
sumber: scope.sindonews.com
Bencana Sumatera. Banjir bandang dan tanah longsor menerjang tiga provinsi di pulau Sumatera yakni, Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar).
Data terakhir Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Minggu (7/12/2025) jumlah korban meninggal dunia mencapai 921 orang, sedangkan 392 orang masih dinyatakan hilang, dan 975.079 jiwa mengungsi. Sementara 4.200 orang terluka.
Selain itu, 1.300 fasilitas umum rusak, 199 fasilitas kesehatan, dan 697 fasilitas pendidikan juga mengalami kerusakan. Termasuk 420 rumah ibadah, 234 gedung atau kantor dan 405 jembatan rusak.
Musibah yang merenggut ratusan korban jiwa dan meluluhlantakan tiga provinsi secara bersamaan ini disinyalir bukan saja disebabkan faktor alam. Tapi juga karena rusaknya hutan akibat pembalakan liar dan alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit dan permukiman.
Akibatnya, saat hujan ekstrem yang dipicu Siklon Tropis Senyar mengguyur Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat, pada 25-27 November 2025, hutan tidak lagi mampu menahan dan menyerap tumpahan air hujan yang sedemikian banyak. Hal ini menyebabkan bencana hidrometeorologi sangat besar terjadi di tiga provinsi tersebut.
Air hujan yang mengalir dari hulu tidak hanya membawa material lumpur dan bongkahan batu besar, tapi juga pohon berdiameter besar sisa-sisa dari penggundulan hutan di daerah hulu.
“Curah hujan pada 25 November, 26 November, hingga 27 November itu sampai hitam warnanya, itu sangat ekstrem,” ujar Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Teuku Faisal Fathani, Senin 1 Desember 2025.
Banjir bandang yang datang dengan cepat dan massif membuat masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana tidak mampu mengantisipasinya. Kondisi ini diperparah dengan lemahnya sistem mitigasi bencana dari pemerintah daerah (pemda) setempat.
Padahal, jika pemerintah pusat dan daerah menjalankan prosedur mitigasi bencana dengan baik, jatuhnya korban jiwa dalam jumlah besar dapat dihindari. Sebab fenomena Siklon Tropis Senyar yang memicu bencana ini telah terprediksi jauh-jauh hari dan telah melanda beberapa negara sebelum tiba di Indonesia. Lemahnya sistem mitigasi bencana, membuat penanganan bencana menjadi tergagap-gagap.
Agar bencana serupa tidak kembali melanda, sudah saatnya Indonesia juga bersiaga terhadap siklon tropis dan memperkuat mitigasi bencana. Terutama di daerah-daerah rawan bencana mengingat Indonesia berada di ring of fire atau Cincin Api Pasifik. (sucipto)
Kurangi Dampak Bencana dengan Informasi yang Mudah Dipahami
Bencana banjir bandang dan longsor yang menerjang Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara menewaskan ratusan orang. Hal itu menuntut kita lebih siap lagi dalam menghadapi bencana hidrometeorologi.
Menurut pakar hidrometeorologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Armi Susandi, perlu kerja sama pihak terkait dalam mengantisipasi bencana hidrometeorologi ini. Armi mengatakan, dari sisi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), prediksi harus dilakukan jauh-jauh hari.
“Ternyata, Siklon Senyar itu sudah terdeteksi sebelum tanggal 26 (November). Tanggal 23 sudah muncul. Harusnya kita sudah umumkan jauh hari sebelumnya,” ujar Armi dikutip dari program SINDO Files yang tayang di YouTube SindoNews.
Selanjutnya, kata Armi, mesti ada koordinasi yang bagus dengan Kementerian Pekerjaan Umum (PU). Selain itu, perlu koordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), dan pemerintah daerah yang akan menghadapi kemungkinan terjadinya bencana tersebut.
“Di dalam satu meja itu tadi kita umumkan ini akan terjadi lima hari lagi akan ada badai atau siklon tropis dan akan berdampak kepada wilayah A, B, C, D,” katanya.
