MIRANDA RISANG AYU, Ahli Hukum Penyuka Seni dan Filsafat

Tulisan ini dimuat di harian INILAHKORAN edisi Minggu, 6 April 2014

SEKILAS, melihat latar belakang pendidikannya perempuan ini seseorang yang ahli dalam bidang hukum. Namun, semasa kuliah dulu, dia selalu bersinggungan dengan dunia seni dan filsafat. Bahkan, beragam hasil karyanya dikenal luas masyarakat.

Sebut saja dua karya koreograferinya berjudul Istighfar dan Tasbih yang ditujukan untuk Festival Istiqlal 1993 lalu. “Saat itu, saya bikin tarian sufi. Itu merupakan zikir kasar. Intinya, sebuah tarian itu bukan hanya gerak tubuh namun keindahan gerak kain sebagai alternatif keindahan,” kata Miranda kepada INILAH, beberapa waktu lalu.

Ibu tiga orang anak itu pun menjelaskan saat menari itu tiap penari melafalkan zikir astaghfirullah dengan keras. Kerja bareng dengan Dian Widyawati, Miranda membuat kostum untuk tiap penari sufi itu kain sepanjang 15 meter. Kontan, kain sepanjang itu ‘menari-nari’ dan memberikan keindahan selain gerak tubuh si penari.

Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) ini pun aktif menulis kolom di berbagai media massa. Untuk itu, dia mengaku sebuah penerbit melansir empat buku yang isinya merupakan kumpulan kolom. Yakni,Cahaya Rumah Kita (1997), Permata Rumah Kita (2002), dan  Purnama Hati (2003).

Tak hanya itu, bersama Mukti-Mukti dia pun menciptakan sejumlah lagu penggugah rasa. Musikalisasi puisi antara dua insan itu mendapat tempat tersendiri di hati beberapa orang.

“Kalau dengan Mukti, saya kenal dia saat bersama-sama di kampus Unpad dulu. Kita aktif di GSSTF (Gelanggang Seni Sastra Teater dan Film). Seringkali, saya buat syair puisi, dia yang nanti membuatnya sebagai sebuah lagu. Puisi pertama saya itu dijadikan lagu pertama sama Mukti,” ingatnya.

Perjalanan spiritualnya tak lantas berhenti. Seiring dengaan waktu, pengalaman hidup menjadikannya seorang wanita sufi yang kuat namun tetap meyakini Allah SWT sebagai tempat bersandar. Kini, dia yang hanya single parent itu mendapat cobaan karena anak kandungnya mengalami penyakit kejiwaan, skizofrenia.

“Dari pengalaman itu, saya belajar bagaimana menghadapi apa yang kita cintai ini nanti hilang begitu saja. Apalagi, anak sulung saya yang menderita skizofrenia itu sangat saya sayangi dan saya besarkan sepenuh hati,” ujar penyuka warna hitam ini.

Pada awal ‘goncangan’ itu, Miranda sempat protes kepada Tuhan. Namun, dia menyadari kejadian tersebut merupakan momentum titik balik yang terjadi pada hidupnya di kehidupan dunia yang fana ini. Berdasarkan pengalaman berharga itu pula, dia menjalani hidup ini dengan tenang dan tanpa banyak pertanyaan. “Hidup in untuk dijalani, bukan untuk dipertanyakan,” tambahnya.

Dia pun melakukan puasa perasaan dan zikir dilakukannya secara intens dan lama. Untuk itu, di sebuah meditation centre antaragama di Gunung Geulis Bogor, Miranda melakukan meditasi keras. Bentuknya, berdiam diri selama 10 hari tanpa bicara dan meditasi diam untuk memperhatikan napas selama 13 jam per hari.”Saat bermeditasi itu, kita jangan ada pikiran dan nggak boleh bereaksi terhadap apa pun,” kata Miranda.

Tegar Menghadapi Cobaan Hidup

Memilikianak yang menderita penyakit skizofrenia bukanlah hal yang mudah. Miranda melalui cobaan yang datang pada 2006 lalu itu dengan relatif selamat hingga sekarang.

“Setelah bertahun-tahun lamanya, saya kini lebih siap menghadapi cobaan yang lumayan berat ini. Sebab, menurut dokter medis yang saya datangi, penyakit skizofrenia ini datang begitu saja. Istilahnya, out of the blue,” tutur Miranda yang menjadi koordinator Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) Simpul Bandung.

Semakin berat karena awal anak sulungnya didiagnosa menderita kelainan kejiwaan ini saat dia menyelesaikan kuliah S3 di Law Faculty, Universtity of Technology Sydney. Bayangkan, di Negeri Kanguru sana tak ada keluarga yang bisa membantu.

“Awalnya, saya sempat menghujat Tuhan dan bertanya kenapa cobaan ini terjadi pada saya. Tapi, di kemudian hari saya sadar jika kita semakin protes kepada-Nya, itu justru lebih menyakitkan diri sendiri. Untuk itulah, saya menerima ini dan mengambil hikmahnya,” ucap perempuan berjilbab ini.

Dia menganalogikan, kejadian yang dialami itu serupa dengan apa yang dialami Nabi Musa saat didatangi Hidir. Saat itu, kata dia, Musa hampir selalu bertanya atas apa yang dilakukan Hidir. Namun, Hidir berkata kepada Musa, kalau kamu bertanya, kamu tak akan menemukan jawabannya.

“Ada beberapa pertanyaan yang tak perlu dipertanyakan. Tapi, itu harus dijalani. Dan nanti, menerima kebenaran di saat yang tepat, momentum,” jelasnya.

Sebagai seorang care giver, dia menyadari betul posisi ibu yang merasa anak kandungnya itu merupakan bagian tubuh yang tak dapat dipisahkan. Namun dengan zikir dan tasaawuf, Miranda belajar untuk tidak terlalu menempel namun tetap mencintai dan menyayangi anaknya. Toh, sebagai manusia biasa diakuinya tidak mungkin jika kita bersandar kepada yang fana.

Melepaskan keterikatan akan kecemasan itu dijalani beberapa tahun belakangan ini. “Jika filsuf Descartes menyebutkan ungkapancogito ergo sum atau aku berpikir maka aku ada, dalam hidup saya ini mempunyai teori saya memilih maka saya ada. Artinya, kita sebagai manusia ini ada saatnya nggak punya pilihan dalam menjalani hidup yang fana ini. Saya merasakan sendiri, untuk menghancurkan ego itu enak dan indah sekali,” tuturnya berfilsafat. (doni ramdhani/den)

CURRICULUM VITAE

Nama                          : Miranda Risang Ayu

Lahir                           : Bandung, 10 Agustus 1968

Anak                           : Chandra Indra Purnama, Muhammad Mahatmanta, Majma Albahraini
Pendidikan– SD Taruna Bakti Bandung (1975-1981)- SMP Taruna Bakti  Bandung (1981-1984)- SMA Taruna Bakti Bandung (1984-1987)- S1 Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (1987-1994)- S2 Law Faculty University of Technology Sydney (2002)- S3 Law Faculty Universtity of Technology Sydney (2004-2008) Spesialisasi Hak Kebudayaan dan Intelektual
Karier– Dosen dan peneliti Universitas Padjadjaran- Ahli HAKI di sejumlah Kementerian- Anggota Tim Ahli RUU Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional Dewan Perwakilan Daerah (DPD)