
Plengkung Nirbaya/Gading difoto dari selatan (perempatan gading), dengan latar belakang alun2 kidul, kraton dan Merapi di kejauhan
Pic by @Didit_anggiawan

Plengkung Nirbaya/Gading difoto dari utara (jalan Gading), dengan latar belakang perempatan Gading dan Jalan Ngadinegaran (DI Panjaitan) ke arah Panggung Krapyak. Di kejauhan tampak pegunungan selatan.
Pic by @meltoy.photo
PLENGKUNG NIRBAYA | GADHING
Plengkung merupakan gerbang masuk dalam benteng Baluwarti.
Awalnya terdapat lima gerbang dengan pintu melengkung sebagai sarana keluar masuk benteng. Di atas gerbang terdapat pelataran yang dinamakan panggung. Pintu gerbang benteng ini disebut Plengkung atau Gapura Panggung. Masing-masing plengkung dilengkapi dengan dua gardu jaga dan empat buah longkangan sebagai tempat meriam.
Awalnya pada tiap plengkung terdapat jembatan gantung. Jembatan ini dapat ditarik ke atas sehingga plengkung tertutup dan jalan masuk ke dalam benteng terhalang oleh jagang. Semula plengkung-plengkung ini terbuka dari jam enam pagi sampai enam sore. Jam buka ini kemudian dilonggarkan menjadi dari jam lima pagi sampai jam delapan malam, ditandai dengan bunyi genderang dan terompet dari prajurit di Kemagangan.
O ya, Sultan yang Masih Bertahta Tidak Boleh Lewat Plengkung Gading. Jadi, pintu keluar masuk Sultan kompleks Keraton adalah lewat 4 plengkung lainnya.
Hal ini juga berlaku di kraton Surakarta yang juga mempunyai Gapura Gading di alun-alun selatan. Besar kemungkinan ini adalah tradisi sejak masa sebelumnya.
Plengkung yang terletak di sisi selatan Keraton Yogyakarta ini, menjadi satu-satunya pintu keluar raja yang sudah wafat, yang selanjutnya dimakamkan di Imogiri.
Sebaliknya, masyarakat Biasa yang telah Meninggal tidak boleh lewat Plengkung Gading ini. “Walaupun dekat dengan pintu keluar (Plengkung Gading), tetap tidak boleh. Harus mencari jalan keluar yang lain,”
Selain itu konon, mereka yang memiliki ilmu hitam dan melewati Plengkung Gading akan hilang ilmu hitamnya. Baik secara disengaja maupun tidak disengaja, ilmu hitam akan langsung luntur ketika lewat ke Plengkung Gading ini.
Menurut catatan Kapten William Thorn, seorang tentara Inggris dalam Memoir of The Conquest of Java menuliskan bahwa Benteng Baluwarti “dikelilingi oleh parit basah nan lebar dengan jungkit, dinding benteng yang tebal dan kokoh dengan bastion dan diperkuat dengan seratus meriam.”
Semula plengkung-plengkung ini terbuka dari jam enam pagi sampai enam sore.
Jam buka ini kemudian dilonggarkan menjadi dari jam lima pagi sampai jam delapan malam, ditandai dengan bunyi genderang dan terompet dari prajurit di Kemagangan.
Saat perang Sepoy (1812)
Inggris membagi pasukan menjadi 3, salah satunya batalion Benggala (Spoy) ke-3 di bawah Letnan Kolonel James Dewar dan korps Pangeran Prangwedono, Legiun Mangkunegaran.*
Mereka berjalan memutar benteng keraton dari Vredeburg ke timur melalui ledok kali Code di timur Sayidan terus ke selatan hingga Lowanu dan ke barat melalui Danunegaran** . Sasarannya adalah 2 tempat yaitu Ndalem menantu sultan Raden Tumenggung Sumadiningrat (suami putri sultan HB II, GKR Bendara) di sekitar Ngadinegaran** dan juga ke utara untuk menaklukkan Plengkung Gading.
* Legiun Mangkunegaran adalah legiun profesional, sudut pandangnya adalah agak berbeda dengan kondisi saat ini. Ketiga praja adalah negara independen dan belum ada Negara Indonesa.
** nama Danunegaran dan Ngadinegaran saat perang terjadi belum wujud. Penyebutannya hanya untuk mempermudah pembaca memahami. Ndalem Sumadiningratan sejak itu hancur dan tidak pernah diketahui dimana letaknya.
Sumber : kumparan & kraton jogja
