Ferry Irwandi

sumber: wikipedia

Ferry Irwandi (lahir 16 Desember 1991) adalah seorang konten kreator, aktivis, dan selebritas internet asal Indonesia yang dikenal karena konten edukatifnya mengenai politik, keuangan, filsafat Stoikisme, dan isu sosial.

Kehidupan awal
Ferry lahir di Kota Jambi, pada tanggal 16 Desember 1991 dari pasangan perantau Minangkabau asal Muaro Labuh dan Payakumbuh. Ayahnya, Irwandi, merupakan seorang dosen hukum tata negara di Universitas Jambi, sementara sang ibu bekerja sebagai seorang karyawan.

Meskipun sejak SMP telah menunjukkan ketertarikan pada dunia seni, seperti teater dan film, tetapi ia menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara.[4] Ketika kuliah, ia aktif dalam klub teater dan grup film SCENE.[5] Ferry melanjutkan pendidikan magister di Universitas Central Queensland.

Ia menikah dengan Muthia Nadhira pada tahun 2015 dan memiliki dua anak.

Karier
Pada awalnya, Ferry bekerja sebagai pegawai negeri sipil di bagian hubungan masyarakat Kementerian Keuangan sebagai videografer. Namun, ia mengundurkan diri pada November 2022 dan memulai karier penuh waktunya sebagai pembuat konten. Ia mulai aktif di YouTube sejak 2010, dan mengisi kanal YouTubenya dengan berbagai topik edukasi, termasuk politik, keuangan, filsafat Stoikisme, dan isu sosial. Ia kerap mengkritik fenomena negatif seperti promosi judi online oleh influencer. Popularitasnya meningkat setelah menjadi tamu di siniar “Close the Door” milik Deddy Corbuzier pada April 2022.

Pada tahun 2023, Ferry bersama beberapa selebriti internet seperti Jerome Polin dan Coki Pardede meluncurkan Malaka Project di Djakarta Theater. Proyek ini bertujuan meningkatkan kualitas dan akses pendidikan sebagai kontribusi untuk visi Indonesia Emas 2045. Ferry juga kerap berkolaborasi dengan tokoh-tokoh lain seperti Fathia Izzati, Rizky Arief Dwi Prakoso, Cania Citta, Aurelia Vizal, Angellie Nabilla, dan Dea Anugrah.

Dalam salah satu videonya, Ferry mengungkapkan ia memiliki hubungan dengan siniar “Close the Door” dalam bentuk kemitraan profesional berbasis kepemilikan yang menjunjung kebebasan berekspresi dan tidak dibatasi oleh aturan editorial satu arah. Ferry menjelaskan bahwa siniar tersebut dibangun berdasarkan dua kepemilikan, artinya ia adalah salah satu pemilik atau mitra strategis dalam proyek tersebut bersama pihak lain, yang diduga merujuk pada Deddy Corbuzier sebagai figur utama dari “Close the Door”.

Ferry menegaskan bahwa ia tidak terikat kontrak editorial atau dibayar secara rutin—tidak menerima gaji bulanan, tidak dibayar per konten, dan tidak dimodali untuk produksi. Kerja sama yang terjalin bersifat setara. Sejak awal, Ferry sudah menyampaikan kemungkinan akan adanya perbedaan pandangan ekstrem di masa depan, termasuk kemungkinan ia mengkritik langsung mitranya tersebut. Dalam hal ini, Ferry menyatakan bahwa pihak lain menghargai dan menyepakati kondisi tersebut, dan hingga saat ini tidak ada komitmen yang dilanggar.

Aktivisme
Ferry dikenal sebagai sosok yang vokal terhadap transparansi dan etika dalam dunia digital. Ia pernah melaporkan influencer yang mempromosikan judi online. Di samping itu, ia aktif menyoroti praktik-praktik tidak etis seperti fake giveaway dan klaim penghasilan palsu dari konten kreator lain.[9] Selain menjadi konten kreator, Ferry juga dikenal sebagai penganut Stoikisme sejak 2017 dan terus membagikan pemikiran-pemikiran filosofis tersebut dalam kontennya. Ia juga seorang seniman musik yang pernah mengikuti festival band di Jambi.

