
sumber: wikipedia
Batu Kurai Limo Jorong adalah peninggalan bersejarah berupa lima buah batu yang didirikan oleh orang kurai asli pada zaman dahulu yang berada di Jl. Kurai, Parit Antang, Kecamatan Aua Birugo Tigo Baleh, Kota Bukittinggi, Sumatera Barat.
Penamaan Batu Kurai Limo Jorong merujuk pada asal-usul masyarakat yang mendiami lima wilayah adat utama di kawasan kurai, yakni Tigo Baleh, Guguk Panjang, Aur Birugo, Mandiangin, dan Koto Selayan.
Masyarakat di kelima jorong ini dikenal sangat menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan kearifan lokal. Setap jorong dipimpin oleh tokoh adat yang dihormati, yang pendapat dan nasihatnya menjadi acuan dalam pengambilan keputusan bersama. Batu ini menjadi simbol kekuatan musyawarah, menandai komitmen lima jorong untuk selalu bermufakat dalam menentukan arah kehidupan bersama. Nilai-nilai kolektif tersebut tetap hidup dalam budaya masyarakat Bukittinggi hingga kini, dan terus diwariskan kepada generasi berikutnya sebagai bagian dari identitas sosial mereka.
Sejarah
Dalam tradisi lisan masyarakat setempat yang disebut sebagai tambo, batu tersebut mewakili lima suku utama di wilayah Kurai, yakni suku guci, suku tanjung, suku sikumbang, suku pisang, dan suku jambak. Batu-batu ini berfungsi sebagai tempat musyawarah adat, tempat para datuk atau pemimpin suku berkumpul untuk membahas hal-hal penting terkait kemajuan nagari, seperti pembangunan jalan, pengairan sawah, hingga pemilihan datuk pengganti. Karena pada masa itu belum tersedia kursi atau balai pertemuan permanen, batu-batu ini ditanam di atas tanah dan digunakan sebagai tempat duduk para pemuka adat sesuai suku masing-masing.
Proses pendiriannya dilakukan secara gotong royong oleh para datuk dan dibantu oleh anggota suku mereka. Batu tersebut merupakan simbol dari 5 (lima) orang penghulu pucuk yang merupakan orang besar dalam nagari Kurai. Kelima penghulu tersebut antara lain adalah Datuk Bandaro berasal dari suku guci, Datuk Yang Pituan dari suku pisang, Datuk Sati dari suku sikumbang, Datuk Rajo Mantari dari suku jambak, dan Datuk Rajo Endah dari suku tanjuang.
Deskripsi fisik dan struktur arkeologis
Batu Kurai Limo Jorong merupakan situs bersejarah penting di Kota Bukittinggi, Provinsi Sumatera Barat, yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya tingkat kabupaten/kota oleh pemerintah daerah setempat melalui Surat Keputusan Nomor: 2 Tahun 2012 tertanggal 3 Februari 2012. Berdasarkan klasifikasi resmi, situs ini tergolong sebagai jenis bangunan cagar budaya tidak bergerak.
Batu Kurai Limo Jorong ini memiliki luas bangunan 4,7 x 4,9 m di lahan 5 x 5 meter. Situs ini terdiri dari lima buah batuan alam yang berdiri tegak, berukuran tinggi 65–90 cm dan lebar 60–90 cm. Ditata berbentuk melingkar yang mencerminkan musyarawah dan struktur sosial masyarakat adat. Sekarang batu ini terletak didalam cungkup berbentuk kubah yang terbuat dari semen berplester yang dipugar oleh Dinas kebudayaan Bukittinggi pada tahun 2011. Dalam konteks arkeologi sosial batu ini bukan hanya benda statis tetapi merupakan ruang aktif bermakna.
Lokasi batu kurai limo jorong ini tepatnya berada di jalan Kurai, Jorong Tigo Baleh, Kelurahan Kurai, Kecamatan Parik Antang. Akses jalan mudah karena berada di tepi jalan serta tepat dibelakangnya ada Mesjid dan kolam.
Tambo (sejarah) Kurai V Jorong Bukittinggi
Berdasarkan penuturan Dt. Saribasa yang bersumber pula dari Dt. Mangulak Basa dan kemudian ditulis oleh Dt. Rangkayo Tuo, disebutkan bahwa yang mula-mula datang untuk bermukim di Kurai Limo Jorong adalah dua rombongan yang datang dari Pariangan Padang Panjang. Kedua rombongan itu yang berjumlah kurang aso saratuih (+100) orang, mula-mula menuju Tanjung Alam dalam Nagari Sungai Tarap, sesudah itu terus menuju ke suatu tempat yang bernama Padang Kurai. Disini rombongan itu kemudian terbagi dua, yaitu Rombongan Pertama menuju ke Tanjung Lasi dan Rombongan Kedua menuju ke Biaro Gadang.
