya, Rasulullah SAW.

Syarat tersebut dipenuhi oleh Khalifah Umar bin Khattab dan masih diberlakukan sampai saat ini. Jendela tersebut kemudian memiliki beberapa nama diantaranya oleh As-Suyuthi dinamai sebagai ‘Jendela Umar bin al-Khattab’, oleh Ibnu Katsir dinamai sebagai ‘Jendela Keluarga Umar’.

Setiap sudut masjid Nabawi baik itu pintu, jendela, tiang, kubah, lantai, warna cat, atau ornamennya memiliki sejarah dan kisahnya tersendiri.

Kisah tersebut kemudian diabadikan, diingat, dan diperhatikan oleh kaum muslimin yang tinggal di sekitar masjid Nabawi, terutama penguasa yang menjadi pemimpin masjid Nabawi.

Seperti jendela Hafshah yang merupakan janji Khalifah Umar kepada putrinya, kaum muslimin ikut mempertahankan dan menjaga janji tersebut agar jendela Hafshah ini selalu terbuka lebar sepanjang masa.

Leave a comment