Kritik terhadap pemerintahan Presiden Prabowo
Dalam salah satu refleksi publiknya, Ferry mengungkapkan bahwa ia pernah berdialog langsung dengan Prabowo Subianto sebelum Pemilu, di mana Prabowo dengan tegas menyatakan komitmennya terhadap supremasi sipil dan menolak gaya kepemimpinan militeristik. Ferry mengapresiasi pernyataan tersebut dan berharap, jika terpilih sebagai Presiden Indonesia, Prabowo benar-benar akan mewujudkan janji itu. Namun, setelah menjabat, Ferry mengaku melihat berbagai kebijakan dan situasi justru berlawanan dengan janji tersebut. Ia menyoroti meningkatnya keterlibatan militer dalam urusan sipil—dari pengelolaan pangan hingga orkestrasi informasi digital—yang menurutnya mengancam demokrasi dan tatanan sipil yang sehat.

Ferry mengkritisi pendekatan pemerintah yang semakin menunjukkan kecenderungan otoriter, termasuk penggunaan kekuatan militer dalam merespons demonstrasi sipil. Ia mempertanyakan logika pengerahan kekuatan militer secara besar-besaran dalam situasi damai, di tengah aksi mahasiswa yang berlangsung damai tetapi konsisten selama berhari-hari. Lebih dari itu, ia mengungkapkan kekhawatiran terhadap wacana penggunaan operasi siber oleh TNI untuk menekan opini publik yang kritis. Menurutnya, pendekatan ini merupakan solusi keliru terhadap masalah yang lebih mendasar, yakni krisis ekonomi, meningkatnya pengangguran, menurunnya daya beli, dan kian lemahnya stabilitas sosial.

Ferry menyerukan agar militer ditarik mundur dari urusan sipil dan ditempatkan kembali pada fungsinya menjaga pertahanan negara. Ia menegaskan bahwa kekuasaan sipil harus ditegakkan, dan program-program publik harus dijalankan oleh para profesional di bidangnya masing-masing.

Kritik terhadap RUU TNI
Ferry dikenal sebagai salah satu figur publik yang vokal menyuarakan kritik terhadap Undang-Undang TNI yang baru. Menurutnya, kritik ini bukan sekadar reaksi spontan, melainkan bersumber dari posisi ideologis yang sangat prinsipil. Ferry menyatakan bahwa meskipun ia bisa bersikap kompromis terhadap banyak isu, tetapi keterlibatan militer dalam urusan sipil adalah hal yang tidak dapat ditawar.

Ferry menegaskan bahwa dirinya tidak memiliki masalah dengan institusi militer selama berada dalam kerangka fungsi dan perannya yang sesuai, yaitu menjaga pertahanan negara, hanya saja Ferry menolak keras keterlibatan militer dalam urusan sipil. Ia menilai hal tersebut tidak hanya berpotensi mengganggu tatanan demokrasi, tetapi juga bertentangan secara fundamental dengan sifat dasar militer itu sendiri.

Lebih lanjut, Ferry menekankan bahwa militer dilatih untuk patuh, bukan untuk bertanya atau berdiskusi. Pola pikir seperti ini sangat dibutuhkan dalam struktur komando militer, tetapi akan menjadi bumerang ketika diterapkan dalam sistem sosial sipil yang pluralistik. Oleh karena itu, ia merasa perlu untuk menyuarakan kekhawatirannya secara terbuka, termasuk melalui media sosial. Salah satu unggahannya di Instagram terkait RUU TNI bahkan menjadi postingan dengan jangkauan dan keterlibatan tertinggi yang berperan selama unjuk rasa di Indonesia 2025.

Kontroversi
Klaim ujaran kebencian serta disinformasi
Pada bulan September 2025, TNI mengklaim bahwa konten yang dibuat Ferry merupakan bentuk ujaran kebencian, disinformasi, dan penghasutan. Konten tersebut, menurut TNI, berpotensi mengganggu stabilitas keamanan nasional dan menyesatkan publik. Kepala Pusat Penerangan TNI Brigadir Jenderal Freddy Ardianzah mengungkapkan bahwa hasil penelusuran oleh Satuan Siber (Satsiber) TNI menemukan dugaan tindak pidana dalam konten Ferry Irwandi, baik di media sosial maupun dalam wawancara publik.