Rombongan pertama, yang dikepalai oleh Bandaharo nan Bangkah, dari Tanjung Lasi terus ke Kubang Putih, kemudian terus ke hilir, berhenti di suatu tempat yang dinamai Gurun Lawik (daerah Kubu Tinggi sekarang dalam Jorong Tigo Baleh). Selanjutnya perjalanan diteruskan melalui Babeloan, berbelok ke Puhun (Barat) dan sampailah di suatu tempat yang kemudian diputuskan untuk bermukim di situ. Tempat itu oleh Bandaharo nan Bangkah dinamai Koto Jolong (Pakan Labuah sekarang, dalam Jorong Tigo Baleh). Rombongan yang datang dari arah Mudik (Selatan) ini adalah rombongan yang pertama yang sampai di Kurai Limo Jorong.
Rombongan kedua dipimpin oleh Rajo Bagombak gelar Yang Pituan Bagonjong. Ibunda Yang Pituan Bagonjong bernama Puti Ganggo Hati dan adiknya bernama Puti Gumala Ratna Dewi juga ikut dalam rombongan. Dari Biaro Gadang, yaitu dari arah Ujung (Timur), rombongan ini kemudian menuju ke suatu tempat yang dinamai Pautan Kudo (daerah persawahan di Parit Putus sekarang ini dan menjadi pusaka turun temurun Yang Dipituan Bagonjong), yaitu tempat dimana Yang Pituan Bagonjong menambatkan kudanya untuk beristirahat terlebih dahulu. Kemudian perjalanan diteruskan menuju ke suatu tempat yang dinamai Koto Katiak dan akhirnya sampai juga di Koto Jolong.
Setelah kedua rombongan berkumpul kembali maka terasa tempat permukiman tidak mencukupi untuk semua anggota rombongan, sehingga perlu diadakan musyawarah untuk bermufakat tentang pengembangannya. Dicapailah kata mufakat untuk membuat sebuah perkampungan lagi di sebelah Hilir (Utara) yang kemudian diberi nama Gobah Balai Banyak (Balai Banyak sekarang, dalam Jorong Tigo Baleh). Perkampungan ini dibatasi parit di sebelah Ujung (Timur) yang dinamai Parit Tarantang (Parik Antang sekarang, dalam Jorong Tigo Baleh) dan parit di sebelah Puhun (Barat) yang dinamai Parit Tuo (Tambuo sekarang).
Setelah beberapa lama kemudian diadakan lagi mufakat untuk memilih dan mengangkat beberapa orang menjadi Tuo-tuo yang akan mengurus kedua rombongan itu sehari-harinya. Hasil mufakat menetapkan sejumlah 13 orang yang disebut Pangka Tuo, yaitu 6 orang untuk ditempatkan di Hilir (Utara) dan 7 orang untuk ditempat-kan di sebelah Mudik (Selatan) dan masing-masingnya diberi gelar Datuak. Semua Pangka Tuo tersebut adalah saadaik salimbago (berada dalam satu kelembagaan) yang disebut Panghulu Nan Tigo Baleh. Dari nama kelembagaan tersebut maka daerah pemukiman itu kemudian diberi nama Tigo Baleh (Tiga Belas).
Adapun 6 orang Pangka Tuo yang di Hilir (Urang Nan Anam) adalah:
Dt. Gunung Ameh / Dt. Indo Kayo
Dt. Mangkudun
Dt. Panduko Sati
Dt. Sikampuang
Dt. Mangulak Basa
Dt. Sari Basa
Sedangkan 7 orang Pangka Tuo yang di Mudiak (Urang Nan Tujuah) adalah:
Dt. Rangkayo Basa
Dt. Nan Adua
Dt. Mantiko Basa / Dt. Kapalo Koto
Dt. Asa Dahulu
Dt. Maruhun
Dt. Pado Batuah
Dt. Dunia Basa
Sebutan Urang Nan Anam dan Urang Nan Tujuah sampai sekarang masih tetap dipakai untuk menunjukan keutamaan gelar kepenghuluan yang bersangkutan sebagai gelar pusaka yang diwarisi dari Tuo-tuo yang mula-mula datang bermukim di Kurai Limo Jorong, terutama dalam mengatur posisi duduk dalam pertemuan adat (Lihat “Acara Adat Mendirikan Penghulu”).