Armi menambahkan, perlu improvisasi dalam menyampaikan pesan untuk mengantisipasi adanya bencana sebagai dampak badai atau siklon. “Walaupun ada yang sebelumnya diumumkan, tetapi narasi yang kita bangun tidak mampu menarik perhatian daripada masyarakat, tidak mampu menarik perhatian dari stakeholder, sehingga akhirnya kita tergopoh-gopoh. Ini yang membuat masalahnya menjadi besar ini, sehingga kita seakan-akan tidak siap,” jelasnya.
Menurut Armi, seharusnya ketika tanggal 23 November 2025 sudah diketahuinya adanya Siklon Senyar yang masuk Indonesia, ada waktu untuk semua pihak bersiap-siap. “Ya stakeholder, masyarakat, langsung kalau perlu kita umumkan setiap enam jam kita lakukan press conference, ditambah dengan media tentunya, pasti ini akan berkurang dampaknya,” ujarnya.
Armi menambahkan, masyarakat juga harus dipaksa dengan berbagai cara untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk menjadi korban bencana. Menurutnya, dalam menyampaikan kemungkinan terjadinya bencana di suatu daerah, perlu penggunaan bahasa yang bisa dimengerti dan membuat masyarakat sadar bahwa dirinya dan keluarganya dalam bahaya bencana.
“Kita imbau stakeholder terkait untuk tidak hanya memprediksi curah hujan saja, tetapi dampaknya. Orang lebih seram disampaikan wilayah kelurahan ini (berpotensi) banjir, baru orang kalut. Tapi kalau sekadar (curah) hujan tinggi, orang nggak paham maksudnya itu apa,” ujarnya.
Karena itu, seluruh saluran penyampaian informasi seperti media dan pesan singkat semisal SMS, perlu dimaksimalkan untuk menyampaikan informasi tentang potensi bencana itu. “Jangan berharap masyarakat men-download suatu aplikasi, tapi paksa dengan Kemenkominfo (Kementerian Komdigi) untuk bisa memberikan informasi,” ujarnya. (Dzikry Subhanie)
Mendorong Audit Komprehensif Cegah Bencana Sumatera Terulang
Anggota DPR Fraksi Demokrat Sabam Sinaga mendorong pemerintah melakukan audit ekologi dan infrastruktur yang komprehensif untuk mengungkap akar penyebab bencana di Pulau Sumatera. Khususnya, Sumatera Utara (Sumut) yang menjadi daerah terparah dalam bencana ini.
Usul tersebut disampaikan Sabam menanggapi data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengenai jumlah korban meninggal dunia dan penduduk terdampak. Isu pembalakan liar atau ilegal logging dicurigai menjadi penyebab terjadinya bencana tersebut.
“Atas nama kemanusiaan dan tanggung jawab untuk melindungi rakyat di masa depan, saya mendesak dan akan memperjuangkan dilakukannya audit ekologis dan infrastruktur yang komprehensif dan independen atas penyebab bencana ini,” ujar Sabam melalui keterangan resminya, Selasa (2/12/2025).
Anggota Komisi X DPR ini juga menyoroti kompleksitas kerusakan yang terjadi, termasuk adanya kayu gelondongan dalam jumlah besar yang terbawa banjir, longsor masif, serta putusnya akses jalan dan jembatan antarkabupaten. Ia mempertanyakan apakah faktor di luar curah hujan ekstrem turut memperparah bencana.
“Jika hanya soal curah hujan, sejarah mencatat Sumatera Utara telah mengalami hujan dengan intensitas tinggi sebelumnya. Namun, kompleksitas dan skala kerusakan kali ini menunjukan adanya akumulasi masalah,” ujar dia.
Legislator dari Daerah Pemilihan (Dapil) II Sumatera Utara tersebut menyebutkan sejumlah faktor yang perlu ditelaah, antara lain tata kelola lingkungan terkait isu kayu gelondongan, kesiapan infrastruktur, dan penerapan tata ruang serta mitigasi bencana.