Konten tersebut dituding memiliki framing negatif dan dianggap menyebarkan hoaks serta menimbulkan keresahan. Salah satu contoh yang disebut TNI adalah analisis Ferry terhadap video penangkapan personel TNI di Palembang. Ferry dinilai memanipulasi narasi dengan menyisipkan frasa yang tidak ada dalam video asli, yang sebelumnya telah dinyatakan sebagai hoaks oleh TNI. Contoh lainnya adalah pernyataan Ferry mengenai “darurat militer,” yang dianggap TNI sebagai provokasi dan tidak berdasar.

TNI menilai tindakan Ferry melanggar sejumlah pasal, termasuk Pasal 207 KUHP tentang penghinaan lembaga negara, Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik, Pasal 160 dan 161 KUHP tentang penghasutan, serta pasal-pasal dalam UU ITE yang berkaitan dengan penyebaran kebencian berbasis SARA dan penyebaran informasi palsu. Meski TNI telah melaporkan kasus ini ke Polda Metro Jaya, tetapi Wakil Direktur Reserse Siber Ajun Komisaris Besar Fian Yunus menyatakan bahwa berdasarkan Putusan MK Nomor 105/PUU-XXII/2024, lembaga negara tidak dapat melaporkan pencemaran nama baik. Laporan seperti itu hanya dapat dilakukan oleh individu yang merasa dirugikan. Kasus ini memicu kritik dari masyarakat sipil, termasuk dari organisasi Setara Institute.

Peneliti Setara, Ikhsan Yosarie, menilai langkah TNI melakukan patroli siber terhadap aktivisme sipil sebagai preseden berbahaya yang berpotensi memperluas peran militer ke dalam ranah penegakan hukum, yang semestinya menjadi ranah sipil. Melalui media sosial Instagram, Ferry Irwandi menyatakan bahwa dirinya siap menghadapi proses hukum, tetapi menegaskan bahwa institusi negara tidak memiliki dasar untuk menuntut warga negara dalam kasus pencemaran nama baik, mengacu pada putusan MK. Ia juga menegaskan bahwa institusi seperti TNI dan Polri seharusnya melindungi rakyat, bukan memenjarakannya.

Seruan membubarkan jurusan filsafat
Dalam salah satu siniarnya yang ditayangkan di kanal YouTube, Ferry Irwandi menyerukan agar jurusan filsafat dibubarkan. Ia beralasan bahwa ilmu filsafat tidak aplikatif (praktis) dan tidak lagi relevan dengan kebutuhan industri modern.

“Gua bahkan bilang, filsafat itu harusnya dihapus, jurusan filsafat karena udah ngga mix and match skill dan positioning” ujar Ferry Irwandi yang bemruara pada diskursus panjang di media daring.


Kisah Ferry Irwandi: “Anak Kemarin Sore” yang Menggerakkan 10 Miliar dalam 24 Jam

sumber: FB Andrian Saputra

Bayangkan ini dulu:
Kamu berhasil mengumpulkan 10 miliar rupiah…
dalam 24 jam…
tanpa proyek negara, tanpa APBN, tanpa lobi-lobi berlapis karpet merah.
Uang itu datang dari ratusan ribu orang yang bahkan tidak pernah bertemu mukamu, cuma percaya pada logikamu yang dingin dan gayamu yang datar. Dan ketika uang itu dipakai untuk menyelamatkan korban bencana yang kelaparan, kamu malah dicap “anak kemarin sore.”

Kalau dunia ini panggung sandiwara, maka bagian ini adalah komedinya.

Ferry Irwandi: Arogan di YouTube, Meleleh di Lapangan
Publik mengenal Ferry sebagai sosok “arogan” versi orang yang masih bingung bedain antara jujur dengan galak.
Pria yang kalo ngomong datar, seolah seluruh dunia adalah spreadsheet Excel baginya.
Tapi justru di balik gaya itu, ada hal yang janggal: dia gampang mewek kalau lihat rakyat menderita.
Banyak yang kira Ferry cuma “modal bacot” di YouTube.
Padahal hidupnya seperti rumus akuntansi yang panjang tapi rapi:
Lulusan STAN, sekolah kedinasan yang masuknya bisa bikin anak jenius nangis tiga malam.
Mengabdi hampir 10 tahun di Kementerian Keuangan.
Karir nyaman, stabil, mapan.
Lalu tahun 2022, dia melakukan hal paling tidak logis yang bisa dilakukan orang yang hidupnya sangat logis:
dia resign.
Alasannya sederhana tapi liar:
“Kadang, dampak terbesar ada di luar sistem.”
Kalimat yang terdengar seperti ucapan tokoh sok sok an protagonis dalam film yang trailernya menang banyak tapi anggarannya kecil.