Sesuai ketentuan di ranah Minang pada umumnya, perkawinan hanya diperbolehkan antar suku, sedangkan kesukuan ditentukan berdasarkan garis keturunan ibu. Jumlah suku seluruhnya ada 9 suku yaitu:
1. Suku Guci
2. Suku Pisang
3. Suku Sikumbang
4. Suku Jambak
5. Suku Tanjuang
6. Suku Salayan
7. Suku Simabua
8. Suku Koto
9. Suku Malayu
Dari hasil perkawinan antar suku tersebut, para pemukim di Tigo Baleh mempunyai keturunan yang makin lama makin banyak. Pemukiman yang semula hanya di dua tempat, yaitu Pakan Labuah dan Balai Banyak, meluas mulai dari daerah Parak Congkak, Ikua Labuah sampai ke Kapalo Koto. Akhirnya dalam Kerapatan Adat yang diadakan di Parak Congkak diputuskan untuk memindahkan sebagian pemukim menyeberangi parit Tambuo ke sebelah Puhun (Barat), untuk membuka tempat-tempat pemukiman baru.
Sistem Pemerintahan Menurut Adat Kurai Limo Jorong
Seluruh daerah pemukiman, termasuk Tigo Baleh, kemudian diberi nama Kurai dan dibagi menjadi 5 bagian, masing-masing disebut Jorong atau Nagari (sehingga disebut juga Kurai Limo Jorong). Kelima jorong tersebut masing-masing kemudian diberi nama:
1. Jorong Mandiangin
2. Jorong Guguk Panjang
3. Jorong Koto Salayan
4. Jorong Tigo Baleh
5. Jorong Aur Birugo
Dalam Kerapatan Adat tersebut juga diputuskan bahwa tatkala sebagian dari Panghulu nan Tigo Baleh akan meninggalkan Tigo Baleh maka kelembagaan tersebut terbagi menjadi 2 bagian yaitu Panghulu nan Tigo Baleh di Dalam dan Panghulu nan Tigo Baleh di Lua.
Panghulu Nan Tigo Baleh di Dalam adalah sebagian aggota Panghulu nan Tigo Baleh yang tetap tinggal di Tigo Baleh ditambah dengan beberapa orang Tuo-tuo sebagai penghulu yang baru, semuanya berjumlah 14 orang. Sedangkan Panghulu Tigo Baleh di Lua adalah sebagian anggota Panghulu nan Tigo Baleh yang meninggalkan Tigo Baleh, ditambah dengan beberapa orang Tuo-tuo sebagai penghulu yang baru, yang ikut pindah ke jorong-jorong yang lainnya, semuanya berjumlah 12 orang.
Selanjutnya dalam setiap Jorong diangkat masing-masing 4 orang Pangka Tuo Nagari yang secara kelembagaannya seluruhnya disebut Panghulu nan Duopuluah sebagai berikut:
1. Jorong Mandiangin
– Dt. Malako Basa suku Pisang
– Dt. Dadok Putiah suku Pisang
– Dt. Majo Labiah suku Sikumbang
– Dt. Barbangso suku Tanjuang
2. Jorong Koto Salayan
– Dt. Nan Basa suku Pisang
– Dt. Kampuang Dalam suku Koto
– Dt. Kuniang suku Guci
– Dt. Nan Gamuak suku Salayan
3. Jorong Guguak Panjang
– Dt. Nagari Labiah suku Jambak
– Dt. Pangulu Basa suku Jambak
– Dt. Majo Sati suku Tanjuang
– Dt. Subaliak Langik suku Guci
4. Jorong Aur Birugo
– Dt. Majo Nan Sati suku Guci
– Dt. Sunguik Ameh suku Pisang
– Dt. Tan Ameh suku Jambak
– Dt. Malayau Basa suku Simabua
5. Jorong Tigo Baleh
– Dt. Mangkudun suku Guci
– Dt. Indo Kayo Labiah suku Pisang
– Dt. Rangkayo Basa suku Sikumbang
– Dt. Nan Adua suku Koto
Selang beberapa lama kemudian terbentuklah secara mufakat Penghulu nan Duo Puluah Anam, yaitu suatu lembaga yang akan menjalankan adat di Kurai Limo Jorong. Lembaga ini terdiri dari 26 orang penghulu, yaitu:
“Penghulu nan Balimo” atau sekarang disebut Pucuak Nan Balimo
“Manti nan Sambilan” atau sekarang disebut Panghulu nan Sambilan
“Dubalang nan Duo Baleh” atau sekarang disebut Panghulu nan Duo Baleh
Disamping itu ada lagi yang disebut “Pangka Tuo Nan Saratuih”, yaitu Niniak Mamak yang di masing-masing jorong berfungsi sebagai Pangka Tuo Kubu, Pangka Tuo Hindu,
Pangka Tuo Kampuang dan Pangka Tuo Banda.
