The Count Of Monte Cristo

sumber: https://klasikfanda.blogspot.com/2011/06/count-of-monte-cristo.html

Pada tahun 1844, di sebuah harian bertajuk Journal des Débats, sebuah kisah petualangan pertama kali terbit sebagai cerita bersambung sepanjang 18 seri. Cerita itu lalu mengguncang daratan Eropa. Setiap pagi, saat sarapan atau di tempat kerja, orang-orang akan membicarakan cerita ini. Ditulis oleh seorang berkebangsaan Prancis bernama Alexandre Dumas, cerita ini akhirnya dibukukan sebagai novel dengan judul: The Count Of Monte Cristo. Hingga saat ini, The Count of Monte Cristo merupakan salah satu novel yang paling populer di Eropa, telah diterjemahkan dan diterbitkan di seluruh dunia ke dalam berbagai bahasa, dan telah sering diangkat ke panggung teater serta film layar lebar.

The Count of Monte Cristo adalah sebuah kisah petualangan dengan background sejarah yang kaya dengan plot. Berkisah tentang Edmond Dantès, seorang kelasi kelas satu Marseille berusia 19 tahun yang bekerja di atas kapal Pharaon. Memiliki kepribadian yang baik, bertanggung jawab, jujur dan setia, membuat Monsieur Morrel–pemilik kapal Pharaon berencana mengangkat Dantès menjadi Kapten kapal. Pribadinya itu juga mempesona seorang gadis nelayan cantik bernama Mercédès, yang mencintai dan akan dinikahi oleh Dantès. Karir menjanjikan dan calon istri cantik, dua kemujuran yang didambakan pria manapun, termasuk Danglars (kolega Dantès di kapal) dan Fernand Mondego (sepupu Mercédès) yang iri kepada Dantès. Danglars iri karena posisi Kaptennya, Fernand iri pada mengincar calon istrinya. Maka keduanya pun bekerja sama untuk menjatuhkan Dantès.

Kisah ini bersetting tahun 1815, saat-saat penting bagi kekaisaran Prancis, ketika Napoleon sedang berupaya untuk kembali ke takhta Kaisar yang direbut darinya oleh Louis XVIII. Kapten kapal Pharaon yang merupakan sekutu Napoleon, mempercayakan sebuah amanat kepada Dantès untuk mengirimkan surat untuk para pengikut Napoleon. Sebuah hal yang dianggap Dantès hanya sebagai tugasnya, tanpa ia mengetahui isinya. Amanat inilah yang dipakai Danglars dan Fernand sebagai alat menjatuhkan Dantès, dengan cara menulis surat yang berisi tuduhan palsu ke Penuntut Umum: Villefort. Meski Villefort adalah hamba hukum yang adil, namun karena alasan pribadi yang menyangkut ayahnya yang seorang Bonapartis, akhirnya memutar balikkan fakta, dan menggunakan surat fitnah tadi untuk menjebloskan Dantès ke penjara dengan tuduhan: menjadi sekutu Napoleon (Bonapartis).

Dari kehidupan yang nyaris sempurna, tiba-tiba bukan saja karir dan pernikahan, namun seluruh hidup Dantès seolah dirampas darinya, dan diganti dengan kegelapan penjara Chateu d’If yang harus ia tempati seumur hidup. Namun, ketika ia nyaris putus asa di dalam penjara, tiba-tiba secercah cahaya menerangi jalan hidupnya. Seorang tahanan tua di sana bernama Abbé Faria menjadi sahabatnya secara sembunyi-sembunyi. Kedua bilik mereka dihubungkan oleh terowongan yang telah digali Faria selama bertahun-tahun. Selain mengajarkan bahasa dan pengetahuan lainnya, Abbé Faria membukakan mata Dantès pada siasat licik 3 orang yang telah menjebloskannya ke penjara. Selain itu Abbé Faria, yang melihat ketulusan dan kasih Dantès kepadanya layaknya seorang anak kepada ayahnya, mengungkapkan rahasia harta karun yang disimpannya diam-diam di sebuah pulau kecil bernama Monte Cristo. Dan rencana meloloskan diripun segera disusun. Sayangnya, satu-satunya cara meloloskan diri dari penjara hanya dapat dilakukan oleh Dantès seorang diri, tanpa Abbé Faria yang sakit-sakitan. Tak tega meninggalkan Faria, Dantès pun tetap menemani Faria. Ketika Abbé Faria akhirnya meninggal, barulah Dantès melaksanakan rencana melarikan dirinya.