Maka itu, menurut dia, perlu adanya audit yang komprehensif untuk mengungkap akar penyebab bencana. Audit tersebut, menurutnya, bukan untuk mencari kambing hitam melainkan untuk menemukan akar masalah secara ilmiah. Tujuannya, memperbaiki kebijakan agar tragedi serupa tidak terulang.
“Kami di Fraksi Demokrat akan mendorong hal ini menjadi agenda prioritas. Solidaritas saat tanggap darurat sangat penting, tetapi pencegahan melalui kebijakan yang cerdas dan berkelanjutan adalah bentuk tanggung jawab tertinggi kami kepada rakyat,” pungkasnya.
DPR Minta Kebijakan Perizinan Pengelolaan Hutan Dievaluasi Total
Anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Rina Saadah meminta pemerintah melakukan investigasi dan evaluasi menyeluruh terhadap skema pemberian izin pemanfaatan kawasan hutan di Indonesia. Menerut dia, bencana yang terus berulang menunjukkan adanya persoalan serius dalam tata kelola perizinan hutan dan lingkungan hidup.
“Pemerintah harus segera melakukan investigasi dan audit menyeluruh atas seluruh izin pemanfaatan kawasan hutan agar bencana seperti yang terjadi di Sumatera tidak terulang di daerah lain,” kata Rina di Jakarta, Selasa (2/12/2025).
Menurut dia, pemerintah tidak cukup hanya fokus pada penanganan darurat, tetapi harus mengambil langkah struktural. Ia mendesak agar seluruh izin alih fungsi hutan—terutama di hutan alam dan daerah aliran sungai (DAS) kritis—dihentikan sementara sampai proses investigasi selesai.
“Jika ingin hasil investigasi objektif dan maksimal, penghentian sementara izin alih fungsi hutan menjadi langkah krusial. Pemerintah harus berani mengambil tindakan tegas,” tegasnya.
Rina menilai skala bencana tersebut menunjukkan bahwa kondisi hutan Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Banyaknya alih fungsi hutan, tumpang tindih izin konsesi, serta lemahnya pengawasan lapangan disebut menjadi faktor risiko yang harus segera dibenahi.
“Apa yang terjadi di Sumatera adalah sinyal keras bahwa pemerintah harus bergerak cepat memulihkan kawasan hutan, memperketat pengawasan izin, dan menghentikan seluruh proses perizinan yang tidak sesuai aturan,” katanya.
Ia juga meminta pemerintah membuka hasil audit secara transparan kepada publik, termasuk mengungkap perusahaan, pejabat, dan pihak terkait yang terlibat dalam dugaan penyalahgunaan kewenangan. Menurutnya, penegakan hukum harus dilakukan tegas, mulai dari pencabutan izin hingga proses pidana jika ditemukan pelanggaran.
“Transparansi mutlak. Jangan hanya menghentikan izin, tetapi juga tindak tegas pihak-pihak yang menyalahgunakan kewenangan. Jika pelanggaran dibiarkan, bencana serupa hanya tinggal menunggu waktu,” pungkasnya.
Jangan Menunggu Korban Jatuh, Baru Bergerak
Anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Yanuar Arif Wibowo mendorong pemerintah memperkuat mitigasi dengan menempatkan alat berat dan kesiapsiagaan sejak awal. Pasalnya, mitigasi yang baik diyakininya bisa mencegah kerusakan.
“Jangan menunggu korban jatuh baru bergerak,” ujar Mantan Anggota Komisi V DPR itu dalam Diskusi Refleksi Akhir Tahun 2025 yang digelar Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bersama Biro Pemberitaan Parlemen DPR di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (2/12/2025).
Dia pun menilai koordinasi antarlembaga dalam merespons bencana di Sumatera masih lemah, terutama pada masa golden time. “Basarnas harus bergerak cepat, tapi sering terhambat proses perizinan anggaran. Begitu izin turun, masa tanggap darurat sudah lewat,” tuturnya.