Pangka Tuo Kubu dan Pangka Tuo Hindu berkuasa di tempatnya (kubu) masing-masing. Pangka Tuo Kubu yang tertinggi adalah Dt. Samiak dan Dt. Balai.
Pangka Tuo Kampuang berkuasa di kampung masing-masing, bekerja sama dengan Pangka Tuo Kubu dan Pangka Tuo Hindu. Dt. Panduko Sati (Tanjuang) adalah Pangka Tuo Kampuang yang tertinggi di Kurai.
Pangka Tuo Banda adalah terutama berfungsi di daerah persawahan, yaitu diangkat untuk mengatur secara teknis pembagian air ke sawah-sawah.
Pangka Tuo Nagari yang berkuasa penuh di Jorong (nagari) masing-masing dibantu serta bekerjasama dengan Pangka Tuo Kampuang, Pangka Tuo Kubu dan Pangka Tuo Hindu. Dalam kerjasama tersebut dipimpin oleh Penghulu Pucuak yang ada dalam Jorong yang bersangkutan.
Dengan demikian maka tingkatan kepenghuluan di Kurai Limo Jorong adalah sebagi berikut:
1. Penghulu Pucuak Nan Balimo
2. Penghulu Pucuak nan Sambilan
3. Penghulu Pucuak nan Duo Baleh
4. Empat penghulu yang dianggap termasuk Nan Duo Baleh atau Nan Duo Puluah Anam.
5. Ninik Mamak Pangka Tuo Nagari
6. Ninik Mamak Pangka Tuo Kampuang
7. Ninik Mamak Pangka Tuo Kubu
8. Ninik Mamak Pangka Tuo Hindu
Pangka Tuo Banda tidak termasuk dalam tingkatan kepenghuluan karena penghulu ini hanya mempunyai tugas dan kewajiban khusus menyangkut teknis pengairan dan tidak mempunyai wewenang dan tanggung jawab dari segi adat.
Semuanya itu disebut Niniak Mamak nan Balingka Aua yang dengan Panghulu nan Duo Puluah Anam merupakan Pucuak Bulek Urek Tunggang dalam Lembaga Kerapatan Adat Kurai Limo Jorong.
Semua penghulu disebut “nan gadang basa batuah”. Yang meng”gadang”kan adalah bako dan anak pusako, yang mem”basa”kan adalah nagari dan yang me”nuah”kan adalah anak kamanakan.
Pucuak Nan Balimo
Pucuak nan Balimo adalah pimpinan adat tertinggi di Kurai Limo Jorong yang aggotanya terdiri dari:
– Dt. Bandaharo suku Guci
– Dt. Yang Pituan suku Pisang
– Dt. Sati suku Sikumbang
– Dt. Rajo Mantari suku Jambak
– Dt. Rajo Endah suku Tanjuang
- Pucuak Bulek nan Balimo diketuai oleh Dt. Bandaharo. Setiap keputusan yang telah dimufakati oleh Penghulu Pucuak nan Sembilan serta Penghulu Pucuak nan Duo Baleh mula-mula dihantarkan kepada Dt. Rajo Endah, kemudian diteruskan kepada Dt. Rajo Mantari, selanjutnya kepada Dt. Sati dan kemudian kepada Dt. Yang Pituan sebelum akhirnya kepada Dt. Bandaharo untuk diputuskan secara bulat, sarupo pisang gadang, dibukak kulik tampak isi, lalu dimakan habih-habih.
- Dt. Bandaharo disebut pusek jalo pumpunan ikan, mamacik kato nan bulek. Juga dikenal sebagai nan basawah gadang.
- Dt. Yang Pituan, dikenal sebagai nan batabuah larangan karena tugasnya untuk mengumpulkan / memanggil seluruh ninik-mamak / penghulu Kurai Limo Jorong untuk hadir dalam suatu acara adat, dibantu oleh Dt. Panghulu Sati dan Dt. Panghulu Basa.
- Dt. Sati, dikenal sebagai nan bapadang puhun atau bapadi sakapuak hampo, baameh sapuro lancuang dan tetap di Campago, Mandiangin, sehingga disebut juga gadang sabingkah tanah di Mandiangin.
- Dt. Rajo Mantari, dikenal sebagai nan baguguak panjang dan dikatakan gadang sabingkah tanah di Guguak Panjang.