Kembali ke Marseille empat belas tahun kemudian, dengan segala kepahitan serta kebijaksanaan yang mengubah penampilan Dantès sehingga tak dapat dikenali lagi, mulailah Dantès “bermain” menjadi Tuhan–mengganjar yang baik dan menghukum yang jahat. Di sini mulailah plot yang kaya dengan intrik bergulir dengan indah meski lumayan memusingkan. Berbekal kemampuan membaca karakter orang lain dan harta yang berlimpah, Dantès pun kembali memasuki kehidupan orang-orang yang pernah dekat dengannya dulu: Mercédès, Danglars, Fernand, Villefort, Morrel dan Caderousse. Tentu saja, ia tidak datang sebagai Dantès sendiri, melainkan dengan menjelma ke dalam berbagai pribadi: Abbé Busoni–seorang pastor Italia, Lord Wilmore–bangsawan Inggris yang dermawan, seorang staf firma Thomson & French, serta–tentu saja–Count of Monte Cristo, gelar kebangsawanan yang dibelinya, sesuai dengan pulau yang juga telah dibelinya dari harta yang ia temukan di pulau tersebut.

Sangat menarik bagaimana Count of Monte Cristo ini mampu, dalam waktu cukup singkat, menanamkan pengaruhnya ke lingkungan bangsawan di Paris, termasuk ke musuh-musuhnya: Fernand yang telah menjelma menjadi Count de Morcerf, Danglars yang telah menjadi Baron dan bankir kaya raya, serta Villefort sang Penuntut Umum. Cara yang ia gunakan cerdik dan halus, sehingga semua orang mengagumi kecerdasan, kebijaksanaan, keramahan dan kekayaannya, alih-alih mencurigainya. Semuanya itu lalu dipoles dengan gaya bicara dan pembawaannya yang sangat terhormat dan ningrat. Pesona ditambah dengan plot yang cerdik, membuat Monte Cristo perlahan namun pasti melaksanakan rencananya. Ia murah hati pada orang yang telah menolongnya, namun kejam pada orang yang telah merampas hidupnya.

Banyak cara bisa digunakan manusia untuk balas dendam. Seorang samurai mungkin akan langsung berhadapan dengan musuhnya untuk membunuhnya, namun seorang Count of Monte Cristo berdiri di balik layar bak dalang dalam pertunjukan wayang. Ia hanya menyediakan “sarana” untuk menjatuhkan hidup lawannya lewat tangan orang lain yang dekat dengan si korban. Dengan cara ini, si korban tak akan menyangka bahwa penyebab masalah yang datang bertubi-tubi pada dirinya itu digerakkan oleh kebencian orang yang dianggapnya telah mati, bukannya sebuah nasib buruk belaka. Di sini aku teringat pada karakter Norton di buku Tirai (Agatha Christie). Norton tidak membunuh korbannya dengan tangannya sendiri. Ia hanya melihat situasi, suami yang terkungkung dalam dominasi istrinya, misalnya. Lalu dengan kata-kata yang diucapkan dengan tepat pada saat yang tepat, bisa mempengaruhi si suami untuk bertindak membunuh istrinya. Seperti itu jugalah metode Count of Monte Cristo. Ketika ia mengamati keinginan terselubung seorang wanita ambisius untuk mengamankan warisan bagi putranya, ia pun pura-pura berbicara tentang racun. Tak sedetikpun ia mengusulkan untuk menggunakan racun itu. Keputusan akhir untuk menggunakan atau membuang sarana yang ada itu, sepenuhnya terletak di tangan si wanita sendiri.