Bencana Sumatera Jadi Peringatan Serius bagi Kaltim
Anggota Komisi XII DPR RI Syafruddin mengingatkan pemerintah agar menjadikan bencana banjir dan longsor yang terjadi di Sumatera dan Aceh sebagai peringatan serius untuk mencegah kejadian serupa di Kalimantan Timur (Kaltim). Sebab, dia melihat Kaltim berada pada tingkat kerentanan yang tinggi akibat masifnya aktivitas tambang dan buruknya pengelolaan lingkungan di kawasan tersebut.
“Peristiwa yang terjadi di Pulau Sumatera harus kita tahan agar tidak terulang, misalnya di Kalimantan Timur. Karena Kalimantan Timur sangat rawan terjadi bencana seperti yang terjadi di Pulau Sumatra dan Aceh,” kata Syafruddin dalam Rapat Kerja Komisi XII DPR dengan Menteri Lingkungan Hidup di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (3/12/2025).
Dia membeberkan bahwa Kaltim menampung sejumlah perusahaan tambang raksasa yang terus menggerus hutan dan mencemari sungai, sehingga meningkatkan risiko bencana ekologis. “Perusahaan-perusahaan tambang terus-menerus menggunduli hutan dan tentu saja mencemari sungai dan air di sana,” katanya.
Legislator asal Daerah Pemilihan (Dapil) Kalimantan Timur itu menyoroti keberadaan sekitar 1.700 lubang tambang yang belum direklamasi yang ia sebut sebagai ancaman besar bagi keselamatan warga. Dia berpendapat, lubang-lubang tambang tersebut bukan hanya berpotensi memperburuk bencana, tetapi telah memakan korban jiwa.
“Sudah menelan korban, ada 51 anak yang meninggal di lubang tambang. Itu baru korban yang meninggal di lubang tambang, belum yang akibat bencana seperti di Pulau Sumatera,” kata Politikus Fraksi PKB ini.
Syafruddin mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan untuk memperketat seluruh proses perizinan dan pengawasan lingkungan, termasuk Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Ia meminta pemerintah bergerak cepat menata ulang tata kelola lingkungan di Kaltim sebelum kerusakan semakin parah.
Dia kembali meminta perhatian khusus pemerintah terhadap kondisi Kaltim. “Sekali lagi, mohon atensi Pak Menteri dan jajaran. Kalimantan Timur kalau bisa ditangani serius, jangan sampai terjadi seperti di Sumatera,” pungkasnya.
Pemerintah Didorong Percepat Pemulihan Infrastruktur Pascabencana
Wakil Ketua Komisi V DPR Andi Iwan Darmawan Aras mendorong pemerintah mempercepat pemulihan infrastruktur pascabencana banjir dan longsor di Aceh, Sumut, dan Sumbar. Pasalnya, masih terdapat sejumlah wilayah yang terisolasi.
“Pemulihan infrastruktur harus menjadi prioritas utama, karena tanpa akses fisik dan komunikasi, seluruh sistem penanganan darurat praktis lumpuh,” kata Iwan Aras dalam keterangannya, Jumat (5/12/2025).
Dia juga menyoroti kerusakan jalan dan jembatan yang memperlambat proses evakuasi serta menghambat layanan medis darurat. “Persoalan teknis seperti ini dapat menjadi ancaman langsung terhadap keselamatan warga sehingga kementerian/lembaga terkait bersama pemerintah daerah perlu mempercepat pemulihan infrastruktur,” ujarnya.
Iwan mengungkapkan bahwa laporan yang diterimanya menunjukkan kerusakan pada fasilitas pendidikan dan kesehatan, jalan provinsi dan nasional dalam rentang kilometer, serta jembatan penghubung antardaerah yang ambruk. Karena itu, ia mendorong pemerintah segera melakukan pendataan infrastruktur terdampak.
“Serta menetapkan pola koordinasi lintas lembaga dalam status kedaruratan. Aktifkan tim rekonstruksi darurat agar akses darat dan komunikasi dapat dibuka dengan segera,” tandas Iwan.
Kemenhut Usut 12 Korporasi dan Perorangan
Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan (Ditjen Gakkum) Kementerian Kehutanan (Kemenhut) mengidentifikasi adanya kerusakan lingkungan di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru dan Sibuluan. Untuk itu, Kemenhut mendalami sibjek hukum baik berbentuk koorporasi maupun individu.