- Dt. Rajo Endah, dikenal sebagai nan babonjo baru (di daerah Tarok).
Panghulu Pucuak Nan Sambilan
Panghulu Pucuak nan Sambilan berfungsi untuk membulatkan keputusan hasil mufakat Panghulu nan Duo Baleh, bulek sarupo Inti, sebelum dihantarkan kepada Pucuak Bulek nan Balimo.
Yang termasuk Panghulu nan Sambilan adalah:
– Dt. Pangulu Sati suku Tanjuang
– Dt. Maharajo suku Guci
– Dt. Batuah suku Sikumbang
– Dt. Kayo suku Jambak
– Dt. Sinaro suku Simabua
– Dt. Putiah suku Pisang
– Dt. Nan Baranam suku Salayan
– Dt. Bagindo Basa suku Koto
– Dt. Rajo Mulia suku Pisang
- Dt. Pangulu Sati adalah pimpinan adat Panghulu nan Sambilan.
- Dt. Maharajo menguatkan pimpinan adat, memimpin penyelesaian masalah-masalah adat dibantu oleh Dt. Batuah dan Dt. Kayo.
- Dt. Panghulu Sati, Dt. Maharajo, Dt. Batuah dan Dt. Kayo disebut manti atau Basa Ampek Balai, yang berfungsi untuk mengambil keputusan menurut adat.
- Dt. Sinaro bersama-sama Dt. Putiah mengambil keputusan menurut adat, salangkah indak lalu, satapak indak suruik, maampang tuhua mamakok mati dan buliah suruik lalu.
- Dt. Nan Baranam dikenal bataratak bakoto asiang.
- Dt. Bagindo Basa dikenal baparik bakoto dalam.
- Dt. Rajo Mulia dikenal sebagai nan bungsu dari nan sambilan.
Yang termasuk Panghulu nan Duo Baleh adalah:
– Dt. Malaka suku Guci
– Dt. Pangulu Basa suku Sikumbang
– Dt. Simajo Nan Panjang suku Tanjuang
– Dt. Rangkayo Nan Basa suku Jambak
– Dt. Garang suku Koto
– Dt. Bagindo suku Pisang
– Dt. Tan Muhamad suku Salayan
– Dt. Nan Angek suku Pisang
– Dt. Panjang Lidah suku Simabua
– Dt. nan Labiah suku Pisang
– Dt. Palimo Bajau suku Tanjuang
– Dt. Tumbaliak suku Guci
Panghulu Pucuak Nan Duobaleh
Panghulu Pucuak nan Duo Baleh berfungsi untuk merumuskan keputusan hasil mufakat Panghulu nan Sambilan, mamicak-micak sarupo Pinyaram, sebelum dihantarkan kepada Panghulu Pucuak nan Sambilan.
- Dt. Malaka, Dt. Panghulu Basa, Dt. Rangkayo Basa dan Dt. Simajo nan Panjang juga disebut Basa Ampek Balai.
- Dt. Bagindo, dalam acara Mendirikan Penghulu adalah penghulu yang pertama menerima bagian daging dan tidak seperti untuk penghulu yang lainnya daging tersebut dicincang terlebih dahulu. Dt. Bagindo juga berfungsi menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara penghulu-penghulu di Kurai Limo Jorong. Disamping itu setiap kali mengadakan pertemuan antara penghulu-penghulu, untuk acara apapun, Dt. Bagindo juga berfungsi menyediakan makanan/minuman. Untuk itu Dt. Bagindo mempunyai sawah paduan yaitu sawah yang hasilnya oleh Dt. Bagindo digunakan untuk membiayai penyelenggaraan setiap pertemuan tersebut. Dt. Bagindo dibantu oleh Dt. Putiah dan Dt. Rajo Mulia.
- Dt. Simarajo Nan Panjang pada masa dahulu adalah penghulu yang jabatannya menguasai semua kubu-kubu di Kurai Limo Jorong dan menjagainya.
- Dt. Nan Angek dan Dt. Putiah disebut urang Pisang ampek rumah.
- Dt. Panghulu Basa dan Dt. Batuah disebut bagobah di Balai Banyak.
- Dt. Garang dan Dt. Bagindo Basa baparik Koto Dalam.
- Dt. Tan Muhamad disebut babingkah tanah dan adalah panghulu yang bungsu di antara Panghulu Nan Duo Baleh.
