Kokokan Mencari Arumbawangi | Cyntha Hariadi

Book Cover

oleh: Gianni Reiza Maulania (goodreads)

Sungguh suatu hari yang aneh di desa saat sekumpulan kokokan lewat di atasnya. Di paruh kokokan terbesar tergantung sebuah bungkusan, di dalamnya duduk seorang balita perempuan. Si kokokan mendaratkan anak perempuan itu tepat di atas tanaman bawang merah Nanamama, sehingga jadilah nama yang cantik untuknya: Arumbawangi.

Buku ini dibuka dengan adegan yang memilukan; sepasang kakak beradik menguburkan sendiri ibu mereka yang telah meninggal. Bab-bab berikutnya padahal menceritakan kisah yang manis, tentang bagaimana Arumbawangi menjadi kesayangan kakak lelaki dan ibunya, walau penduduk desa menganggapnya pembawa sial. Pertemuan Arumbawangi dan Kakaputu dengan Jojo, anak pemilik hotel, juga menggambarkan indahnya persahabatan anak-anak yang tulus dan tak berprasangka, apalagi menyimpan dendam. Tapi kemudian sebuah hotel hendak dibangun di tepi desa, dan Nanamama menentangnya habis-habisan. Tanah; sawah dan ladangnya; adalah milik mereka dan telah memberi mereka kehidupan tanpa pamrih. Namun keserakahan manusia tak ayal dengan mudah mengubur rasa kemanusiaan itu sendiri, membunuh siapa pun yang menghalangi jalannya tak peduli penghalangnya hanya seorang wanita dan dua anak kecil.

Narasi yang indah namun tetap ditimpali percakapan yang ringan dan jenaka membuat buku ini sangat memikat, dan dengan mudah aku terhanyut dalam emosi tokoh-tokohnya. Aku terutama suka pada penuturan tentang alam, tentang adat dan permainan anak-anak, dan pada prinsip hidup Nanamama yang sederhana, yang selalu bersyukur akan segala pemberian alam. Walau semua itu pada akhirnya dikalahkan oleh kekejaman, kebencian, dan keserakahan manusia.

“Aku bisa mendengar denyut nadiku dan anak-anakku dalam tanah yang kami olah dan sayangi setiap hari. Sebagai balasan, tanah ini memberi kami hidup. Apa jadinya kalau kemudian mesin-mesin itu datang, mengebor, dan menancapkan beton dan besi menembus kulit ke dalam daging sampai jantungku? Tanah ini akan mati. Kami semua.” -hal 152.

“Bagi setiap petani, lumpur mengandung segala kebaikan. Kau bilang itu kotor, mereka takkan tersinggung. Paling cuma heran bertanya dalam hati, ‘Memang yang kau makan setiap hari tumbuh di mana?’ Selalu di bawah. Bagian terendah. Nista abadi.” -hal 20.

“Karena kemarahan tidak selalu buruk. Kita tidak mampu harus selalu sabar. Kemarahan bisa jadi kekuatan. Untuk membuktikan bahwa kita ada. Sebagai manusia. Seburuk-buruknya. Sekecil-kecilnya.” -hal 209.

“Terkutuk memang bila kau berbeda atau hanya pendapatmu saja tidak sama.” -hal 219.

“’Pagar itu tak hanya tembok, kawat itu takk hanya terbuat dari logam, beling itu tak hanya pecahan gelas; aku pernah terbentur tembok, tertusuk kawat, dan menginjak beling, tapi tak ada yang sesakit ini; dusta itu ternyata hanya mampu dilakukan oleh manusia, tidak binatang, apalagi tumbuhan.’” -hal 287.

“…para petani langsung membayangkan bilur-bilur padi di masa panen digantikan dengan lembaran-lembaran uang warna merah lebih dalam merunduk saking tebalnya. Betapa tangan mereka tak sabar untuk memetiknya. Tak akan ada lagi hama binatang yang mengganggu – mereka tak bisa makan uang – hanya sesama manusia yang saling bunuh.” -hal 296.

_________________

oleh: Han Yabaca (goodreads)

Aku bisa mendengar denyut nadiku dan anak-anakku dalam tanah yang kami olah dan sayangi setiap hari. Sebagai balasan, tanah ini memberi kami hidup. Apa jadinya kalau kemudian mesin-mesin itu datang, mengebor, dan menancapkan beton dan besi menembus kulit ke dalam daging sampai jantungku? Tanag ini akan mati. Kami semua. (hlm.152-153)

Novel debut Cyntha Hariadi (Sebab dua buku sebelumnya buku puisi dan kumpulan cerita pendek) ini menawarkan kemolekan sebuah dongeng dan kritik sosial yang sama-sama kuat. Di balik persaudaraan Kakaputu dan Arumbawangi, di balik persabahatan keduanya dengan Jojo, ada selipan-selipan kritik. Penulis yang adalah penyair, jejaknya masih dapat kita temukan dalam metafora dan diksi-diksi yang seru dalam buku ini.

Dongeng sebab ada muncul kejadian-kejadian ajaib yang bisa kita temukan dalam dongeng kebanyakan. Arumbawangi hadir ke Nanamama dan Kakaputu dibawa oleh seekor Kokokan (baca: kuntul putih) yang adalah kawan petani sekaligus burung dengan kesetiaan, jatuh ke ladang bawang, badan kotor namun sungguh menggemaskan. Arumbawangi hadir ketika Nanamama merindukan seorang adik untuk Kakaputu agar dia lebih bertanggung jawab dan berani.