Maka, boleh dibilang pembalasan dendam Monte Cristo tak akan terwujud andaikata musuh-musuhnya memiliki moral dan kepribadian yang baik. Takkan ada “dosa” yang bisa diungkapkan kepada publik yang akan menjatuhkan kehormatan para calon korban. Ingatlah, bahwa di jaman itu, kehormatan jauh lebih penting daripada nyawa seseorang, terutama bagi mereka yang berada di strata atas pergaulan sosial. Sekali saja sebuah skandal terungkap, maka kematian akan terasa lebih ringan daripada jatuhnya kehormatan. “Dosa-dosa” inilah yang dicari dan dikorek oleh Count of Monte Cristo untuk menyiapkan jebakan bagi calon korbannya. Dengan cara itu, si calon korban tak pernah menyangka bahwa dirinya menjadi sasaran balas dendam, sampai Count of Monte Cristo menyiapkan “panggung” terakhir bagi pembalasan dendamnya….

Menariknya, meski benaknya dipenuhi dengan skenario pembalasan dendam, masih tersedia ruang di hati Count of Monte Cristo untuk bermurah hati bagi orang-orang yang baik dan dikasihinya. Bahkan ia rela berkorban nyawa, bila itu diperlukan untuk membiarkan orang yang dikasihinya tetap hidup. Maka sulitlah bagiku, dan mungkin anda juga, untuk dapat membenci Count of Monte Cristo atau mencapnya sebagai tokoh yang jahat. Bagaimana mungkin aku mengabaikan pesonanya, dengan segala keagungan, kecerdikan, dan ketenangannya? Bagaimana mungkin aku tak tersentuh tiap kali mendengar kata-katanya yang indah namun datang dari lubuk hati terdalamnya? Bagaimana mungkin hatiku tak tertawan dengan kebijaksanaannya dalam melihat kehidupan? Dan bagaimana aku bisa tak menaruh simpati pada ketulusan hatinya untuk menolong orang lain, atau pada begitu dalam luka tertoreh di hatinya yang membuatnya harus membalas dendam?

Sosok Count of Monte Cristo alias Edmond Dantès ini menurutku, yang membuat buku ini akan selalu mendapat tempat di hatiku. Intrik bisa dibuat oleh siapapun. Bahkan plot intrik The Count of Monte Cristo ini sebenarnya dibuat berdasarkan inspirasi sebuah kisah dalam buku karya Jacques Peuchet yang terbit pada tahun 1838. Kisah itu tentang pembuat sepatu bernama Picaud yang akan menikahi seorang wanita kaya, lalu karena kecemburuan tiga orang temannya, difitnah sebagai mata-mata dan dijebloskan ke penjara. Teman sesama napi-nya yang sekarat menganugerahinya harta yang tersembunyi di suatu tempat, lalu Picaud mengambil harta itu setelah bebas, dan menggunakannya untuk balas dendam. Dan itu hanya salah satunya saja. Plot dasar buku ini juga merupakan karya Auguste Maquet, seorang ghost writer yang sering berkolaborasi dengan Dumas. Jadi…plot bisa dibuat oleh siapa saja, namun untuk memberi “jiwa” pada tokoh-tokohnya, tentu saja hanya bisa dilakukan oleh penulis besar, seperti Alexandre Dumas. Hanya di tangannyalah, sosok Count of Monte Cristo menjadi hidup, dan sekaligus menghidupkan buku ini!

Kalau bisa, aku ingin mempersembahkan 5,5 bintang bagi The Count of Monte Cristo, karena tak pelak lagi, buku ini merupakan salah satu novel klasik sepanjang masa yang tetap nikmat dibaca hingga berapa kalipun. Di akhir review ini ijinkan aku untuk mengutip kata-kata Edmond Dantès kepada Mercédès yang terus menggema di hatiku, ketika harus melakukan sebuah pengorbanan. Mungkin anda akan bisa memahami mengapa aku jatuh cinta pada tokoh Count of Monte Cristo ini…

“Kau mengatakan itu tanpa mengetahui besarnya pengorbanan yang akan kubuat untukmu, Mercédès. Andaikata Yang Maha Pencipta, setelah menciptakan sepertiga dunia, telah berhenti di sana untuk menyelamatkan air mata seorang malaikat yang justru telah menangisi kejahatan kita kelak; andaikan bahwa, setelah menyiapkan segala sesuatu dan menyebar benih kehidupan, persis ketika akan mengagumi karyanya, Tuhan telah menghapuskan matahari dan melemparkan dunia ke dalam malam abadi—jika kaubayangkan semua itu, kau masih tidak bisa membayangkan apa yang akan hilang dariku dengan kehilangan hidupku pada saat ini.”