Termasuk juga dalam Panghulu Nan Duo Baleh adalah Dt. Batuduang Putiah (Pisang), Dt. Nan Laweh (Pisang), Dt. Asa Basa (Jambak) dan Dt Majo Basa (Jambak). Kalau ada acara meresmikan Pangka Tuo Banda secara adat, maka ke-empat penghulu ini bekerjasama satu sama lain menjadi cancang mahandehan, lompek basitumpu. Yang tertinggi atau sebagai pimpinan dalam kerjasama di antara ke-empat penghulu ini, adalah Dt. Batuduang Putih.
Asal Usul Orang Kurai Limo Jorong
Kedatangan Nenek Moyang Ke Luhak Agam
Dari berbagai sumber disebutkan, bahwa perpindahan penduduk dari Pariangan PadangPanjang menuju kepada dua arah. Pertama, ke arah timur dan tenggara Pariangan. Kedua, ke dataran tinggi arah utara Gunung Merapi. Ke arah Timur dan Tenggara Pariangan merupakan dataran rendah yang luas dialiri sungai besar seperti Batang Hari, Batang Kuantan dan Batang Kampar. Hal ini memudahkan penduduk mencari tanah baru yang subur dengan alat transportasi sungai tersebut.
Perpindahan penduduk ke dataran tinggi arah utara Gunung Merapi adalah perpindahan yang sulit. Kondisi alam yang berbukit, hutan yang lebat menyebabkan perpindahan penduduk kearah utara ini merupakan perjalanan yang berat. Oleh karena itu, perpindahan dilakukan bergelombang dengan rombongan yang besar.
Pada Tiap gelombang terdiri dari empat rombongan besar, sehingga pada lokasi hutan yang dibuka dapat didirikan empat nagari supaya dapat diperoleh keamanan bersama. Dalam empat gelombang perpindahan maka berdirilah 16 nagari di Luhak agam.
Nagari Kurai berada di tengah-tengah di Luhak Agam. Bila ingin melihat kedatangan penduduk yang menjadi nenek moyang orang Kurai tidak dapat dipisahkan dengan kedatangan penduduk ke Luhak Agam. Penyebaran penduduk ke Luhak Agam berlansung dalam empat periode dalam waktu yang cukup lama. Periode pertama menempati Agam Biaro, Balai Gurah, Lambah, dan Panampuang. Periode Kedua menempati Lasi, Canduang, Kurai, dan Banuhampu. Perode Ketiga menempati Sianok, Koto gadang, Guguak, dan Tabek Sarojo. Periode Keempat menempati Sariak, Sungai Puar, Batagak, dan Batu Palano.
Kedatangan Nenek Moyang Ke Kurai Limo Jorong
Penduduk yang datang mendiami daerah Kurai adalah penduduk yang berpindah dari Pariangan Padang Panjang pada periode kedua, yakni yang menempati Lasi, Canduang, Kurai, dan Banuhampu. Dalam perkembangannya masing-masing menjadi nagari.
Rombongan penduduk yang menempati Kurai tersebutlah menurut salah satu versi tambo berjumlah kurang aso saratuih. Namun tidak dikemukakan bentuk, jenis keluarga yang turut sebagai peserta rombongan dan pimpinannya. Untuk mengetahuinya dapat dilihat melalui penelusuran susunan keluarga dalam sepayung atau sesuku. Setiap payung atau suku babuah paruik dan paruik babuah jurai.
Artinya orang sepayung atau sesuku dapat terdiri dari paruik-paruik satu keturunan dan dapat pula dari paruik-paruik beda keturunan. Hal ini menjelaskan, bahwa tidak mungkin sebuah payuang atau suku akan berangkat bersama paruik-paruiknya menuju daerah baru dan meninggalkan cancang lateh pada masa sebelumnya.
Orang perorangan juga tidak mungkin pindah ke daerah baru. Paling sedikit yang berangkat adalah orang sejurai yang dipimpin oleh tungganai dan paling banyak orang separuik yang dipimpin oleh niniak mamak paruik. Ini menjelaskan juga, bahwa setiap rombongan terdiri dari pecahan beberapa suku dari daerah sebelumnya.Jumlah suku dalam rombongan yang datang ke Kurai dapat dilihat setelah tiba di Koto Jolong.
Terhadap perjalanan rombongan dari Pariangan Padang Panjang ke Koto Jolong terdapat beberapa versi dalam masyarakat adat.
Perpindahan penduduk dari Pariangan padang Panjang dengan rombongan besar sebanyak 99 keluarga (100 kurang aso). Dalam perjalanan yang dipimpin oleh Rajo Bagombak bergelar Yang Dipertuan Bagonjong bersama Badaharo Nan Bangkah, rombongan ini melewati berbagai negeri dan beristirahat di negeri tersebut yakni Negeri Tanjung Alam Kenagarian Sungai Tarab Batu Sangkar. Di Sungai Tarab, rombongan mempersiapkan moril dan materil untuk meneruskan perjalanan menembus Bukit Barisan menuju Luhak Agam.