Meski tidak dianggap ada, sebab orang kampung menganggap Arumbawangi sebagai kutukan yang dilemparkan kokokan, bagi Nanamama dan Kakaputu, Arumbawangi tetaplah anak yang disayangi. Hadir menggenapi permintaan Nanamama.

Konflik utama adalah alih fungsi lahan. Nanamama menentang penderian hotel, meski Jojo anak dari pengusaha hotel itu adalah kawan baik dari Kakaputu dan Arumbawangi. Ketika tragedi terjadi di hotel yang sedang dibangun itu, Nanamama menjadi salah satu yang dikambinghitamkan.

Kemudian muncul persoalan baru saat Nanamama wafat dan tanah itu harus dijaga oleh kakak beradik yang masih kecil itu.

Saya rasa novel ini disusun dengan alur yang sungguh rapi. Kita hampir menemukan tindakan-tindakan kecil di depan akan berefek besar pada bagian akhir nanti. Dan saya sungguh takjub dengan ending novel ini.

Dan kalau boleh memuji, keindahan bahasa novel ini adalah nomor 1. Tidak lebay dengan bahasa yang mendayu dan meliuk. Cukup dengan diksi puitis, tetap enak dibaca. Keindahan yang oke punya.

________________

oleh: Andika Pratama (goodreads)

Sentuhan pertama saya pada karya Cyntha Hariadi adalah buku puisi pertamanya, dengan judul “Ibu Mendulang, Anak Belari”. Tampak dari buku puisi tsb, Cyntha memiliki kemahiran dalam meramu karya sastra—lebih spesifik, puisi—bercorak motherhood. Kemahiran tersebut agaknya diadaptasi ke dalam cerita rekaan yang lebih kompleks ketimbang puisi melalui buku ini: Kokokan Mencari Arumbawangi.

Kokokan Mencari Arumbawangi seperti mengajak kita untuk melihat dunia dari sudut pandang yang lebih sederhana: bagaimana kalau kita mulai belajar mensyukuri pemberian Maha Kuasa dan berhenti menjadi kikir? Melalui sudut pandang ketiga, dan tokoh utama dua anak-anak “ajaib” Cyntha secara apik mengadaptasi corak dongeng lama berjudul The Storks yang secara garis besar menceritakan burung bangau mengangkut seorang anak. Meski demikian Cyntha tidak begitu saja “mengangkat” cerita yang sama dan melokalkan kisah tersebut. Mengalir pula corak budaya Nusantara yang kuat dalam karyanya kali ini, dengan menambahkan corak budaya khas Bali dan juga unsur kritik lingkungan yang kental, Cyntha tampak memperlihatkan autentisitas kehidupan petani juga masyarakat Bali yang bersinergi dengan alam.

Secara tata bahasa, gaya tutur Cyntha tampak indah dan menghanyutkan pembaca dalam gaya tutur yang hangat; Cyntha tidak berusaha menghasilkan prosa yang puitik, dan justru membentuk karya prosa yang ramah dalam penyampaiannya. Gaya bahasanya yang sederhana dan nampak memperhatikan detil narasi, membuat prosa ini tampak seperti kisah dongeng bahkan buku anak.

Tidak ayal buku ini masuk dalam daftar panjang buku rekomendasi Tempo, dengan kemasan yang ringan, prosa ini membawa bobot yang besar. Kritik terhadap sikap toleransi, lingkungan, juga feminisme kental di dalamnya. Usaha untuk melihat segala hal dari sudut pandang positif juga memberikan kekuatan tersendiri dalam membaca buku ini.

Tokoh seperti Nanamama memberikan kekuatan yang membuat adegan-adegan menyedihkan tampak bisa dihadapi dengan senyuman. Selain itu kekuatan dari novel ini adalah kepolosan Arumbawangi dalam menghadapi diskriminasi yang dialaminya, membuat saya bertanya “mungkinkah kita hidup di dunia di mana semua hal harus dikembalikan kepada alam—sang Kuasa—dan berserah diri?”. Gejolak chemistry antara tokoh Arumbawangi-Kakaputu tampak seperti Hansel & Gretel versi Indonesia—versi anak desa, daerah Bali. Kakaputu memperlihatkan konsep “kakak” yang sebenarnya dalam novel ini.

Tokoh seperti Jojo, Ayah Jojo, Pak Wawatua dan keluarganya memiliki ciri khasnya sendiri pula yang membuat tokoh mereka tampak hidup dan realistis. Sedikit banyak, hampir semua tokoh di dalam prosa ini memiliki perkembangan karakter yang cukup mendalam, perkembangan tersebut akhirnya mendorong simpati yang besar dan seolah mengaburkan batasan antara tokoh protagonis-antagonis.

Namun, terdapat beberapa konflik pula yang tampak terasa “janggal”. Terutama yang menyangkut Jojo. Kekuatan Cyntha dalam menggabungkan unsur realisme dan surealisme, seperti membentuk corak realisme magis—yang agaknya memang cocok ketika kita membayangkan latar karya ini adalah dataran Bali. Meski demikian corak tersebut masih belum berjalan dengan mulus. Usaha yang bagus, namun masih belum mampu mengisi segala macam syarat suatu karya disebut realisme-magis.

Batu loncatan besar untuk karir kepenulisan Cyntha Hariadi.