Judul: The Count Of Monte Cristo

Penulis: Alexandre Dumas

Penerjemah: Nin Bakdi Soemanto

Penerbit: Bentang Pustaka

Cetakan: Maret 2011

Tebal: 563 hlm

The Count of Monte Cristo (2002)

sumber: https://www.duniasinema.com/2021/04/the-count-of-monte-cristo-keadilan-kebebasan-direnggut.html

I’m a count, not a saint.

Sinema drama, review film The Count of Monte Cristo, sebagai keadilan terhadap kebebasan yang direnggut. 

Sangat amat menyakitkan, bagaimana rasanya seketika kebebasan itu dirampas secara mengejutkan.

Apalagi melalui penyiksaan hingga merasuk ke dalam jiwa seorang Edmond Dantés, yang putus asa dalam menuntut keadilan.

Mungkin tidak banyak yang tahu tentang film The Count of Monte Cristo yang diadaptasi dari novel klasik dari abad 19 karya Alexandre Dumas ini.

Diperankan oleh Jim Caviezel dan Guy Pearce, ternyata narasi film The Count of Monte Cristo tidak diadaptasi penuh, melainkan ada beberapa perubahan tertentu.

Memang tidak banyak yang bisa dibahas dari film ini, karena mungkin kalah popularitas dengan karya Dumas lainnya seperti The Three Musketeers misalnya.

Namun karena penceritaannya yang menarik itulah, saya merekomendasikan film The Count of Monte Cristo untuk segera ditonton.

Filmnya mengisahkan dua orang sahabat yakni Edmond Dantés (Jim Caviezel) sebagai perwira kelas dua dari sebuah kapal barang.

Lalu ada Fernand Mondego (Guy Pearce) sebagai perwakilan perusahaan perkapalan, kapal mereka berlabuh di pulau Elba.

Mereka mencari pertolongan guna menyembuhkan kapten mereka yang sakit, dan malah bertemu dengan Napoleon Bonaparte dan pasukannya yang sedang diasingkan di pulau tersebut.

Lalu Napoleon diam-diam memberikan sepucuk surat rahasia kepada Edmond untuk diberikan kepada seseorang bernama Clarion di kota Marseille, yang tanpa disadari diamati oleh Fernand. 

Napoleon memperingati Edmond agar tidak memberitahu kepada siapapun.

Sambil menunggu Clarion yang akan mendatangi dirinya menurut Napoleon, pada suatu malam Edmond malah ditangkap polisi.

Ia diinterogasi oleh hakim kota bernama Villefort (James Frain) yang secara mengejutkan kemudian menjebloskannya ke penjara Château d’If.

Edmond pun berusaha melarikan diri dan bersikeras menuntut keadilan bahwa dirinya tidak bersalah.

Dalam keputusasaan karena kebebasannya direnggut, secara tak sengaja ia bertemu dengan Abbé Farria (Richard Harris) yang berusaha kabur dan malah menyasar ke dalam selnya.

Mereka pun cepat akrab dan menyusun rencana untuk menggali terowongan agar dapat melarikan diri.

Sementara diantara waktu luangnya, Abbé mewariskan banyak ilmu dan sebuah rahasia kepada Edmond. Lalu bagaimana kisah selanjutnya?

Ternyata selain film ini, cukup banyak versi lainnya dari adaptasi novel The Count of Monte Cristo tersebut. 

Meski demikian, versi film ini memang menarik sejak awal cerita dan mampu membuai saya mengikuti alurnya hingga selesai.

Begitu mengikat emosi serta kadang memompa adrenalin di sepanjang cerita.

Sebuah film adaptasi selalu ada pro dan kontra dari sumber aslinya, yang untungnya saya kurang tertarik terhadap dunia literatur fiksi klasik.

Naskah yang ditulis Jay Wolpert ini memang mengesankan, yang dieksekusi dengan cermat oleh sutradara Kevin Reynolds.

Film ini menekankan atmosfir kelam dan mature, ditambah dengan gaya suspens yang memikat.