Selepas beristirahat di Sungai Tarab, rombongan melanjutkan perjalanan hingga sampai di sebuah padang dan beristirahat cukup lama di situ. Padang tersebut di kemudian hari dikenal dengan nama Padang Kurai.
Di Padang Kurai di perolah kesepakatakan, bahwa rombongan di pecah menjadi dua. Rombongan pertama dipimpin oleh Bandaharo Nan Bangkah berangkat menuju ke arah Mudiak menelusuri kaki Gunung Merapi. Rombongan pertama ini menempati daerah selatan(disebut juga daerah mudiak) adalah tempat kediaman pertama terdiri dari tujuh keluarga pecahan suku dan setiap keluarga menempati lokasi sesuai dengan kebutuhan kehidupan. Hal tersebut dapat kita lihat sampai sekarang, yakni Persukuan Pisang di Kapalo Koto, Persukuan Jambak di Tabiang, Persukuan Koto di Kabun, Persukuan Guci di Pakan Labuah, Persukuan Tanjuang di Belakang Balai, Persukuan Simabua di Pakan Labuah, Persukuan Sikumbang di Pabeloan.
DIAGRAM 1 RUTE PERJALANAN ROMBONGAN PERTAMA

Rombongan Kedua di bawah pimpinan Rajo Bagombak bergelar Yang Dipituan Bagonjong dari Padang Kurai melanjutkan perjalanan dan singgah di sebuah tempat yang indah, bertebing dan dari celah tebing mengalir air yang jernih. Tempat itu dinamai Pincuran Puti.Dari Pincuran Puti Rombongan melanjutkan perjalanan dan sampai di daerah yang sepanjang jalannya tumbuh pinang berleret. Daerah tersebut dinamai Pinang Baririk (Tanjung Alam sekarang).
Dari Pinang Baririk rombongan melanjutkan perjalanan dan terhenti karena di hadang oleh tanah yang putus (sebuah parit yang luas). Daerah ini dinamai Parit Putus. Dari daerah ini rombongan memutar arah perjalanan ke arah mudik dan menemukan suatu daerah yang lapang. Konon di daerah yang lapang ini putri dari Yang Dipituan Bagonjong menambatkan kudanya pada sebatang pohon. Oleh karena itu, daerah tersebut dinamai dengan Pautan Kudo (dekat Surau Pinang sekarang).
Dari Pautan Kudo, rombongan melanjutkan perjalanan hingga menemukan sebuah parit yang panjang teretang menghalangi perjalanan (daerah ini dinamai Parik Antang). Untuk menyebrangi parit tersebut salah seorang dari rombongan menebang sebatang pohon kayu untuk titian keseberang. Parit tersebut dinamai Batang Kurai atau Tan Kurai. Dari Batang Kurai perjalanan dilanjutkan hingga sampai pada sebuah aliran sungai yang diberi nama Parit Tuo/ Batang Buo/Tambuo].
Dari Tambuo Rombongan di bawah pimpinan Yang Pituan Nan Bagonjong menuju Koto Katiak[12]. Dari Koto Katiak rombongan terus bergerak menuju ke hilir menuju Pabeloan dan berbelok ke puhun. Di Puhun rombongan Yang Pituan Nan Bagonjong bertemu dengan rombongan pertama yang dipimpin oleh bandaharo Nan Bangkah. Di tempat ini, kedua pimpinan bermufakat untuk mendirikan koto dan nagari. Berdasarkan kesepakatan tersebut, daerah yang akan dijadikan tempat tinggal tersebut dinamai Koto Jolong.
DIAGRAM 2 RUTE PERJALANAN ROMBONGAN KEDUA

DIAGRAM 3 PENYEBARAN PENDUDUK DARI PARIANGAN PADANG PANJANG

Koto Jolong
Lokasi pemukiman Koto Jolong membujur dari selatan ke utara atau dapat juga disebut dari Kapalo Koto sampai Ikua Labuah. Lokasi daerah Koto Jolong ini dikelilingi oleh parit dengan batas-batas sebagai berikut:
- Sebelah Barat membujur Parit Tambuo yang dinamai juga Tambuo Puhun.
- Sebelah Timur oleh Parit Batang Kurai yang disebut juga Tambuo Tangkurai.
