sumber: Alodokter
Defisiensi besi merupakan penyebab tersering anemia dan berdampak besar pada beban penyakit dunia. Oleh karena itu, penting bagi Dokter untuk mengetahui penyebab yang mendasari defisiensi besi agar dapat menyusun strategi pencegahan yang tepat serta memberi penatalaksanaan yang sesuai.
Berdasarkan studi Global Burden of Disease pada tahun 2016, anemia defisiensi besi merupakan 1 dari 5 penyebab utama beban masa hidup dengan disabilitas dan merupakan penyebab disabilitas pertama pada wanita.
Defisiensi besi merupakan kondisi kurangnya zat besi pada manusia yang seringkali bermanifestasi menjadi anemia defisiensi besi. Menurut WHO, batas bawah untuk anemia adalah <12 g/dL pada wanita tidak hamil, <11 g/dL pada wanita hamil, dan <13 g/dL pada laki-laki.
Badan kesehatan dunia atau WHO bahkan merekomendasikan suplementasi zat besi pada negara-negara dengan prevalensi defisiensi besi yang tinggi.
Insiden Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi diperkirakan mempengaruhi sekitar 1,24 miliar individu dari berbagai negara berpendapatan tinggi hingga rendah. Prevalensi global defisiensi besi tanpa anemia masih belum diketahui namun diperkirakan terjadi dua kali lipat dari prevalensi anemia defisiensi besi.
Defisiensi besi sering didapati pada negara-negara dan kelompok masyarakat dengan pendapatan rendah hingga menengah. Zat besi memiliki peran yang sangat esensial bagi perkembangan kognitif anak, kesehatan ibu hamil dan janin, kapasitas fisik pada orang dewasa, serta penurunan kognitif pada lansia.
Berdasarkan data pada tahun 2018, di Indonesia terjadi anemia pada sebanyak 48,9% ibu hamil. Pada kelompok anak usia 0-59 bulan, anemia terjadi pada 38,5% anak. Hal ini dapat berpengaruh terhadap tumbuh kembang janin dan tumbuh kembang anak serta kualitas kesehatan kedepannya.
Belum terdapat data khusus mengenai insiden defisiensi besi di Indonesia. Berdasarkan asumsi secara global, diperkirakan insiden defisiensi di Indonesia terjadi dua kali lipat dari prevalensi anemia defisiensi besi.
Penyebab Defisiensi Besi
Defisiensi besi total pada tubuh dapat disebabkan oleh peningkatan kebutuhan zat besi secara fisiologis pada kelompok anak-anak, remaja, wanita usia subur, dan ibu hamil. Defisiensi besi juga dapat disebabkan karena adanya kehilangan darah kronis, peningkatan metabolisme tubuh, gangguan penyerapan yang patologis, serta berkurangnya asupan zat besi.
Faktor Fisiologis Kelompok Individu Tertentu
Defisiensi besi merupakan kondisi yang didapat, jarang sekali disebabkan oleh genetik atau diturunkan. Defisiensi besi berkaitan erat dengan homeostasis, termasuk mekanisme adaptif pada aksis hepcidin-ferroportin, protein regulator besi atau regulator elemen responsif besi, dan regulator lain yang terkait. Tujuan homeostasis zat besi adalah untuk mengoptimalkan penggunaan zat besi oleh eritropoiesis dan untuk menanggulangi inhibisi fisiologis dari penyerapan besi.
Kelompok usia yang memerlukan zat besi lebih tinggi rentan mengalami defisiensi. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah bayi baru lahir, anak usia <5 tahun, wanita muda yang mengalami menstruasi, wanita hamil terutama di trimester dua dan tiga, serta kelompok wanita postpartum. Remaja yang sedang mengalami pubertas juga seringkali mengalami defisiensi besi karena pertumbuhan yang cepat.