Dirjen Gakkum Kehutanan Dwi Januanto Nugroho mengatakan, pihaknya telah membentuk Tim Gabungan untuk melakukan pengumpulan bahan dan keterangan terkait dugaan aktivitas yang menyebabkan kerusakan lingkungan di hulu DAS yang diduga sebabkan banjir di Pulau Sumatera.
“Dari hasil identifikasi awal, 12 subjek hukum baik yang berbentuk baik korporasi maupun perorangan diduga memiliki keterkaitan dengan gangguan tutupan hutan di wilayah hulu,” ujar Dwi dalam keterangannya yang dikutip, Minggu (7/12/2025).
Ia mengatakan, kondisi medan sulit, cuaca ekstrem, serta terbatasnya akses logistik menjadi tantangan utama. “Namun seluruh tim tetap melanjutkan verifikasi lapangan secara simultan,” katanya.
Lebih lanjut, Dwi menyampaikan, pihaknya telah melakukan tindakan pada lima lokasi yang terindikasi sejak 4 Desember 2025. “Yaitu 2 titik pada area konsesi PT TPL, dan 3 titik pada lokasi Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT) atas nama JAM, AR, dan DP,” ungkap Dwi.
Di saat bersamaan, kata Dwi, Tim PPNS Balai Gakkum Sumatera juga tengah melakukan penyidikan atas dugaan tindak pidana kehutanan pada salah satu subjek hukum, yakni pemilik PHAT atas nama JAM. Langkah itu dilakukan setelah ditemukan truk bermuatan kayu tanpa dokumen sah.
Terhadap kasus ini, PPNS mengenakan ketentuan Pasal 83 ayat (1) huruf b jo. Pasal 12 huruf e UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dengan ancaman pidana maksimum 5 tahun dan denda maksimum Rp2,5 miliar.
“Sejalan dengan tindakan di lapangan, pemanggilan terhadap seluruh 12 subjek hukum dijadwalkan pada Selasa, 9 Desember 2025 untuk pendalaman lebih lanjut,” ucap Dwi. (Rico Afrido Simanjuntak, Jonathan Simanjuntak, Achmad Al Fiqri)
Tantangan Pemerintah Tuntaskan Penanganan Bencana Sumatera
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto ditantang menuntaskan penanganan bencana tiga provinsi yakni Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Bencana dahsyat berupa banjir bandang dan tanah longsor telah menimbulkan banyak korban jiwa hingga kerusakan infrastruktur di wilayah tersebut.
Sejauh ini, Prabowo telah menginstruksikan seluruh jajarannya untuk cepat mengatasi bencana Sumatera. “Kita buktikan reaksi pemerintah cepat. Alat-alat negara segera hadir,” ujar Prabowo dalam pidatonya di Puncak HUT Ke-61 Partai Golkar, Jakarta, Jumat (5/12/2025).
Bahkan, sebanyak 50 helikopter bergerak ke wilayah terdampak bencana. Menurut dia, bencana alam menjadi tantangan Indonesia yang berada di Ring of Fire. Maka itu, diperlukan alutsista yang mumpuni untuk menghadapi keadaan terburuk sekali pun.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Pratikno menuturkan kesiapsiagaan pemerintah dalam tanggap darurat penanganan banjir dan longsor di 3 provinsi meliputi banyak aspek selain fokus penanganan korban terdampak yakni skenario rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana.
“Saat bersamaan, kita juga mulai merancang untuk rehabilitasi dan rekonstruksi, penyiapan hunian sementara, serta pembangunan hunian tetap,” ujar Pratikno dalam Rapat Koordinasi Penanganan Darurat Bencana di Bandar Udara Silangit, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, Minggu (30/11/2025).
Dalam proses penanganan bencana ditemukan kendala di lapangan, misalnya pengerahan alat berat yang tidak mudah. Namun, pemerintah berkeyakinan tanggap darurat bisa segera selesai yang dilanjutkan tahap rehabilitasi dan rekonstruksi secepat-cepatnya.