Dari situ lahirlah @malakaprojectid, wadah untuk berpikir kritis, ekonomi, stoikisme dan sesekali menyindir pejabat dengan elegan.

Dari “Hadiahnya Alphard” hingga Musuh-musuh Sunyi
Ferry kemudian naik daun karena gaya bicaranya yang… sebenarnya tidak ada gayanya.
Datar.
Lurus
Cempreng
Sejujurnya
seperti pembacaan nilai ujian.
Ingat tantangan dukun santet?
“Silakan santet saya. Hadiahnya Alphard.”
Komentar yang semanis sarkasme dan sepahit logika.
Hasilnya? Ya tidak terjadi apa-apa.
Dukunnya mungkin lebih sibuk nungguin tanggal kembar si Orange.
Namun sikap kritisnya itu membuat ia mendapat banyak “musuh alami”:
mereka yang alergi pada kebenaran, sulit menerima angka, dan gemar mengira kritik = makar.
Bagi sebagian pejabat, Ferry hanyalah “anak kemarin sore” yang sok tahu negara.

Padahal, negara pun kadang sok tahu rakyat.

Desember 2025: Ketika Logika Bertemu Lumpur
Lalu bencana datang: banjir bandang dan longsor meluluhlantakkan Sumatera.
Aceh, Sumut, Sumbar semua porak-poranda.
Sementara sebagian pihak lagi sibuk jadwal rapat, Ferry justru on fire.
Dia buka live YouTube.
Dia buka Kitabisa
Dia cuma bilang: “Kita gerak sekarang.”
Kalimat yang mengguncang ratusan ribu orang dan rekening donasi.
Dalam 24 jam, uang deras mengalir seperti air bah yang menghanyutkan ego-ego besar:
10,3 miliar rupiah.
Buat negara? Itu receh.
Buat warga yang lagi minum air banjir dicampur bubuk teh supaya tidak berbau lumpur?
Itu kehidupan.
Tetapi seperti biasa, muncul suara-suara nyinyir dari kejauhan meja yang ruangannya ber-AC:
“Negara sudah keluar triliunan. Ngapain bangga 10 miliar?”
Komentar yang terdengar seperti:
“Ngapain nolong cepet? Kita kan nunggu rapat dulu.”
Ini bukan soal angka.

Ini soal kecepatan empati hal yang sering kalah oleh birokrasi yang doyan minum kopi.

Dan Pada Momen itu, Ferry Runtuh
Semua orang terbiasa melihat Ferry sebagai manusia spreadsheet:
rapi, efektif, dingin.
Namun saat ia turun ke Aceh Tamiang, semuanya pecah.
Melihat warga bertahan hidup dengan air keruh, anak-anak yang minum seadanya, dan para ibu yang berdiri di lumpur hingga betis, suara Ferry bergetar.
Matanya merah.
Ia menangis.
Di live.
Dan pada momen itu, kita sadar:
Setenang-tenangnya logika,

hati kecil tetaplah pengendali terakhir.

Sebuah Pesan untuk Kita Semua
Jadi kalau hari ini kamu merasa kecil, tidak signifikan, atau cuma “anak kemarin sore”, ingatlah:
Dampakmu bukan diukur dari umur atau jabatan,
tapi dari keberanianmu bergerak ketika yang lain diam.
Dan yang membuatmu hebat bukan saat kamu kuat,
tapi saat kamu bangkit di tengah capek, berdiri setelah jatuh, dan tetap maju meski cuma ditemani nyinyiran tanpa lampu sorot.
Ferry Irwandi bukan superhero.
Dia cuma manusia biasa yang memutuskan untuk tidak biasa.

Dan kadang, itu saja sudah cukup untuk menggerakkan satu bangsa.

Andrian
11 Desember 2025