Faktor Nutrisi
Selain kondisi fisiologis yang memerlukan penggunaan zat besi seperti yang telah disebutkan, faktor nutrisi seperti kurangnya asupan zat besi, malnutrisi, dan restriksi diet seperti pada kelompok vegetarian juga merupakan salah satu penyebab defisiensi besi. Kondisi yang menyebabkan gangguan atau berkurangnya penyerapan zat besi seperti pada gastrektomi, operasi bariatrik, enteropathy, dan gastritis atrofi karena autoimun juga dapat menyebabkan defisiensi besi.
Kelompok khusus seperti kelompok yang mendapat restriksi diet, contohnya vegetarian, dan kelompok yang rutin mendonorkan darah juga berisiko mengalami defisiensi besi. Defisiensi besi dengan atau tanpa anemia dapat menyebabkan kelainan atau kondisi patologis di fase kehidupan selanjutnya.
Pada kelompok anak, defisiensi besi selain diakibatkan oleh kebutuhan zat besi yang tinggi juga disebabkan oleh kurangnya asupan zat besi pada nutrisi harian. Banyak negara mengadakan program untuk mengontrol defisiensi besi di kelompok anak dengan memberikan suplementasi besi, fortifikasi makanan dan minuman, meningkatkan keamanan makanan, dan memonitor keragaman asupan diet.
Perdarahan Kehilangan darah kronis akibat infestasi parasit juga dapat menyebabkan defisiensi besi besi. Selain itu, kehilangan darah akibat perdarahan saluran cerna, menstruasi berat, hematuria, dan obat-obatan seperti antikoagulan seperti warfarin dan heparin juga dapat menjadi penyebab defisiensi besi.
Penyakit Kronis
Inflamasi juga berhubungan dengan defisiensi besi karena dapat mengurangi penyerapan besi, kehilangan darah, serta adanya perdarahan kronis. Inflamasi yang dapat menyebabkan defisiensi besi di antaranya inflamasi kronis pada kondisi malnutrisi, inflamasi yang berkaitan dengan penyakit ginjal kronis, inflamasi karena penyakit jantung sistolik kronis, inflammatory bowel diseases, dan kondisi pasca operasi besar.
Genetik
Terdapat kondisi langka genetik yang dapat menyebabkan defisiensi besi yaitu iron-refractory iron deficiency anemia (IRIDA). IRIDA merupakan penyakit genetik resesif yang sangat jarang, disebabkan oleh mutasi dari TMPRSS6, menyebabkan ketidakmampuan untuk membelah koreseptor BMP terhadap HJV dan menghambat hepsidin.
Hepsidin yang tinggi pada pasien IRIDA mengganggu penyerapan zat besi, sehingga bertentangan dengan mekanisme kompensasi yang penting untuk mempertahankan eritropoiesis. Pasien IRIDA juga refrakter terhadap suplementasi zat besi oral.
Dampak Defisiensi Besi
Pada janin, defisiensi besi akan berdampak pada neurogenesis, tumbuh kembang janin, dan myelinasi. Anemia defisiensi besi pada kelompok ibu hamil dapat meningkatkan risiko berat badan lahir rendah, baik karena kelahiran prematur atau pertumbuhan janin terhambat, yang mana berhubungan dengan perkembangan neurokognitif yang lambat hingga penyakit mental.
Pada kelompok anak, defisiensi besi juga dapat menginduksi atau mengeksaserbasi defisiensi pada nutrisi esensial lain sehingga dapat berpengaruh negatif terhadap tumbuh kembang anak terutama tumbuh kembang otak.
Neurogenesis
Perkembangan saraf berlangsung sangat cepat pada bayi yang mendapatkan asupan zat besi secara adekuat. Sebaliknya, pada bayi yang mendapatkan asupan zat besi rendah setelah 6 bulan kehidupan, terdapat dampak berupa defisit perkembangan neurokognitif termasuk kesulitan belajar dan mengingat.[7]
Hal yang disayangkan, komplikasi dari perkembangan neurokognitif yang terhambat pada masa kritis perkembangan otak ini sulit untuk dikoreksi dan dapat bertahan hingga masa dewasa. Oleh karena itu pencegahan defisiensi besi harus dipertimbangkan untuk dilakukan pada masa sebelum dan setelah kelahiran.