Polri Dalami Kayu Gelondongan
Di tengah skenario rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana, aparat penegak hukum juga mesti bekerja keras mencari penyebab banjir dan longsor di Aceh, Sumut, dan Sumbar. Tentu tak elok juga menyalahkan cuaca ekstrem, karena tangan-tangan manusia pun punya andil merusak ekosistem alam.
Buktinya, banyak kayu gelondongan terseret arus banjir hingga fenomena ini viral di media sosial. Siapa yang bertanggung jawab atas keanehan kayu gelondongan?
Perlahan-lahan keberadaan kayu gelondongan itu terungkap. Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo mengungkap kayu gelondongan dalam bencana banjir Sumatera terdapat bekas potongan gergaji mesin atau chainsaw.
“Temuan tim di lapangan ada berbagai jenis kayu, namun kita dapati ada beberapa bekas potongan dari chainsaw. Itu yang akan kita dalami,” ujar Sigit usai bertemu Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (4/12/2025).
Polisi bakal terjun ke lapangan bersama Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dari hulu ke hilir guna menyelidiki temuan kayu gelondongan. “Menyusuri dari daerah aliran sungai yang terdampak sampai dengan kita tarik ke hulu dan hilirnya,” katanya.
Menurut Sigit, gerak cepat usut tuntas dari hulu ke hilir merupakan tindak lanjut instruksi Presiden Prabowo Subianto terkait temuan kayu gelondongan. “Kayu berdiameter besar tersebut berdampak terhadap kerusakan beberapa jembatan, rumah, dan korban jiwa. Karena adanya temuan-temuan kayu yang diduga ada kaitannya dengan pelanggaran,” ujarnya.
Satgas gabungan nantinya melakukan pendalaman bersama untuk melakukan penyelidikan. “Bila perlu dengan satgas lain bisa bergabung termasuk PKH sehingga kerja tim lebih cepat,” ucapnya.
Seperti diberitakan, kayu gelondongan terseret aliran banjir di Sumut. Hal itu diketahui dari unggahan video di media sosial yang diduga berasal dari wilayah Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah. Warganet mengaitkan keberadaan kayu gelondongan dengan aktivitas illegal logging. (Sujoni/Puteranegara Batubara)
Mitigasi Bencana Berbasis Pemulihan dan Perlindungan Lingkungan
Bencana alam banjir bandang dan tanah longsor di Aceh, Sumatera Barat dan Sumatera Utara yang telah merenggut hampir seribu nyawa dan ratusan jiwa lainnya hingga kini masih hilang harus disikapi serius. Rangkaian bencana di Pulau Sumatera ini harus dipahami sebagai peringatan serius dari alam.
Oleh karena itu, mitigasi tidak boleh dianggap sebagai upaya sesaat. Melainkan strategi jangka panjang yang bertumpu pada perlindungan lingkungan.
Selain itu, pemulihan ekosistem, penataan ruang, dan pengendalian pemanfaatan lahan harus menjadi fondasi dalam membangun ketahanan bencana.
“Mitigasi bencana harus berbasis pada pemulihan dan perlindungan lingkungan untuk mewujudkan peradaban yang lebih baik dan berkelanjutan,” kata Guru Besar Teknik Geologi dan Lingkungan UGM , Prof. Dwikorita Karnawati dikutip dari laman UGM, Minggu (8/12/2025).
Dwikorita menyatakan, seluruh pihak harus bertindak cepat dan sinergis menghadapi potensi cuaca ekstrem dalam beberapa bulan ke depan. Sebab, kondisi atmosfer yang labil dapat memperburuk risiko di wilayah-wilayah rawan jika tidak diantisipasi dengan mitigasi bencana yang baik.
Kerja sama melalui gotong royong antarinstansi, pemerintah daerah, dan masyarakat disebut penting agar upaya mitigasi dapat berjalan efektif.
“Kita harus bergerak sekarang sebelum curah hujan ekstrem memperbesar ancaman di daerah-daerah rentan hidrometeorologi,” ujarnya.
