GAGRAK

Batik Gagrak Ngayogyakarta

src: berbagai sumber

Kata gagrak tidak terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sehingga tidak memiliki arti yang resmi. 

Kata gagrak berasal dari bahasa Jawa yang berarti gaya, model, atau ciri khas suatu daerah. 

Istilah ini sering digunakan dalam konteks wayang kulit untuk membedakan jenis-jenis wayang dari daerah yang berbeda, seperti gagrak Surakarta, Mataram (Yogyakarta), dan Banyumasan, yang masing-masing memiliki karakteristik dan ciri khas tersendiri. 

Dalam bahasa Jawa, “gagrak” merujuk pada model atau gaya yang unik dan spesifik. 

Penggunaan dalam wayang, gagrak merupakan cara untuk menunjukkan keanekaragaman budaya dan tradisi yang ada di berbagai daerah di Jawa. Masing-masing gagrak dalam wayang memiliki ciri khas tertentu dalam bentuk, ukuran, tata rias, dan filosofi, yang mencerminkan budaya masyarakat di daerah tersebut. 

Contoh gagrak dalam wayang:

  • Gagrak Surakarta: Wayang kulitnya memiliki proporsi tubuh yang ramping dan panjang, serta tata sungging dengan “hawancawarna” (berbagai macam warna). 
  • Gagrak Banyumasan: Memiliki kekhasan tersendiri yang membedakannya dari gagrak daerah lain. 

Penggunaan di luar wayang, konsep “gagrak” juga dapat diterapkan pada bidang lain, seperti “gagrak lawas” (gaya lama) dan “gagrak anyar” (gaya baru) dalam sastra Jawa. Selain itu, ada juga “gagrak Yogyakarta” yang merujuk pada tatanan busana atau gaya hidup masyarakat di Yogyakarta. 

Penggunaan kata gagrak secara umum:

  • Gagrak dalam Seni: Dalam konteks wayang kulit, “gagrak” membedakan model, bentuk, pola tatahan, dan sunggingan wayang, serta unsur-unsur pertunjukannya seperti lakon, catur, dan karawitan. Setiap gagrak mencerminkan karakteristik budaya daerah tertentu. 
  • Gagrak dalam Busana: Penggunaan “gagrak” dalam busana merujuk pada model pakaian tradisional dari suatu daerah, seperti pakaian adat khas Yogyakarta yang disebut Gagrak Ngayogyakarta. 
  • Gagrak dalam Sastra: Kata ini juga bisa ditemukan dalam istilah seperti “geguritan gagrak lawas” (puisi tradisional) dan “geguritan gagrak anyar” (puisi modern), di mana “gagrak” menunjukkan adanya gaya atau corak yang berbeda dalam penulisan sastra Jawa. 
  • Gagrak dalam kuliner: Dengan maraknya ulasan kuliner di masa sekarang ini, kerap ditemukan penggunaan kata gagrak untuk membedakan aliran rasa, bumbu, dan tampilan penyajian masakan dari suatu daerah. Contohnya, pilihan antara gudeg gagrak Yogyakarta atau Solo, di mana gudeg Yogyakarta lebih manis, berwarna cokelat pekat, dan kering, sedangkan gudeg gagrak Solo lebih gurih, berwarna lebih terang, dan memiliki sedikit kuah (nyemek).