Myelinasi
Anak usia di bawah 7 tahun dengan defisiensi besi dapat mengalami perubahan homeostasis neurotransmitter, penurunan produksi myelin, kerusakan sinaptogenesis, dan penurunan fungsi ganglia basalis.
Fungsi Kognitif dan PsikomotorAnak yang mengalami anemia defisiensi besi dapat berdampak pada perkembangan fungsi kognitif dan psikomotor. Defisiensi besi juga dapat menjadi komorbid pada attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD) dan autism spectrum disorder.
Strategi Pencegahan Defisiensi Besi
Pencegahan defisiensi besi dapat mulai dilakukan sejak persiapan kehamilan bagi wanita usia subur dan pada wanita hamil. Pemberian tablet tambah darah dan pengecekan berkala terhadap status anemia dapat diprogramkan sebagai langkah pencegahan defisiensi besi kelompok ini.
Pada kondisi hamil, kebutuhan fisiologis terhadap zat besi meningkat untuk menyokong perkembangan fetoplasenta dan adaptasi maternal terhadap kehamilan. Rata-rata kebutuhan besi harian wanita hamil adalah 22-27 mg/hari.
Bayi yang baru lahir hingga tahun pertama kehidupan memerlukan tambahan zat besi pada dietnya dikarenakan cadangan besi pada bayi hanya dapat bertahan hingga 4 bulan. Jika tidak didukung oleh asupan zat besi yang adekuat maka bayi dapat mengalami kondisi defisiensi besi dan berdampak pada defisit kognitif jangka panjang.
Fortifikasi dan Suplementasi Zat Besi
Berdasarkan pedoman WHO, fortifikasi zat besi dan program suplementasi besi dapat dipertimbangkan sebagai program yang efektif di berbagai negara untuk mencegah defisiensi besi yang berdampak pada kemampuan kognitif.
Susu formula yang difortifikasi dengan zat besi sebagai pendamping ASI atau pengganti ASI dapat menjadi opsi pada situasi yang tidak memungkinkan untuk pemberian ASI di 6 bulan pertama kehidupan.
American Academy of Pediatrics Committee on Nutrition merekomendasikan pada kelompok bayi yang mengkonsumsi susu formula diberikan susu formula yang diperkaya zat besi yang mengandung 10-12 mg/L zat besi selama 12 bulan pertama kehidupannya. Sedangkan untuk bayi yang diberi ASI eksklusif diberikan suplemen zat besi 1 mg/kg per hari sejak usia 4 bulan.
Diet Tinggi Zat Besi
Pada bayi yang menerima ASI eksklusif, kadar besi dalam ASI akan menurun secara progresif sehingga ketika bayi sudah siap untuk mendapatkan MPASI, defisiensi zat besi dapat dicegah dengan inisiasi MPASI yang dilakukan dengan memilih bahan makanan yang kaya akan zat besi.
Bayi baru lahir memiliki 75 mg zat besi per kilogram berat badan, 60% didapatkan di trimester tiga kehamilan dengan peningkatan pada konsentrasi feritin. Zat besi pada bayi baru lahir terdistribusi pada eritrosit sebagai Hb fetus sebanyak 75-80%, 10% berada pada mioglobin otot, 10-15% sisanya disimpan sebagai ferritin, terutama pada hepar.
Setelah 2 bulan pertama kehidupan, produksi Hb fetal digantikan oleh Hb dewasa, sehingga konsentrasi Hb berkurang. Kebutuhan zat besi dari diet masih minimal namun bergantung pada seberapa banyak zat besi yang tersimpan saat bayi lahir.
Sekitar usia 4-6 bulan, cadangan zat besi berkurang secara signifikan dan bayi membutuhkan tambahan zat besi melalui diet. Di usia 7-11 bulan, kebutuhan zat besi dari luar tubuh yang harus diserap sekitar 0,8 mg/hari.