Mantan Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) periode 2017-2025 itu menegaskan bahwa kondisi atmosfer dan intensitas hujan saat ini dapat memicu kejadian ekstrem di wilayah-wilayah rawan.
Rangkaian bencana di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh menjadi penanda bahwa ancaman serupa dapat terjadi di daerah lain dengan karakter bentang alam yang mirip.
“Peristiwa tersebut menunjukkan kerentanan kawasan berlereng curam, daerah yang mengalami alih fungsi lahan, serta zona tektonik aktif dengan kondisi geologi rapuh di berbagai wilayah Indonesia,” paparnya.
Dwikorita yang juga mantan Rektor UGM ini menjelaskan bahwa aliran debris atau campuran lumpur, batu, material kayu, dan sedimen, dapat melaju dengan kecepatan tinggi ketika hujan ekstrem mengguyur kawasan pegunungan.
Material ini mampu menghantam permukiman dan infrastruktur dalam hitungan detik, sehingga masyarakat di bantaran sungai dan wilayah di bawah tebing memerlukan prioritas peringatan dan kesiapsiagaan.
Profesor Geologi Lingkungan dan Mitigasi Bencana UGM ini menekankan bahwa peringatan dini dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) harus diikuti penguatan kapasitas masyarakat agar dapat merespons dengan cepat dan tepat.
“Aliran debris seperti ini sangat destruktif dan menuntut respons segera dari warga yang berada di zona rentan,” katanya.
Dwikorita menjelaskan bahwa data empiris BMKG menunjukkan bahwa bibit siklon dan siklon tropis cenderung meningkat setiap Desember hingga Maret atau April tahun berikutnya. Fenomena ini lebih dominan di belahan selatan bumi sehingga wilayah selatan khatulistiwa perlu berada dalam kondisi siaga terhadap cuaca ekstrem.
Kawasan seperti Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi bagian selatan dan tenggara, Maluku, dan Papua bagian selatan masuk dalam zona yang berpotensi mengalami hujan intens yang memicu longsor dan banjir.
“Wilayah-wilayah tersebut seharusnya berada dalam kondisi Siaga terhadap cuaca ekstrem sebagaimana yang baru saja terjadi di Sumatera,” tuturnya.
Untuk menghadapi potensi meluasnya risiko, Dwikorita menekankan pentingnya upaya cepat di daerah rawan bencana. Identifikasi ulang zona merah dan pembatasan aktivitas manusia selama periode peringatan dini menjadi langkah awal yang perlu dilakukan pemerintah daerah.
Selain itu, penyiapan jalur evakuasi dan lokasi pengungsian yang aman sangat penting, terutama bagi kelompok rentan seperti difabel, lansia, ibu hamil, dan anak-anak. “Langkah-langkah ini harus dijalankan segera pada wilayah yang telah ditetapkan dalam peringatan dini BMKG,” katanya.
Pemerintah daerah juga diminta memastikan kesiapan rencana kontinjensi untuk menghadapi kondisi darurat. Rencana tersebut mencakup penyediaan logistik untuk tiga hingga enam hari, fasilitas pertolongan pertama, pengamanan dokumen penting warga, serta penguatan jaringan komunikasi.
Ketersediaan peralatan evakuasi dan alat berat menjadi elemen penting untuk mempercepat penanganan darurat di lapangan. “Semua sarana ini harus siap dan memadai agar respons dapat dilakukan tanpa hambatan,” ujar Dwikorita.
Koordinasi lintas instansi disebutnya sebagai komponen vital dalam memperkuat kesiapsiagaan. Integrasi dengan BMKG dan BNPB termasuk dalam kemungkinan pelaksanaan operasi modifikasi cuaca apabila diperlukan untuk mengurangi intensitas hujan di wilayah kritis.
Upaya kolaboratif ini diharapkan dapat mempercepat respons dan menekan potensi kerugian. Koordinasi yang kuat memungkinkan langkah-langkah pengurangan risiko dijalankan secara lebih efektif.