Baca juga Robin Hood: Prince of Thieves (1991), Formula Sukses Gaya Amerika  

Figur sentral Edmond Dantés yang diperankan dengan pas oleh Jim Caviezel dalam cerita film ini mewakili sosok orang baik yang cenderung naif dan mudah dimanfaatkan.

Ia merupakan korban suatu kejahatan terorganisir dan tidak mampu menuntut keadilan.

Edmond adalah contoh dari figur heroik namun sepertinya lemah dalam kesadaran serta keamanan diri.

Maka kebebasannya sebagai individu yang terlihat cerah di masa depan, mendadak hancur direnggut oleh kedengkian, kebencian serta niat jahat, dan mudah untuk dijadikan kambing hitam.

Maka sosok Abbé Farria yang diperankan sangat baik oleh mendiang Richard Harris, tentu menjadi penolong Edmond, sekaligus menjadi figur ayah dan mentornya.

Meski berada di dalam siksaan sel tahanan. Abbé membentuk Edmond kepada transformasi mengejutkan secara mental dan fisik.

Sedangkan sejumlah figur lainnya terkesan sedikit dangkal, seperti yang mudah diterka arahnya bakal kemana.

Walau demikian, performa masing-masing aktor/aktris lain, bermain sama baiknya meski tak menonjol.

Bagaimanapun juga hubungan antar karakter tetap dieksekusi dengan baik dan mampu membangkitkan emosi, baik simpati, marah maupun haru. 

Oh ya, performa Henry Cavill remaja cukup menyita perhatian, sejak saat itu tidak ada yang menyangka ia bakal menjadi Superman!

Latar maupun set desain dalam sejumlah adegannya, terkesan eksotis.

Suasana pelabuhan Marseille, kemeriahan Paris, glamoritas dan kemewahan istana Count Monte Cristo, serta bebatuan karang dan hamparan tebing Château d’If, sungguh memanjakan mata melalui pewarnaan vivid atau natural.

Pergerakan kamera yang terkadang cepat dengan kombinasi dari jarak jauh dan dekat serta berbagai sudut, turut menstimulus emosi dalam rasa terhadap adegan tertentu.

Semuanya berlainan dalam adegan yang menyenangkan, menegangkan, ataupun menggetarkan.

Terkadang beberapa adegan tertentu menyoroti figurnya dari arah bawah, sejak saya tidak merasakan kesan atau menangkap makna tertentu, ataukah mungkin hanya aspek estetis semata.

Berbagai macam tindakan dan aksi dalam menyelesaikan masalah besar, mampu dituntaskan dengan baik dan impresif.

Hanya saja hal yang paling akhir kurang memuaskan menurut saya, meski disajikan dalam aksi laga dramatis.

Film The Count of Monte Cristo menjadi tontonan yang direkomendasikan sebagai motivasi seseorang dalam usaha mendapatkan keadilan, setelah kebebasannya direnggut dengan kejam. 

Terkesan klise, namun mampu disajikan secara cerdas dan elegan.

The Count of Monte Cristo | 2002 | Drama, Petualangan, Period | Sutradara: Kevin Reynolds | Produser: Gary Barber, Roger Birnbaum, Jonathan Glickman | Penulis: Berdasarkan novel The Count of Monte Cristo karya Alexandre Dumas. Naskah: Jay Wolpert | Musik: Edward Shearmur | Sinematografi: Andrew Dunn | Distributor: Buena Vista Pictures | Negara: Amerika Serikat | Durasi: 131 Menit

Pemain:

  • Jim Caviezel sebagai Edmond Dantès
  • Guy Pearce sebagai Fernand Mondego
  • James Frain sebagai J.F. Villefort
  • Dagmara Dominczyk sebagai Mercedès Mondego (née Herrera)
  • Luis Guzmán sebagai Jacopo
  • Richard Harris sebagai Abbe Faria
  • Michael Wincott sebagai Armand Dorleac
  • Henry Cavill sebagai Albert Mondego
  • Albie Woodington sebagai Danglars
  • JB Blanc sebagai Luigi Vampa
  • Alex Norton sebagai Napoléon
  • Patrick Godfrey sebagai Morrel
  • Freddie Jones sebagai Colonel Villefort
  • Helen McCrory sebagai Valentina Villefort
  • Christopher Adamson sebagai Maurice