Anak usia 1-6 tahun membutuhkan zat besi dari luar tubuh yang harus diserap sebanyak 0,5 mg/hari. Sementara pada anak usia 7-11 tahun membutuhkan 0,8 mg/hari. Saat pubertas kebutuhan besi akan meningkat sehingga remaja usia 12-17 tahun membutuhkan 1,27 mg/hari untuk laki-laki, dan 1,13 mg/hari untuk perempuan
Makanan yang kaya zat besi dapat digunakan untuk meningkatkan asupan zat besi dari luar tubuh. Beberapa contoh makanan yang kaya zat besi heme yaitu daging merah tanpa olahan. Sementara untuk makanan yang kaya zat besi non heme dapat diperoleh dari sayur-sayuran. Fortifikasi makanan atau susu formula dengan zat besi dapat direkomendasikan terutama pada negara dengan pendapatan rendah dimana harga daging kurang terjangkau.
Vitamin C
Pada anak-anak yang sudah dapat makan makanan padat, pemberian vitamin C dapat membantu penyerapan zat besi. Asam askorbat (AA) memiliki sifat pereduksi dan pengkelat sehingga merupakan zat tambahan yang paling efisien untuk membantu penyerapan zat besi non-heme. Sediaan kombinasi dari kedua zat tersebut hingga saat ini terus dikembangkan untuk meningkatkan bioavailabilitas zat besi.
Kombinasi Vitamin C dan Zat Besi
Kandungan vitamin C dapat digabungkan dengan zat besi untuk memaksimalkan penyerapannya. Kombinasi ini seringkali didapati pada produk susu formula, makanan campuran kering seperti MPASI bayi, makanan bayi berbasis sereal, dan minuman kering lainnya yang dibuat untuk dikemas, disimpan, dan disiapkan melalui metode yang dapat memaksimalkan retensi vitamin C.
Produk makanan yang mengandung inhibitor penyerapan besi tingkat rendah hingga sedang, seperti phytate dan tannin, memerlukan penambahan asam askorbat dengan rasio molar 2:1 untuk memaksimalkan penyerapan zat besi. Penambahan ini diketahui dapat meningkatkan penyerapan besi sebanyak 2 kali dibandingkan tanpa vitamin C.
Konsumsi melalui sumber alami vitamin C dari sayur dan buah dengan mencampurkannya pada makanan yang kaya zat besi juga dianjurkan. Efek peningkatan penyerapan zat besi dengan adanya vitamin C lebih kuat dari asam organik lainnya.
Kesimpulan
Defisiensi besi dilaporkan terjadi dengan angka yang tinggi. Penyebab defisiensi besi dapat beragam seperti perdarahan, penyakit genetik, akan tetapi paling sering disebabkan faktor nutrisi. Indonesia memiliki insiden defisiensi besi yang tinggi terutama pada kelompok anak dan wanita termasuk wanita hamil.Pada kelompok ibu hamil, bayi, dan anak, defisiensi besi dapat menyebabkan masalah kesehatan terutama masalah kognitif yang kompleks bahkan bersifat permanen hingga mempengaruhi potensi pendidikan, karir dan finansial di kehidupan dewasa nantinya.
Di tingkat komunitas, defisiensi besi menjadi masalah kesehatan sehingga perlu dilakukan upaya untuk mengontrol dan mencegah defisiensi besi seperti memberikan makanan tambahan pada populasi yang berisiko tinggi terjadi defisiensi besi melalui program pemerintah.
Pencegahan defisiensi besi dapat dimulai sejak mempersiapkan wanita usia subur, ibu hamil, bayi, dan anak-anak. Pada anak-anak pemberian makanan atau susu yang terfortifikasi zat besi dapat membantu pemenuhan asupan zat besi. Susu formula yang difortifikasi zat besi juga perlu ditambahkan vitamin atau asam askorbat agar dapat memaksimalkan penyerapan zat besi terutama bila diberikan dalam rasio molar yang tepat yakni 2:1.