- Sebelah selatan dengan Nagari Kubang Putiah
- Sebelah Utara oleh daerah pertemuan Sungai Tambuo dengan Sungai Tangkurai di Ikua Labuah.
Daerah pemukiman Koto Jolong dikenal dalam bentuk dua daerah bernama Daerah Mudiak di daerah Selatan yang didiami oleh Tujuh Keluarga (suku) yang berasal dari rombongan pertama yang dipimpin Bandaharo Nan Bangkah dan Daerah Hilir di Utara yang didiami oleh enam keluarga suku yang berasal dari rombongan kedua yang dipimpin oleh Rajo Nan Gombak bergelar Yang Pituan Nan Bagonjong.
Daerah Mudiak di kemudian hari di kenal dengan nama Kampuang Pakan Labuah dan daerah Hilir di kenal nama Kampuang Balai Banyak. Ketiga belas pimpinan keluarga (suku) yang ada di Koto Jolong sepakat memakai gelar pusako masing-masing dan yang belum mempunyai gelar pusaka atas kesepakatan keluarga dapat memakai gelar pusako yang ada di nagari asal. Ketiga belas ninik mamak bergelar Datuak tesebut adalah pendiri Nagari Tigo Baleh.
Tugu Tigo Baleh
Tugu Tigo Baleh adalah sebuah tugu segi lima dengan tinggi lebih kurang 4 meter yang berada tepat di tengan jalan / Simpang Tigo Baleh.Secara administratif Tugu Tigo Baleh berada dalam wilayah Kelurahan Pakan Labuah. Tulisan pada tugu tersebut “Abri Masuk Desa Manunggal XIV 25-11 s/d 8 – 12 1983” menunjukan waktu pembangunannya, yaknipada tahun 1983 dalam program pemerintah yang terkenal dengan Manunggal Abri Masuk Desa.
Sebagai sebuah bangunan budaya, Tugu Tigo Baleh adalah sebuah tanda dan simbol yang sengaja dibangun untuk meng-abadikan “sesuatu” yang dianggap bernilai, berharga, dan penting dalam sejarah dan asal usul Nagari Kurai. Tugu Tigo Baleh dibangun sebagai tanda bahwa Nagari Tigo Baleh didirikan oleh tiga belas niniak mamak yang pertama kali datang ke Koto Jolong yanga mana Nagari Tigo Baleh adalah cikal bakal Nagari Kurai Limo Jorong.
Hal ini tentunya didasarkan kepada sejarah asal usul orang Kurai seperti yang telah diuraikan pada bagian awal, yakni Nenek Moyang Orang Kurai adalah penduduk yang melakukan migrasi gelombang kedua dari Pariangan Padang Panjang. Migrasi tersebut dipimpin oleh Rajo Nan Gombak bergelar Yang Pituan Nan Bagonjong dan Bandaharo Nan Bangkah. Dalam migrasi tersebut, terdapat tiga belas keluarga dari suku –suku yang berasal dari Pariangan Padang Panjang.
Tiga Belas Suku tersebut menempati daerah Koto Jolong yang merupakan asal muasal Nagari Tigo Baleh dan Kurai Limo Jorong. Tiga Belas keluarga (suku) tersebut terdiri dari Tujuh (7) keluarga (suku) memempati daerah Mudiak (Pakan Labuah) dan 6 keluarga (suku) menempati daerah hilir (Balai Banyak).
Tugu Tigo Baleh adalah lambang keberdaan Niniak Mamak tiga belas suku yang datang pertama kali ke Koto Jolong. Niniak mamak tersebutlah yang membangun Nagari Tigo Baleh, menetapkan sendi-sendi adat serta menetapkan delapan buah suku di Nagari Tigo Baleh. Niniak mamak yang tiga belas tersebut juga telah menetapkan aliran adat yang akan digunakan di Nagari Tigo Baleh. Kebijaksanaan niniak mamak tersebut telah melahirkan sebuah sistem adat yang manis dan harmonis, yakni penggabungan dua aliran adat (Aliran Bodi caniago dan Aliran Koto Piliang) hingga dikenal dengan sebutan elok diurang rancak di awak. Penggunaan kedua aliran adat tersebut di Nagari Tigo Baleh tertuang dalam pepatah adat:
Pisang sikalek-kalek hutan
Pisang tambatu nan bagatah
Adat Bodi Caniago Inyo Bukan
Adat koto Piliang anyo antah
Pisang tambatu nan bagatah
Kaduo jo pisang ameh
Katigo pisang rajo sarai
Adat Bodi Caniago anyo rancak
Adat Koto Piliang anyo elok
Tibo di kurai samo di pakai
