
freepik
Filosofi Minangkabau menyebutkan adanya ada enam jenis manusia (ragam urang) berdasarkan karakternya. Karakter manusia tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut.
- Urang; artinya tahu membedakan mana yang baik dan yang buruk, tahu membedakan mana yang tinggi dan yang rendah. Karakter urang ini dinamakan juga sebagai orang biasa, mengacu pada perilaku orang pada umumnya, dikatakan juga sebagai manusia normal yang memiliki perilaku standar.
- Urang-urang; artinya bentuknya atau fisiknya saja yang menyerupai manusia, namun ia tidak memiliki pengetahuan yang memadai, ia seperti anak kecil yang belum tahu apa-apa.
- Tampan Urang; artinya seseorang yang kalau dilihat atau diamati dari jauh, bentuknya seperti manusia sesungguhnya, gagah penampilan fisik meyakinkan, namun belum jelas akhlak atau moralnya, sehingga belum dapat dipercaya atau diyakini moralitasnya.
- Angkuah-angkuah urang; artinya seseorang yang diibaratkan seperti patung (robot). Hidupnya ditentukan oleh orang lain (pasif), sehingga ia tidak mempunyai pendirian. Otaknya digambarkan seperti “otak udang”, “benaknya di jempol kaki”. Otak udang dan benak di jempol kaki merupakan sebuah ungkapan, metafor yang merupakan sebuah bentuk analogi tentang orang yang sangat bodoh.
- Urang-urangan; artinya bukan manusia tetapi hanya menyerupai manusia seperti memedi sawah untuk menakut-nakuti burung. Kalau ditarik ia bergerak, kalau tidak ia diam saja. Urang- urangan disini mengacu pada sejenis benda yang dibuat mirip orang untuk menakut-nakuti burung yang dianggap sebagai hama di sawah. Penggunaan metafor untuk penyebutan orang-orangan dimaksudkan sebagai analogi untuk benda menyerupai orang yang berfungsi sebagai substitusi orang dalam arti sebenarnya, sehingga binatang seperti burung menjadi takut lantaran mengira benda itu sebagai manusia yang sesungguhnya.
- Urang Sabana urang; artinya seseorang yang mengetahui perihal awal dan akhir, tahu tentang lahir & batin, peka terhadap persoalan yang berkembang di sekitarnya, punya rasa malu dan sopan santun, bisa merasakan sesuatu dan punya rasa ingin tahu untuk memeriksa lebih lanjut (tahu jo raso pareso). Ia digambarkan sebagai orang yang cerdik cendekia, arif bijaksana, berakhlak mulia, banyak ilmunya. Orang seperti ini memenuhi syarat sebagai manusia bermartabat. Hidupnya menjadi suri teladan bagi orang di sekitarnya. (Madjoindo, 1999: 57).
sumber: Madjoindo, A.B.Dt., 1999, Kato Pusako: Papatah, Patitih, Mamang, Pantun, Ajaran, dan Filsafat Minangkabau, PT Rora Karya, Jakarta.
