Bangau Demoiselle

sumber: https://www.humaninterest.id

Dari Mongolia mereka terbang ke selatan, menempuh jarak 6 ribu kilometer dalam dua pekan, melintasi Himalaya, menuju Rajasthan–“Tanah Para Raja”–mendarat di Khichan, desa terpencil di tepi Gurun Thar.

Warga desa Khichan kebanyakan penganut Jainisme, satu dari tiga agama tua di India, yang meyakini Ahimsa (non-kekerasan) sebagai jalan pencerahan. Mereka tidak membunuh makhluk hidup. Mereka menjamu rombongan dari Mongolia itu, ribuan jumlahnya, pagi dan sore dengan biji-biji gandum, selama enam bulan musim dingin.

Bangau Demoiselle. Burung-burung itu mendapatkan namanya pada abad ke-18 dari Ratu Perancis Marie Antoinette, sebab di mata sang Ratu mereka tampak seperti wanita muda yang anggun.

Untuk menjamu mereka dalam enam bulan, warga desa Khichan menghabiskan 6 juta kg gandum, jumlah yang cukup untuk membuat 2 juta loyang roti. Para tamu membalas kebajikan tuan rumah dengan menciptakan kemeriahan dan memberikan pemandangan indah di bumi dan langit Khichan selama musim dingin.

Di RAJASTHAN (‘Tanah Para Raja’), sebuah negara bagian di barat laut India, ada sebuah desa bernama Khichan di tepi gurun Thar. Setiap musim dingin tiba, desa itu akan didatangi rombongan tamu istimewa, ribuan bangau bermata merah, berbulu putih kebiruan, dengan kepala, leher, dan dada berbulu hitam, dan mereka akan menetap di sana enam bulan. Bangau Demoiselle. Nama itu mereka dapatkan pada abad ke-18 dari Ratu Perancis Marie Antoinette, sebab, di mata sang Ratu, mereka tampak seperti wanita muda yang anggun.

Kawanan bangau itu datang dari Mongolia. Mereka terbang dengan leher menjulur lurus ke depan, seperti anak panah, dan kedua kaki menjulur lurus ke belakang. Mereka melayang pada ketinggian hingga 7.800 meter di atas permukaan laut, menempuh jarak 6 ribu kilometer dalam waktu dua pekan, melintasi Himalaya, menuju Khichan, surga musim dingin mereka. Beberapa dari mereka mati di perjalanan panjang itu karena kelelahan atau tersengat listrik tegangan tinggi.

Di Khichan, warga desa akan menjamu mereka dengan biji-biji gandum yang ditaburkan di tanah luas. Dua kali sehari mereka disuguh gandum, pagi dan sore, selama enam bulan sejak rombongan pertama tiba hingga rombongan terakhir nanti meninggalkan desa itu kembali ke Mongolia.

Jumlah terbesar mereka adalah 30 ribu ekor. Yang tertinggi adalah 80 cm, dengan bentangan sayap hampir dua meter. Menurut National Geographic, dalam film dokumenter India from Above, dalam waktu enam bulan itu warga Khichan akan menghabiskan sekitar 6 juta kilogram biji gandum untuk menjamu mereka, jumlah yang “cukup untuk membuat 2 juta loyang roti.”

Tradisi ini dimulai pada 1970-an. Ratanlal Maloo, warga asli Khichan yang pernah bekerja di Odisha, kembali ke desanya setelah mengalami kecelakaan. Karena tidak banyak yang bisa ia kerjakan di desa, pamannya menugasi Ratanlal untuk memberi makan merpati. Sebagai penganut Jainisme yang taat, Ratanlal menerima tugas itu. Ia dan istrinya setiap hari membawa karung gandum ke tanah lapang dan menaburkannya di sana. Burung-burung merpati, pipit, dan tupai berdatangan ke tempat itu. Sesekali ada juga merak. 

Pada bulan September, ketika musim dingin tiba, sejumlah bangau Demoiselle ikut mematuk-matuk gandum yang mereka taburkan. Pada musim dingin berikutnya, jumlah bangau yang datang ke Khichan menjadi lebih banyak. Anjing-anjing kampung mulai memburu bangau-bangau itu ketika jumlah mereka membesar. 

Untuk menjaga keselamatan tamu-tamu mereka dari terkaman anjing, Ratanlal bersama sejumlah warga membangun pakshi chugga ghar, tempat khusus untuk memberi makan burung-burung. Tempat itu berupa tanah lapang berpagar di pinggiran desa yang dilengkapi dengan lumbung. 

Kebanyakan penduduk Khichan menganut Jainisme, satu dari tiga agama tua di India, yang mengajarkan ahimsa atau anti-kekerasan sebagai jalan pencerahan dan melarang penganutnya membunuh makhluk hidup. Para saudagar di kalangan mereka menyumbang gandum dan biji-bijian untuk menjamin bahwa rombongan tamu tahunan mereka tidak akan kekurangan pakan.

Ketika jumlah mereka sudah ribuan, sumbangan untuk pakan mereka datang tidak hanya dari warga desa, tetapi juga dari para pelancong dan dari berbagai negara. “Lumbung untuk mereka selalu terisi,” kata Bhanwar Ramji, salah satu warga desa Khichan. “Kami tidak pernah kekurangan pakan untuk tamu-tamu kami.”

Selama musim dingin di Khichan, bangau-bangau Demoiselle menjalani kehidupan rutin sarapan pagi, setelah itu terbang dan mencari air pada siang hari, dan sorenya makan lagi. Mereka akan bermukim di Khichan dari September hingga Februari, membuat desa itu meriah dengan bunyi “krok! krok!” mereka dan menciptakan pemandangan spektakuler di bumi dan langit desa itu.

“Desa saya sangat menyenangkan pada musim dingin,” kata Bhanwar.

Maret, ketika musim semi tiba, mereka meninggalkan Khichan, terbang  6.000 kilometer lagi menuju Mongolia, menikmati musim panas di sana. Desa di tepi gurun itu kembali sunyi.[*]