Reda Gaudiamo | Na Willa dan Rumah dalam Gang

sumber: ucha  (goodreads)

Ketika menyelesaikan buku Na Willa kedua ini saya membuka ulang buku lamanya dan teringat dialog Ida dan Willa pas episode kue cucur dan pesta pengantin. Willa heran kenapa mbak Tin menangis jelang perkawinannya. Ida berbisik “Kalau jadi penganten memang begitu. Nangis. Kalau ndak nangis, artinya ndak senang jadi pengantin”. Willa yang dekat Mak-nya bercerita tentang peristiwa itu. Mak menjelaskan mungkin mbak Tin belum mau kawin dan belum siap. Tidak bisa main-main. 
Ah pantas mbak Tin menangis.

Saya suka sekali interaksi intim Mak dan Willa di buku pertama dan berlanjut di buku ini dengan tambahan Pak juga bu guru Juwita. Bermain, bersahabat, bahagia, dan sedih mewarnai masa kecil di rumah dalam gang. Hal-hal baru yang ditemui Willa di sini seperti dua cabang yang berbeda : menyenangkan seperti menonton sirkus, dan menyanyi di radio. Tapi juga menyebalkan seperti pindah ke Jakarta dan berpisah dengan sahabat-sahabat kecilnya. 
Ah pantas Na Willa menangis.

sumber: Muhammad Akhyar  (goodreads)

Jika di jilid I, ada semacam soda yang menggigit, di episode ini tampaknya Reda lebih subtil ketika ingin menyampaikan sesuatu. Tak terlalu terang-terangan lagi. Reda membangun kesadaran multikultural dengan anak tangga bernama mengenal tubuh dan menerima diri. Titik mulanya bahwa Na Willa tak perlu risau karena menulis dengan tangan kiri. Ia tak sama dengan teman-temannya dan memang tak perlu sama. Na Willa juga gelisah dengan hidungnya yang tak tajam. Ia tarik-tarik hidungnya agar segera mancung. Lagi-lagi Reda mau bicara, kamu memang tak sama dan tak perlu sama.
Jika di buku I ada Dul yang cukup membuat kelilipan, tetapi masih ada semacam kehangatan karena respon Dul yang begitu lugu dalam menerima kenyataan bahwa kakinya hilang ditelan nasib, pada akhir buku II, kelilipan itu tak diakhiri dengan rasa hangat. Na Willa dan juga Mak belum juga bisa menerima kepindahan mereka ke Jakarta. Hanya Pak yang begitu gembira tampaknya. Pak tentu tak merasakan “pindah” karena baginya Jakarta adalah kelaziman.
Tentu adalah semacam penantian bagi pembaca Na Willa, apakah Reda akan melanjutkan kisah ini dengan buku ketiga keempat kelima… Lalu dengan tangkas bisa meringkus kata “pindah” berubah menjadi “indah” buat Willa dan Mak.